Pantomime
Seni pertunjukan dapat berupa dengan kata-kata maupun tidak dengan kata-kata atau dialog. Salah satu seni pertunjukan yang menggunakan kata-kata adalah drama atau teater. Di sisi lain, ada pertunjukan yang penyampaiannya tidak dengan kata-kata tetapi dengan gerak-gerik tubuh. Seni Pertunjukan yang hanya dengan gerak-gerik melalui bahasa tubuh bahkan cenderung bisu ini oleh Aristoteles disebut sebagai pantomime (Richard Levin,1960), Untuk itu, perlu dimengerti bahwa seni gerak-gerik yang tidak bersuara telah memiliki umur yang panjang.
Menurut Aristoteles, pantomim telah dikenali sejak zaman Mesir Kuno dan India. Kemudian, dalam perkembangannya menyebar ke Yunani, sebagaimana ditulis Aristoteles dalam Potics itu. Lebih lanjut Aristoteles menjelaskan bahwa teori pantomim tersebut bermula dari temuan-temuan pada relif-relif candi dan piramida. Dalam relief tadi dikisahkan adanya gambaran tentang seorang laki-laki dan atau perempuan sedang melakukan gerakan yang diduga bukan tarian. Hal tersebut semakin jelas sesudah adanya katagorisasi dari berbagai seni pertunjukan yang dilakukan Aristoteles berdasarkan ciri-ciri bawaannya, sehingga dapat dibedakan adanya sebutan tarian dan bahasa isyarat. Oleh karena pantomim mengacu pada ciri dasar dari bahasa isyarat tadi maka jelaslah bahwa seni pertunjukan pantomim memang sudah ada sejak lama.
Pengertian Pantomim.
Istilah pantomim berasal dari bahasa Yunani yang artinya serba isyarat. Berarti secara etimologis, pertunjukan pantomim yang dikenal sampai sekarang itu adalah sebuah pertunjukan yang tidak menggunakan bahasa verbal. Pertunjukan itu bahkan bisa sepenuhnya tanpa suara apa-apa. Jelasnya, pantomim adalah pertunjukan bisu ( Bakdi Sumanto,1992:1).
Rendra memberikan pengertian pantomim sebagai penggambaran semua kegiatan manusia yang hanya dengan gerak semata samapai sedetil-detilnya. Pantomin sebuah seni bercerita dengan gerak semata. Maka penguasaan seni gerak sangat mutlak diperlukan, malahan dalam perkembangan dewasa ini pantomim itu bisa dipakai tidak hanya bercerita tetapi juga berekpresi secara liris ataupun abstrak (Rendra,1984:46).
Dalam Grolier Academik Encylopedia ditruliskan bahwa pantomim ialah suatu cerita, suatu tema, yang diceritakan atau dikembangkan melalui gerak tubuh dan wajah yang ekspresif (A.Adjib Hamzah,1985:51). Kemudian Charles Aubert memberikan pengertian pantomim adalah seni pertunjukan yang diuangkapkan malalui ciri-ciri dasarnya yakni ketika orang melakukan gerak isyarat atau secara umum berbahasa bisu (1970:3).
Aristoteles dalam Poetics memberikan pengertian pantomim dengan ciri-ciri dasarnya lahir dari aktivitas manusia karena gerak menirukan yang tidak mendasarkan pada rhytm secara dominan. Maka seni gerakan tubuh ini wujud sebagai suatu gerakan isyarat, sehingga seni pertunjukannya disebut pantomime (Richard Levin (1960:131). Lebih lanjut Aristoteles menuliskan bahwa istilah pantomim sudah ada sejak lama dari masa Mesir Kuno dan India, jauh sebelum dikenali di Yunani. Ini artinya seni pertunjukan pantomim umurnya sudah tua, mengingat apa yang dikatakan Aristoteles dalam Poetics ditulis 500 tahun sebelum Masehi.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka pantomim dapat dipahami sebagai suatu seni pertunjukan tersendiri, disamping pantomim dapat pula dipahami sebagai disiplin ilmu yang harus dilakukan oleh calon aktor. Jika dipahami sebagai bagian latihan keaktoran maka pantomim merupakan salah satu kajian yang sangat diperlukan seorang aktor. Pantomim merupakan salah satu cara yang bakal mengantar seseorang menjadi pemeran berkualitas. Dengan memahami dan mengamalkan pantomin calon aktor akan mampu menjadi sempurna dalam profesinya, ia setidaknya akan enak dipandang mata jika mau berlatih pantomim(Harymawan,RMA.,1993:31).
