Seni Pertunjukan Bandung , 01 Jul
2014
Wanggi Hoed, Bersuara dalam Diam
By Ferri Ahrial
Siapa yang sangka, anak sang maestro
pantomim Indonesia Seno A. Utoyo yang bernama Gendis A. Utoyo, mengirimi Wanggi
pesan melalui Facebook. Pada pesan itu, Gendis mengutarakan kerinduannya pada
ayahnya setelah melihat foto-foto penampilan pantomim Wanggi. Tampaknya Wanggi tidak
hanya membakar semangat keadilan sosial sekaligus spirit kesenian pada banyak
orang, tapi ia juga memantik kerinduan seorang anak pada Ayahnya. Barangkali
kerinduan itu adalah kerinduan banyak orang pada pertunjukan-pertunjukan yang
jujur.
Wanggi Hoediyatno adalah seorang
seniman pantomim muda kelahiran Palimanan, Cirebon, 24 Mei 1988. Ia mulai
menyenangi seni olah tubuh tersebut sejak duduk di bangku Sekolah Menengah
Pertama, hingga ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Jurusan
Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Pertunjukan-pertunjukan
pantomim telah ia gelar di dalam maupun luar negeri, dari pinggir jalan hingga
gedung-gedung pertunjukan.
Tahun 2007 saat masih berkuliah,
Wanggi bersama empat rekannya membuat suatu perkumpulan pantomim yang bernama
Mixi Imajimime Theater. Saat itulah kepiawaian Wanggi sebagai seniman pantomim muncul dan berkembang, meskipun tak semulus
yang orang bayangkan. Ia mengakui bahwa banyak kalangan yang belum menerima
pantomim sebagai seni yang patut diapresiasi. “Awal-awal kami melakukan pertunjukan,
baru segilintir orang yang mampu menerima pertunjukan kami, seperti
komunitas-komunitas teater dan sastra. Orang-orang di luar itu kebanyakan masih
kebingungan dan sebagian bahkan pernah meremehkan,” tutur Wanggi kepada Indonesia
Kreatif di basecamp Mixi Imajimime Theater.
Isu-isu sosial dan kemanusiaan
menjadi fokus utama Wanggi dalam banyak pertunjukannya. Pada Maret 2013, Wanggi
dan beberapa komunitas mahasiswa dan pelajar menggelar kegiatan kemanusiaan
yang bertajuk “1000 Biskuit dan Susu untuk Gizi di Indonesia”. Dalam rangkaian
kegiatan itu, Wanggi beraksi dengan seni pantomim untuk menyuarakan Hari Gizi
Nasional yang jatuh setiap tanggal 28 Februari. Selain itu, Wanggi juga aktif
pada penegakan keadilan terhadap beberapa kasus penculikan di era Orde Baru. Ia
bersama teman-temannya menggelar aksi Kamisan di depan Gedung Sate Bandung.
Di dalam proses kreatifnya, Wanggi mengakui bahwa tidak ada hal-hal yang sebenarnya cukup serius dalam bermain pantomim. “Kita hanya perlu meriset ke lapangan, melihat gerakan-gerakan kaum marjinal atau orang elit. Setelah melihat bagaimana cara mereka berjalan, cara mereka memandang terhadap sekitar, kita simpan baik-baik imaji tersebut di dalam memori dan kita praktikkan secara terus-menerus agar dapat menguasainya,” jelas Wanggi.
Pada kegiatan Bandung International
Film Festival, Wanggi menampilkan pertunjukan pantomim Mime-Meditation.
Ia mengeksplor pertunjukannya menjadi sebuah meditasi bagi dirinya yang menjadi
tontonan menarik bagi pengunjung karena meditasi dilakukan dalam pertunjukan
pantomim selama dua belas jam tanpa istirahat. Menurutnya, meditasi menjadi hal
yang penting untuk semua orang. “Meditasi adalah sarana untuk mencari identitas
diri,” kata pria yang memiliki kumis tebal dan lentik itu. Selain itu Wanggi
pun pernah menampilkan pertunjukan selama enam jam tanpa henti.
Berkembang dan berproses dari
pertunjukan panggung ke panggung dan street art, membuat Wanggi akhirnya
ditawari untuk melakoni pertunjukan Sirkus Kontemporer di tahun 2013 bersama
dengan Chabatz D’Entrar, klub sirkus asal Perancis. Tak tanggung-tanggung,
melalui acara tersebut Wanggi melanglang buana ke sepuluh kota berbeda di
Indonesia serta melakukan tur ke Timor Leste dan dua kota di Vietnam. Dalam
pertunjukan itu, Wanggi memperlihatkan ciri khas Chabatz d’Entrar–yang getol
menggunakan barang-barang sehari-hari seperti untuk properti sirkusnya.
Selain berpantomim, kegiatan rutin
Wanggi adalah aktif di Teater Cassanova. Bahkan ia juga pernah menyutradarai
sebuah pertunjukan Teater Cassanova yang berjudul “Teater Rambut Palsu” pada 23
Oktober 2012. Melakukan Yoga menjadi salah satu bagian penting bagi seorang
Wanggi. Rutinitas Yoga yang telah ia tekuni sejak lama, menurutnya, memberikan
suatu energi bagi penampilan pantomimnya.
Perjalanan Wanggi di dunia seni
pantomim tampak menjadi serius bagi dirinya dan banyak kalangan. Beberapa tahun
terakhir wajah putihnya itu sering muncul di beberapa TV swasta nasional, koran
dan majalah, bahkan salah satu pertunjukannya pernah ditayangkan di TV kabel
Belgia.
Menurut Wanggi, bahasa tubuh adalah
bahasa yang universal. Semua manusia akan memahami tanda-tanda gerak tubuh yang
sifatnya konvensional. Ia mengakui akan terus bersuara dalam diam, bergerak
menyampaikan isu-isu sosial kemanusiaan dari gedung pertunjukan hingga jalanan.
“Saya menghidupkan pantomim sehingga pantomim pula yang menghidupkan saya. Saya
akan terus berpantomim bila benar-benar tak sanggup lagi untuk bergerak dan
bila imajinasi saya sudah pupus,” tutup Wanggi.
—
Foto: Dok. Wanggi Hoed
Tautan Luar:
- Youtube Wanggi Hoediyatno (http://www.youtube.com/channel/UCMjDTMkc3rCTZBpAiQfYtww)
- Twitter Wanggi Hoediyatno (https://twitter.com/wanggihoed)
- Facebook Wanggi Hoediyatno (https://www.facebook.com/wanggi.h.boediardjo)
Article Tags: Pantomim, Wanggi Hoed
Hobi menulis, membaca, bermain gitar, dan bernyanyi. Sedang menempuh studi Sastra Inggris S1 di Universitas Pasundan Bandung. Tuhan bersama orang-orang kreatif. - @ferriahrial
Copyright © 2010-2014 Indonesia Kreatif
Sumber website : http://news.indonesiakreatif.net/wanggi-hoed/