Perjalanan Tanggal 14 Agustus 2011 bersama LawangBuku
Masjid Mungsolkanas :
Mungkin tidak banyak warga Bandung yang mengenal Masjid Mungsolkanas. Masjid itu memang tidak terletak di pinggir jalan. Untuk mencapainya, Anda harus ke Cihampelas, berdiri di seberang Rumah Sakit Advent atau di sebelah Sekolah Tinggi Bahasa Asing.
Dari tempat itu akan terlihat sebuah pelang: Masjid Mungsolkanas, Berdiri Sejak 1869.
Siapa yang akan menyangka jika masjid mungil di dalam Gang Winataatmaja itu ternyata salah satu masjid tertua di Kota Bandung? Sayangnya, tidak ada literatur sejarah resmi yang membahas sejarah mesjid itu.
Satu-satunya sumber yang bisa memberikan penjelasan tentang Masjid Mungsolkanas pada saat ini, adalah H. Rudi S. Ahmad. Dia adalah cucu H. Zakaria Danamihardja, orang pertama yang menjadi pengurus Masjid Mungsolkanas, pascarevolusi kemerdekaan.
Di tangan Rudi, tersimpan dengan baik catatan harian Zakaria Danamihardja, yang berisi kisah hidup dan silsilah keluarganya, termasuk riwayat Masjid Mungsolkanas, yang memang didirikan oleh leluhurnya pada 1869. Zakaria Danamihardja menulis catatan harian dan sejarah hidup leluhurnya pada tahun 1985, di usianya yang telah 80 tahun. Catatan itu ditujukan sebagai kenangan bagi anak-cucunya.
Menurut Zakaria, Masjid Mungsolkanas awalnya hanya berupa tajug yang sederhana. Masjid itu didirikan di atas lahan, yang diwakafkan oleh nenek Zakaria yang bernama Ibu Lantenas.
Lantenas merupakan perempuan kaya, janda dari R. Suradipura, Camat Lengkong, Sukabumi, yang wafat pada 1869. Tanah yang dimiliki oleh Lantenas, mulai dari Jalan Pelsiran sampai ke Gandok (Jl. Siliwangi). Termasuk di dalamnya, lahan untuk pemandian Cihampelas, dan pabrik daging, yang sekarang telah berubah menjadi pusat belanja Cihampelas Walk. Lantenas wafat pada tahun 1921 di usia 80 tahun.
Masjid itu diberi nama Mungsolkanas oleh Mama Aden alias R. Suradimadja alias Abdurohim, yang juga keluarga Lantenas. Mama Aden memberi nama Mungsolkanas, sebagai singkatan dari mangga urang solawat ka nabi SAW (mari kita solawat ke nabi SAW). Di zaman Belanda, Mama Aden sering menulis di media massa Islam waktu itu, misalnya Al Muhtar. Di setiap artikelnya, Mama Aden selalu membubuhkan inisial TTM yang merupakan singkatan Tajug Tjihampelas Mungsolkanas.
Tajug Mungsolkanas pertama kali dipugar menjadi masjid pada tahun 1933, hampir bersamaan saat Wolf Schumaker memugar Masjid Kaum Cipaganti. Bedanya, Mungsolkanas dipugar atas biaya dan inisiatif Mama Aden, sedangkan Mesjid Kaum Cipaganti dibiayai oleh pemerintah kolonial Belanda.
Menurut catatan Zakaria, Masjid Cipaganti sendiri awalnya berupa tajug dan dibangun oleh Mohammad Tabri, yang juga leluhurnya. Saat Masjid Cipaganti dipugar oleh Schumaker, jamaah yang biasa shalat di Cipaganti untuk sementara pindah tempat ke Mungsolkanas.
Setelah Masjid Kaum Cipaganti selesai dibangun, Mama Aden yang saat itu menjadi imam dan khotib di Mungsolkanas, mengusulkan kepada Bupati Bandung, agar yang memimpin Masjid Cipaganti, adalah seorang ulama bernama Juanda.