Sejarah Singkat Mime di Dunia
Pantomim di dunia sebagaimana ditulis Aristoteles dalam Poetics menyebutkan bahwa seni pantomim sudah berumur tua. Bahkan beberapa pendapat menyatakan pantomim sebelum dikenal di Yunani sudah ada lebih dahulu di Mesir dan India. Pendapat tersebut berdasarkan pada beberapa temuan relief yang ada di dinding piramida dan candi. Relief tersebut menggambarkan seorang laki-laki dan perempuan yang sedang melakukan gerakan yang diduga bukan tarian. Rumusan yang dikemukakan Ariostoteles memberikan asumsi bahwa pantomim sudah mulai dapat diungkapkan melalui ciri-ciri dasarnya. Yaitu ketika orang mempertahankan seni gerak tiruan (imitation) yang tidak berdasarkan rhtym secara dominan. Seni gerak itu selesai sebagai suatu gerakan isyarat, maka para ahli menyebutnya sebagai pantomim.
Charles Aubert dalam bukunya The art of Pantomime (1970) mendefinisikan pantomim adalah seni pertunjukan yang diungkapkan melalui ciri-ciri dasarnya, yaklni ketika seseorang melakukan gerak isyarat atau secara umum bahsa bisu. Bahasa gerak sang pantomimer adalah iniversal; menjalankan ekspresi emosi yang serupa diantara berbagai umat manusia. Pantomim merupakan pertunjukan teatrikal dalam sebuah permainan dengan bahasa gerak.Kemudian dalam Encyclopedia Britanica dijelaskan bahwa pantomim sebagai seni yang mengandalkan olah tubuh dan kebisuan ini ada di Yunani sejak tahun 600 Sebelum Masehi. Kini, pantomim sering diasosiasikan sebagai gaya akting komedi tanpa kata-kata. Berkaitan dengan akting, pantomim pada awalnya untuk menyebut aktor klomedi di masa Yunani yang menggunakan gerak tubuh untuk berkomunikasi. Kemudian, kedua dipakai untuk menyebut aktor di Romawi yang menyampaikan perannya melalui tari dan lagu.
Bentuk awal seni pantomim masih dapat ditelusuri dalam phlyake, sebuah pertunjukan peran jenaka yang mengangkat tema kehidupan yang nyata dan mitologi yang berkembang di kawasan Sparta dan Dorian. Pemeran dalam pertunjukan ini tidak saja berpakaian aneh tapi juga meneutpi mua mereka dengan topeng yang hanya menyisakan bagian mulut.Penulis pertama seni pantomim Dorian yang ternama adalah Epicharmus. Sejak tahun 485-467 SM, dia menjadi satu-satunya penulis apntomim yang paling kondang di Syracuse. Sampai-sampai pemikir serba bisa aristoteles menganggapnya sebagai penulis puisi dramatik pertama yang sangat berjasa. Epicharmus juga menulis beberapa plat komikal dan menghaluskan permainan pantomim sebelumnya. Pantomim ddorian kemudian dianggap sebagai bentuk awal pantomim modern. Sejak itu pantomim identik dengan sifat-sifat komikal, karakter para pahlawan atau bahkan dewa pun dapat dijadikan bahan tertawaan.
Seni pantomim dalam perkembangannya semakin dikenal oleh banyak bangsa-bangsa di dunia, terutama melalui industri film bisu. (silent movie) Dekade 1900-an berbagai bentuk ekspresi dan gerak yang paling terbaru dikembangkan dengan serius. Tahun 1927 sebagai era tanpa kata. Hal ini ditandai dengan banyaknya aktor yang menguasai seni pantomim, seperti dari Amerika Charles Spencer Chaplin atau Charlie Chaplin (1889-1977). Chaplin sangat penting dalam percaturan bahasa bisu sebab ia salah satu tokoh besar dalam film bisu, sebelum film bicara (talkies) diketemukan, dan dijual kepada masyarakat.
Chaplin tampil dan langsung populer tatkala muncul dalam film The Tramp (Si Gelandangan) tahun 1915. Penampilannyua sebagai tokoh yang kurang gizi, pucat. kerdil, dengan topi begitu kecil, jas sesak, celana kedodoran, sepatu terlalu besar.Ia dalam berjalan selalu mendapat kesulitan mengangkat kaki karena ia selalu gagal mendapatkan sepatu yang pas buat kakinya. Sebagai gelandangan ia tak pernah lepas dari tongkat dan kaos tangan putihnya. Secara karakteristik Chaplin merupakan simbol kemiskinan. Film bisu Chaplin lainnya yakni City Light (Lampu Kota), The Gold Rush (Emas yang Merepotkan) dan Modern Times (Jaman Modern).Chaplin setia membuat film tanpa suara dan merupakan jenius film bisu. Lewat film bisu kekuatan Chaplin dapat ditangkap. Ia adalah penyair yang sesungghnya. Ia berbicara dengan bahsa tubuh sebagai isyarat-isyarat dan bukan bahasa tubuh yang digunakan untuk menciptakan indikasi. Dari situ maka pengayaan batin yang diasah, juga membahasakan kekayaan batin ke dalam iysarat-isyarat yang mungkin tak jelas benar akan tetapi puitik dan menyentuh. Itulah hebatnya Chaplin.
Kemudian di Perancis ada seniman pantomim yang handal pula, yakni Marcel Marceau. Pria kelahiran Perancis 22 Maret 1923 ini mencintai pantomim karena sering menonton film bisu Keaton dan Chaplin. Kesungguhannya menekuni mime sangat terpengaruh gaya mime harlequin dan karakter pantomim klasik Deburau’s Pierrot. Marceau sangat dikenal dengan karakteer indivisunya sejak tahun 1947 dengan membawakan gaya sang tooh ciptaannya bernama Bib. Bib merupakan tokoh ciptaan yang selalu tampil dengan muka putih. Pertama kali si Bib ini dibawa keliling ke Switzerland, Beligia dan Holland. Tahun 1949. Marceau mendapat penghargaan Deburau Prize untuki karya mimenya berjudul Death Before Dawn (Mati Sebeklum Fajar). Marceau dalam aktivitasnya begitu teliti. Hal tersebut tidak disimak lewat beberapa karyanya yang tokoh netral Bib itu, misalnya, pada Bib sang Pawang, Bib Naik Kereta Api, Bib Bunuh Diri, Bib memerankan Daud-Goliat, dan Bib Serdadu. Maka tak ayal jika seorang penulis asing ada yang mengatakan Marcell Marceau merupakan Master of Mime ( Ben Martin,1978:1).
Asal Mim di Indonesia: Tari atau Acting?
Pramana Pmd., seorang pengamat mime, guru pada jurusan teater IKJ., dalam tulisannya berjudul “Pantomim di Negeri” (Kompas, 29 Maret 1987) menuliskan bahwa pantomim di Indonesia barasal dari tari dan akting dalam seni teater. Kapan pantomim di Indonesia lahir dalam kencah seni pertunjukan? Sebagaimana ditulis Pramana Pmd., Mime atau pantomime dua istilah yang hampir sama maknanya sedang dikembangkan oleh beberapa kalangan anak muda di negeri ini.
Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa pantomim kita bersumber dari tari. Namun sementara pihak berpendapat sebaiknya, yaitu tarian kitalah yang mengandung unsur-unsur mim ( topeng,canthang-balung ). Tari layang-layang karya Bagong Kusudihardjo sangat jelas unsur mimnya.
Pada tahun 1970-an, Sardono W. Kusumo, seorang penari klasik Jawa dan koreografer menampilkan sketsa-sketsa masyarakat yang berbentuk mim dimana tidak tampak lagi bentuk tariannya, kecuali gerak lakuan berbentuk stilisasi bukan tari. Di sini penampilan diisi oleh berbagai gerak dengan penuh emosi, konsentrasi dan motivasi.
Bersumber dua anggapan di atas seakan sumber mim berasal dari tari dan akting, kemudian muncul kecenderungan mim yang bersifat naratif. Jika amatan Pramana.,Pmd. Tersebut masih merupakan dugaan, dan itu terjadi di Jakarta, maka di Yogyakarta dugaan penulis pantomim muncul dari indah yang dikembangkan oleh Moortri Poernomo yang pernah belajar di Bengkel Teater itu.
Terlepas antara ya dan tidak darimana sumber pantomim kita, sekiranya pantomim sebagai seni pertunjukan sudah sangat lama keberadaannya di dunia ini, Praman Pmd. Juga pernah menuliskan, bahwa pantomim di negeri ini dimulai oleh Sena A.Utoyo dan Didi Petet semenjak tahun 1977 di lingkungan IKJ. Sementara itu di Yogyakarta pantomim muncul sebagai seni pertunjukan juga sekitar tahun 1970-an dengan perintisnya Moortri Poernomo yang mengajarkan gerak-indah, baik di ASDRAFI Yogyakarta maupun di sanggar-sanggar.