Usulan itu didengar Bupati Bandung. Ulama Juanda pun dipanggil ke dan diuji di Masjid Kaum. Setelah dinyatakan lulus, Juanda menjadi imam Mesjid Kaum Cipaganti. Tetapi tak berapa lama, dia dipindahkan menjadi imam Masjid Ujungberung, sampai wafatnya di tahun 1935.
Mungsolkanas memiliki sejarah yang panjang, dan tentunya harus dikonfirmasi oleh sejarawan. Yang pasti masjid itu sampai saat ini tidak termasuk dalam daftar cagar budaya. Masjid itu terakhir dipugar pada tahun 2007-beritaPIKIRANRAKYAT-
Masjid Cipaganti :
Dari sejumlah masjid yang ada di Kota Bandung, Jawa Barat, Masjid Besar Cipaganti merupakan masjid tertua dan paling banyak menyimpan banyak sejarah.
Masjid ini dibangun pada 1933 diarsiteki oleh Kamal Wolf Schoemaker (1882-1949), arsitek berkebangsaan Belanda yang banyak meninggalkan heritage di Kota Bandung.
Dari model bangunannya, masjid bercat putih ini bentuknya klasik seperti Masjid Raya Kudus. Bentuk bangunan mencolok karena berdiri di antara deretan rumah mewah modern yang berjajar di sepanjang Jalan Cipaganti.
Warna putih masjid nyaris larut dengan banyaknya jendela kayu jati berprofil tulisan Arab berwarna coklat tua. Sedangkan pintu utama masjid berbentuk kubah dicat warna hijau tua, juga dihiasi profil kaligrafi dengan tinta emas.
Nilai sejarahnya yang kuat dan lahir dari seorang arsitek yang memiliki reputasi besar di era Perang Dunia II, membuat Masjid Cipaganti banyak dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara.
Seperti diketahui, karya arsitektur Schoemaker begitu banyak berdiri di Kota Bandung. Selain Masjid Cipaganti, juga ada Gereja Katedral Bandung dan Gedung Museum Konferensi Asia Afrika.
”Masjid ini sangat menarik wisatawan lokal dan asing. Mereka datang karena keunikan bangunannya,” tutur Sekertaris Dewan Keluarga Masjid (DKM) Cipaganti Nono Firdaus.
Mengenai wisatawan asing, menurut Nono, paling banyak berasal dari Belanda. Pasalnya, menjadi kebanggaan bahwa karya bangsa sendiri menjadi heritage di negeri lain. “Paling sering dari Belanda. Mereka di sini berfoto dan mencari sejarah,” terang Nono.
Bahkan, suatu hari keluarga Schoemaker pernah mengunjungi masjid legendaris itu. Mereka berjumlah lima orang. Dalam kunjungan selama dua jam itu, kerabat Schoemaker juga berfoto dan meminta profil atau sejarah masjid.
”Mereka bilang bagian dari keluarga Schoemaker, mungkin cicitnya. Mereka ke dalam masjid, kebetulan waktu itu kita lagi mengadakan pengajian,” tutur pria lulusan Pesantren Al Huda Singaparna, Tasikmalaya, ini.
Masjid Cipaganti sudah beberapa kali mengalami renovasi. Misalnya di bagian pintu utama masjid terdapat monumen peresmian yang berbunyi: Rehabilitasi dan Pengembangan Masjid Raya Cipaganti 2 Agustus 1979 - 31 Agus 1988 Diresmikan 28 Oktober 1988 oleh Wali Kota Bandung Ateng Wahyudi.
Menurut Nono, renovasi juga dilakukan pada bagian depan, lantai, langit-langit, profil jendela. Simbol sate juga diubah menjadi bulan sabit pada 2006. “Bangunan aslinya masih ada tapi tidak 100 persen,” jelasnya.