Pertumbuhan Mim Yogya
Bagaimana pertunjukan pantomim di Yogyakarta? Jika dirunut,dengan data sementara, seni pertunjukan pantomim di kota budaya ini sudah sejak dekade 1970-an. Tokohnya Moortri Poernomo dari Bengkel Teater yang memulai mengenalkan gerak indah sebagai materi latihan seni pemeranan untuk teater. Kemudian dari itu berkembanglah seni gerak indah-nya Moortri Poernomo menjadi bentuk seni pantomim. Moortri Poernomo sebagai pengajar di ASDRAFI Yogyakarta yang menekuni pantomim seperti Zulhamdani, Deddy Ratmoyo, sedang diluar ASDRAFI Yogyakarta yang potensial adalah Wisnu Wardhana, Azwar AN, Merit Hendra, Jemek Supardi.
Sementara itu tahun 1981 di Yogyakarta Dedy Ratmoyo, mahasiswa ASDRAFI Yogyakarta, dengan arahan Moortri Poernomo melahirkan pantomim dengan judul Tukang Loak . Jemek Supardi di tahun 1980 memulai karirnya sebagai pantomimer., kemudian di tahun 1982, Jemek Supardi mementaskan Jemek Numpang Peruhu Nuh di gedung Senisono Art Galery dengan penata musik jadug Ferianto.
Pada dekade 1980-an ini pantomim di Indonesia cukup bergairah. Di jakarta, Sena dan Didi Petet mementaskan : Tong Sampah, Kampanye, Tukang Sapu Jalan, Jobles, Penari, Orang Buta, Petrus, Konsert. Martabak, Tarzan dan lain sebagainya. Kemudian di tahun 1986, di Jakarta, Septian dan kawan-kawan mengadakan Festival Pantomim Nasional yang diikuti oleh anak-anak muda sari segala pelosok tanah air. Hasil 5 dari 9 piala yang diperebutkan diboyong oleh kelompok Yogyakarta yang dipimpin Dedy Ratmoyo.
Adapun perincian kejuaran itu, nomor tunggal, juara I diraih Dwijo Suyono dengan judul Rambut-rambut, juara II, Dedy Ratmoyo dengan judul Topeng-topeng. Kemudian juara kelompok, Dedy Ratmoyo bersama Albertus memenangkan juara I dengan judul Operasi Otak, sedang pantomim berjudul Rumah Sakit Jiwa dimainkan Ita Ratmoyo, Bambang dan Dodik memenangkan juara II. Untuk itu Juara Umum diraih oleh kelompok Yogyakarta.
Aktivitas pantomim di Indonesia pada dekade ini sangat merebak. Di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tanggal 10-11 April 1987, kelompok Sena Didi Mime mementaskan karya kolosal dengan judul beca. Di Yogyakarta, Jemek Supardi tahun 1986 mementaskan Lingkar-lingkar dan tahun 1987 mementaskan Kepyoh. Dedy Ratmoyo tahun1986 memntaskan, Tambang Ping-pong Skripsi, tahun 1988 mementaskan Dirigent, Ngintip, Pintu dan Pencuri, Dengan demikian pementasan pantomim dekade 1980-an memang sangat menggembirakan. Bahkan pementasan tidak hanya di kota-kota besar saja, tetapi mencapai kota-kota kabupaten seperti Temanggung,Purwokerto,Klaten dan lain sebagainya.
Di Jakarta, Sena, Didi, dan Mime menggarap pertunjukan kolosal, seperti : Soldat,Stasiun, Lobi-lobi Hotel Pelangi, Se Tong Se Tenggak, dan beberapa nomor di atas dipentaskan di Semarang dan Yogyakarta. Dekade 1980-an, eksistensi seni pertunjukan pantomim di Yogyakarta didominasi pementasan Deddy Ratmoyo dan Jemek Supardi. Deddy Ratmoyo giat berkarya pantomim, mengadakan lomba pantomim dan mengikuti lomba pantomim baik tingkat lokal maupun nasional serta dia juga pentas di hotel-hotel. Karyanya antara lain Rumah Sakit Jiwa. Ping Pong, dan lain-lain. Jemek Supardi aktif berpentas di gedung Senisono Art Galery, Taman Budaya Yogyakarta, dan hotel-hotel. Adapun karya Jemek Supardi yang patut disimak seperti Perahu Nuh, Adam dan Hawa, Serta lainnya. Dekade ini juga diramaikan oleh Djadug Fewrianto, ia berpantomim di TVRI Stasiun Yogyakarta bersama-sama Jemek Supardi. Pantomim karya Jadug lebih banyak menggarap unsur musikalirtas pertunjukan. Dekade 1980-an yang penuh dengan kegiatan pertunjukan kontenporer, sehingga membuat pantomim ikut maju selangkah dalam penampilan.
Dekade 1990-an, eksistensi seni pertunjukan pantomim mengalami pasang surut, hanya tiga tokoh yang selalu setia menghidupi pantomim secara suntuk, yaitu Moortri Poernoma, Jemek Supardi dan Deddy Ratmoyo. Awal dekade 1990-an terasa lesu aktivitas pantomim Yogya, tetapi tetap saja muncul generasi muda yang berpantomim seperti Darto. Nina Azwar, Dwijo Suyono, Faiq Ende Reza, Amusu, dan Broto. Kebangkitan berpantomim Yogyakarta menunjukan geliatnya sejak diadakan diskusi Pantomim Yogyakarta oleh Taman Budaya Yogyakarta dengan pembicara Bakdi Sumanto dan Moortri Pornomo pada tanggal 4 Nopember 1992. Kedua pembicara menekankan pentingnya Yogyakarta tetap menghidupkan pantomim terutama tokoh-tokoh seperti Deddy Ratmoyo, Jemek Supardi harus banyak memasyarakatkan pantomim kepada generasi muda dan mesyarakat pada umumnya.
Pada tahun 1992, atas prakarsa Seksi teater Modern Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) ke-V yang dikoordinator Sri Harjanto Sahid maka ditunjuklahMoortri Poernomo untuk berpentas pantomim dengan judul Kelahiran yang didukung Jemek Supardi, Dedy Ratmoyo,Reza dan lain sebagainya. Dalam tahun ini diprakasai berdirinya wadah kegiatan aktor pantomim Yogyakarta dengan nama Gabungan Aktor Pantomim Yogyakarta (GAPY). Kemudian tahun 1994, dalam FKY ke-VI tepatnya 28 Juni 1994, GAPY kembali menggelar lakon pilar-pilar karya dan sutradara Moortri Poernomo dengan didukung oleh Jemek Supardi, Dedy Ratmoyo, Nur Iswantara, Reza Christ dan Dwi.
Pementasan seni pantomim di Yogyakarta dekade 1990-an pada awalnya mengalami lesu darah. Setelah ada diskusi pantomim Yogyakarta dengan pembicara Bakdi Sumanto dan Moortri Poernomo atas prakarsa Taman Budaya Yogyakarta yang intinya mengajak seniman mime berkarya maka bangkitlah pantomim di Yogyakarta. Pada tanggal 4 Nopember 1992 diadakan pergelaran seniman pantomim Yogyakarta. Penyelenggara pentas Taman Budaya dan proyek Kesenian Depdikbud Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun yang tampil Dedy Ratmoyo membawakan judul Ping-pong, Darto berjudul Pemulung, Reni Aznita Azwar mementaskan Terjebak, Jadug Ferianto menggelar Topeng, Jemek Supardi memainkan ulang Adam dan Hawa serta grup Dedy Ratmoyo mementaskan Tugu Pahlawan.
Pada tahun 1993 seniman pantomim Yogyakarta mendapat kesempatan pentas Festival Kesenian Yogyakarta ke-V dalam judul Kelahiran karya dan sutradara Moortri Poernomo. Kemudian pada tahun 1994, FKY ke-VI Gabungan Aktor Pantomim Yogyakarta (GAPY) kembali berpentas dengan judul Pilar-pilar karya dan sutradara Moortri Poernomo. Pada tahun 1985, Gabungan Aktor Pantomim Yogyakarta tidak mendapat jatah berpentas di FKY ke-VII. Akan tetapi berkat kerjasama dengan Taman Budaya Yogyakarta pada hari Rabu, 14 Juni 1995 berpentas dengan lakon Wajah Malioboro karya dan sutradara Deddy Ratmoyo. Pemain-pemain yang mendukung Deddy Ratmoyo,Jemek Supardi, Reza dan beberapa mahasiswa ASDRAFI Yogyakarta : Broto W,.Asih., Sotya PJH., RB. Montage, Jamal El Triport, Didiet Sas. Juga didukung mahasiswa Jurusan Teater Instiutu Seni Indonesia Yogyakarta: Yayat Surya, Purbo Swasono, Ahmad Jusmar, serta didukung pemain kanak-kanak Krisna.