Bagian asli masjid berkapasitas 2.000 jemaah itu meliputi teras, terutama pintu dan gerbang berbentuk kubah yang terbuat dari tembok berhiaskan kaligrafi warna hijau. Bagian yang asli lainnya adalah lampu, empat tiang penyangga masjid dari kayu jati, sejumlah kaligrafi, dinding bagian dalam, dan pondasi.
Model masjid masih sama seperti dulu. Bangun tambahan meliputi sayap kanan dan kiri dengan meniru model asli masjid. Kini total luas masjid mencapai 50 x 15 meter. Sedangkan perubahan ada pada genting yang dulunya memakai ijuk kini menjadi kayu sirap. Bagian langit-langit dan dinding depan juga dilapisi keramik.
Sayangnya, sejarah masjid paling tua di Bandung ini baru sedikit yang bisa digali. Profil masjid disusun belakangan ini. Isinya masih belum utuh alias sepotong-sepotong. “Sejarahnya masih ada yang buntu, mungkin karena dulu terkendala teknologi jadi tidak diarsipkan,” terang Nono.
Penyusunan profil singkat itu ternyata tidak sederhana. DKM Masjid Cipaganti harus membentuk tim kecil untuk melakukan penelitian sejarah masjid. Tim ini berbekal dokumen tiga lembar berisi secuil sejarah masjid. Dokumen penting ini milik salah satu pengurus DKM bernama Garsadi.
Nono merupakan salah satu tim penyusun profil yang berusaha menggali sejarah dengan cara wawancara para tokoh atau sesepuh Cipaganti yang masih hidup. “Kita berhasil menemukan empat sesepuh. Kini empat sesepuh Cipaganti itu sudah pada meninggal,” ungkapnya.
Hasil penelusuran, dibukukanlah Profil Masjid Cipaganti pada 2005. “Baru sekira 65 persen yang tergali. Masih banyak yang belum digali,” ujarnya.
Isi tiga lembar dokumen itu menjelaskan latar belakang pendirian masjid. Masjid didirikan sejak zaman Belanda pada 1933 dengan arsitektur CP Wolf Schoemaker. Pembangunan masjid memakan waktu relatif singkat pada masa itu yakni sejak 7 Februari 1933 selesai 27 Januari 1934 atau hampir setahun.
Biaya pembangunan dan pembangunan bersumber dari kaum Bumi Putera (pribumi). Peletak batu pertama masjid adalah Asta Kanjeng Bupati Bandung Raden Tg Hasan Soemadipraja. Karena nilai sejarahnya itulah keberadaan Masjid Besar Cipaganti menjadi heritage yang harus dilindungi berdasar UU Cagar Budaya No 5/1992.
Menurut Nono, beberapa penggal sejarah masjid yang belum dimasukan ke dalam profil masjid, misalnya soal menara kecil yang bertengger di bagian atas pintu utama masjid. Di sana ada tangga yang menuju ke menara ukuran 2x2,5 meter itu.
”Mungkin menara itu untuk adzan. Jadi dulu kan belum ada Toa jadi orang naik ke atas menara supaya suara adzannya lantang. Soal tangga dan menara inilah yang belum tergali,” tuturnya.
Masjid Agung Bandung :
Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat yang dulu dikenal dengan Masjid Agung Bandung, selesai dibangun kembali pada 13 Januari 2006. Pembangunan itu termasuk dengan penataan ulang Alun-alun Bandung, pembangunan dua lantai basement dan taman kota sekaligus halaman masjid yang dapat dipergunakan untuk kegiatan seni budaya serta salat Idul Fitri dan Idul Adha. Secara resmi pembangunan fisik masjid, membutuhkan waktu : 829 hari atau 2 tahun 99 hari, sejak peletakan batu pertama 25 Februari 2001 sampai peresmian Masjid Raya Bandung 4 Juni 2003 yang diresmikan oleh Gubernur Jabar saat itu: H.R. Nuriana.
Masjid baru ini menggantikan Masjid Agung yang lama, yang bercorak khas Sunda.