Festival Kesenian Yogyakarta ke-VII, Seksi Teater Madern juga menampilkan pantomim dari Jakarta, Sena Didi Mime, Lakon yang dipentaskan berjudul Se Tong Se Tenggak pada tanggal 28 Juni 1995 di Gedung Purna Pudaya yogyakarta. Pementasan tersebut dilakukan menurut seksi teater modern FKY ke-VII dengan pertimbangan memperkaya materi sajian dan untuk memberikan rangsangan baru bagi modern di Yogyakarta, khususnya dunia pantomim (Indra Trenggono dalam Gali Budaya Sendiri, Buku Paduan FKY-VII,1995:55).
Pada 14 Juni 2000 dalam acara FKY XII, penulis ditunjuk sebagai seksi mim menampilkan Gabungan Aktor Pantomim Yogyakarta (GAPY) mementaskan Sampek Engtay. Mim di Yogya terus berbudaya komunitas mim seperti Reza Mime Club, Bengkel Pantomim Yogyakarta, dll. semakin menambah kegairahan berpantromim secara nyata.
Jemek “Mimer Sejati” Supardi
Sena A. Utoyo dan Didi Petet tahun 1987 keduanya membuat wadah teater pantomim Sena Didi Mime.Kelompok ini memproklamirkan diri sebagai teater pantomim karena dalam penampilannya selalu melibatkan banyak pemain. Teknik gerak yang ditampilkan perpaduan gerak klasik, gerak modern, gerak tradisional dalam seni pantomim. Dalam garapannya selalu menampilkan tema sosial, suasana puitis serta simbolik. Hal itu dapat dilihat dalam karyanya seperti: Beca (1987), Stasiun (1988), Soldat (1989) Sekata Katkus du Fulus (1992), Se Tong Se Teng Gak (1994), dan Kaso Katro (1999). Jika dahulu Sena A. Utoyo (alm.) lewat kelompoknya Sena Didi Mime berusaha memasyarakatkan mime di Indonesia.
Sekarang masih adakah seniman mim sejati yang tetap setia menghidupi seni pantomim di Indonesia. Pengabdiannya yang panjang dan usianya setengah abad memang bukan hal yang mudah untuk tetap eksis dan intens dalam sebuah profesi. Siapa dia Seniman pantomim itu? Ternyata dia ada di Yogyakarta, namanya Jemek Supardi. Laki-laki kelahiran dusun Kembangan Pakem Sleman 22 Mei 1957 ini bertubuh kecil bahkan kecentet seperti Charlie Chaplin, jidatnya lebar. Penampilan kesehariannya sangat sederhana. Kaos, celana jeans belel dan topi biasa dikenakan. Tetapi kalau sudah diatas pentas gerak-geriknya bagaikan tiada tertandingi oleh siapa pun.
Masa kanak-kanak Jemek sudah akrab dengan keramian kota Yogya. Ia bersama keluarganya tinggal di Jalan Brigjen Katamso Yogyakarta yang sangat dekat dengan Taman Hiburan Rakyat (THR) sekarang Pura Wisata. Latar pendidikan formal Jemek diawali di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta. Di SSRI ini ia hanya bertahan belajar selama dua bulan.
Jemek raja Kampret. Masa remaja Jemek diwarnai dalam kehidupan dunia hitam. Ia di lingkungan preman jamannya dikenal dengan nama kebesaran Kampret. Dimana daerah kekuasaan si Kampret berada di kawasan kuburan Kerkop THR Yogyakarta dan sekitarnya.Kampret adalah sejenis kelelawar, binatan malam yang biasa terbang mencari mangsa, mencuri buah-buahan di malam hari. Itulah sekilas masa lalunya Jemek Supardi. Berkat kesenian ia pun menjadi sembuh dari kebiasaan mengkampret.
Jemek dalam kesempatan tertentu mengatakan tentang seluk beluk dunia hitamnya. “Saya pernah masuk bui di Cirebon, nginap gratis di Kepolisian Ngupasan Yogya, akibat terseret dunia hitam. Itu kenyataan hidup saya yang tidak dapat dipungkiri. Berkat kesenian, saya dapat hidup normal. Saya berhutang budi pada kesenian sebab saya diberi pelajaran hidup yang berharga oleh seni. Untuk itu saya tidak dapat lepas dari seni, khususnya pantomim. Pantomim membuat saya ada artinya. Simbok saya pun menjadi tenteram dengan kehidupan saya yang menekuni kesenian. Tidak seperti dulu, terseret dunia jahat”.
Awal mula Jemek mengarungi dunia seni dilakukan di sanggar atau kelompok teater. Tahun 1974 ia bergabung dengan Teater Alam pimpinan Azwar AN. Ia banyak belajar dalam bidang artistik, sebagai kru pementasan dan selalu serius mengikuti olah tubuh. Di kelompok inilah asalmuasalnya Jemek berpantomim. Jemek selalu mengikuti Merit Hendra latihan pantomim. Segala gerak-gerik Merit ditirukan, ia pun rajin berlatih secara terus menerus tentang bahasa tubuh.Selain di Teater Alam, Jemek juga aktif di Teater Dipo yang merupakan cikal bakal Teater Dinasti pimpinan Fajar Suharno. Beberapa pentas bersama Teater Dinasti yang dialami Jemak antara lain: Syeh Siti Jenar, Gendrek Sapu Jagad, Geger Wong Ngoyak Macan, Umang-umang. Kemudian Jemek bersama Jujuk Parbowo pernah membantu Yullie Taymor, seorang teaterawan boneka Amerika Serikat keliling Indonesia.
Pemahaman Jemek tentang pantomim masih jauh dari sempurna, baru tahun 1975 ketika di gedung Seni Sono Art Galery ada pementasan mime berjudul Manusia dan Kursi oleh Wisnu Wardhana, maka pantomim semakin menjadi perhatiannya. Kenapa Jemek memilih pantomim, seperti dituturkannya:”Saya menggeluti pantomim, soalnya saya itu sangat kesulitan menghafalkan naskah dalam setiap produksi teater. Jika disuruh menghafalkan naskah selalu tidak nyantol, maka saya lebih puas bergerak melalu seni pantomim ini”. Mulai saat itulah Jemek menjatuhkan pilihan pada pantomim sebagai wahana ekspresi artistiknya.
Dunia seni pantomim bagi Jemek Supardi mepakan rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, Jemek berkat pantomim dapat menemukan kembali kesadarannya sebagai manusia normal. Ia kembali dalam kewajaran manusia yang harus bermasyarakat. Kapan Jemek mulai berpentas pantomim? Secara lugas dijawabnya, “Persisnya saya lupa. Kalau tidak salah mulai tahun 1976. Pertama kali mendukung pementasan pantomim Azwar AN., yang berjudul Malin Kundang di gedung Seni Sono Art Galery. Saya pun tidak muncul penuh, hanya telapak tangan dan telapak kaki saja yang dilihat penonton. Itulah awal saya ikut pentas pantomim, belum pentas sendiri”.
Proses kreatif Jemek dalam mecipta pantomim dilakukan dengan menggeliding. Lebih kanjut dipaparkan sebagai berikut:”Dalam mencipta, mime, ya, saya menggelinding saja. Seperti dalam kehidupan ini. Saya sudah di cap sebagai pantomimer, maka saya harus berkarya. Yang penting bagi saya mengolah tubuh supaya luwes, ada ide yang orisinal, keberanian berekspresi dan mementaskannya secara serius”. Proses yang dilakukan Jemek dengan olah tubuh, yakni bagaimana seorang seniman harus bekerja keras menyiapkan dirinya masuk dalam proses berkesenian secara total. Dengan demikian pasrah dirilah. Mental, pikiran dan tubuh harus lentur.
Karya seni mime Jemek Supardi biasanya dibawakan tunggal dan kolektif. Dekade 1970-an merupakan masa proses pencarian mime Jemek Supardi, yang terangkum dalam Sketsa-sketsa Kecil (1976-2979). Delkade 1980-an karya-karyanya seperti: Perjalanan hidup dalam gerak (1982), Jemek dan Laboratorium, Jemek dan teklek, Jemek dan Katak, Jemek dan Pematung, Arwah Pak wongso, Perahu Nabi Nuh (1984), Lingkar-lingkar, Air, Sedia Payung Sesudah Hujan, Adam dan Hawa, Terminal-terminal, Manusia Batu (1986), Kepyoh (1987), Patung selamat datang, Pengalaman Pertama, Balada Tukang beca, Halusinasi, dan Wamil (1988). Dekade 1990-an, karya-karyanya meliputi: Maisongan (1991), Menanti di Stasiun (1992),Termakan Imajinasi (1995), Pisowanan, Kesaksian Udin, Kotak-kotak, Pak Jemek Pamit Pensiun (1997), Badut-badut republik atau Badut-badut Politik, Bedah Bumi atau Kembali ke Bumi, Dewi Sri Tidak menangis, Menunggu Waktu, Pantomim Yogya-Jakarta di Kereta (1998) dan Eksodos (2000).
Mas Jemek yang sudah mencurahkan hidupnya di pantomim saat ini pun tetap tinggal di bilangan Jl. Brigjen Katamso didampingi sang isteri Treda dan putrinya Sekar bahkan tetap setia menunggui Simboknya. Fenomena Jemek dalam era reformasi semestinya akan semakin menambah munculnya “mimer sejati”. Siapa yang berani memasuki dunia kesejatian diri seperti Jemek Supardi? Broto Wijayanto, kau mau jadi generasi atau yang lain? Dan ruang waktu lah yang akan menguji !
Berdasarkan fakta budaya pantomim di dunia, Indonesia dan Yogyakarta serta khusus mengingat pengabdian “mimer sejati” Jemek Supardi dapat diambil hipotesa sementara sebagai berikut: Pertama, seni pertunjukan pantomim belum hadir sebagai ekspresi kesenian yang fungsional, ia masih sebatas sebagai wahana pencarian nilai artistik semata. Kedua seni pertunjukan pantomim belum mampu mengundang tanggapan dan dialog yang berdaya guna dan berhasil guna dalam masyarakat. Ketiga, seni pertunjukan pantomim belum secara realitis menjadi cermin daya imajinasi yang beragam dari masyarakat serta belum mampu menampilkan diri agar dapat diterima secara universal. Keempat, seni pertunjukan pantomim di Indonesia dalam taraf proses menemukan jati diri di tengah gerak budaya yang semakin global dibutuhkan kerja keras sebagaimana diperjuangkan Jemek Supardi. Bahkan kepedulian individu dan institusi seperti Gabungan Aktor Pantomim Yogyakarta (GAPY) sebagai wadah komunikasi sesama pecinta mim, seniman mim dibutuhkan guna menuju upaya profesionalisme.
Sisi lain budaya pantomim kita dalam perkrmbangan dari dekade ke dekade secara singkat dari tahun 1970-2000 dalam sekilas dapat ditarik pemahaman, bahwa ada harapan pantomim tetap hidup sebagai kesenian. Pantomim sebagai seni pertunjukan seperti karya seni lainnya, misalnya sastra, teater, adalah salah satu cara memahami kehidupan. Oleh sebab itu setiap karya seni pertunjukan termasuk pantomim dapat pula sebagai wahana untuk memahami kehidupan dalam masyarakat. Hal itu dapat dilihat dari seni pertunjukan pantomim yang dihasilkan oleh pantomimer seperti Jemek Supardi, danlainnya merupakan karya-karya yang merefleksikan lingkungannya.
Dengan demikian seni pertunjukan pantomim di Yogyakarta yang masih terus berkembang dalam gerak budaya yang dinamis setidaknya membutuhkan daya imajinasi yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Berbicara tentang budaya pantomim lebih khusus dalam “membangun keberlangsungan budaya pantomim” adalah berbicara keinginan, kenyataan dan harapan. Dengan demikian pantomim mesti hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai kesenian yang fungsional dalam kehidupan itu sendiri. ***
DAFTAR PUSTAKA:
Ben Martin, Marcel Marceau Master of Mime, New York: Panddington Press.Ltd., 1978.
Bakdi Sumanto (FS-UGM), Pantomim dan kita, Makalah Diskusi Kehidupan Pantomim di Yogyakarta, 4 Nopember 1992.
Charles Aubert., The Art of Pantomim, New York: Benjamin,Inc.,1970.
Harymawan, RMA., Dramaturgi,Bandung:Remaja Rosda Karya, 1993.
Hamzah,A.Adjib., Pengantar Bermain Drama, Bandung: Rosda Karya,1985.
Indra Tranggona, Gali Budaya Sendiri, Buku Panduan FKY ke-VII, Yogyakarta,1995.
Nur Iswantara, Kehidupan Seni Pertunjukan Pantomim di Yogyakarta, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1995.
___________, Pantomim di Indonesia Seni Pertunjukan Yang Tumbuh Ekspresif, Laporan Penelitian, Program Ekologi Teater Indonesia (PETI) Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) Bandung, 1999.
Pramana Pmd. “ Pantomim di Negeri ini”.Jakarta: SKH. Kompas, 29 Maret 1987.
Richard Levin, Tragedy: Plays, Theory, and Criticism, New York: Harcourt Brace Javanovich,Inc.,1960.
Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, Jakarta: PT. Gramedia,1984.
Penulis: Nur Iswantara
Staf Pengajar Jurusan Teater FSP ISI Yogyakarta, Staf Pengajar Luar Biasa pada PBSI-FKIP UAD Yogyakarta & Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STPP) Yogyakarta.
Sumber: http://www.geocities.com/makassarapasaja/BudayaPantomim.htm