EDITOR : MIFTAKHUL F.S
Features
Wanggi Hoed Terus Menyuarakan Isu Kemanusiaan lewat Pantomim.
KOMITMEN: Wanggi Hoed (tengah) dan dua rekannya saat menampilkan Nyusur History Mudik Movement di Bandung. (Fajri Achmad/Bandung Ekspres/JPG)
eski pernah punya pengalaman buruk saat mengadakan pertunjukan, Wanggi Hoed bertekad akan tetap bersuara lewat pantomim. Semangatnya berlipat setelah mendapat pesan dari putri seniman idolanya.
ANDRA NUR OKTAVIANI, Bandung
DUA hari menjelang Idul Fitri. Saat banyak warga Bandung sibuk mempersiapkan kepulangan ke kampung halaman, Wanggi Hoed memilih menyusuri jalanan di ibu kota Jawa Barat tersebut.
Dari simpang lima Asia Afrika hingga ke Alun-Alun Bandung. Dengan wajah seputih kapur dan kumis yang dibiarkan mbaplang. Tanpa suara.
”Saya ingin menyuarakan keresahan saya melihat hiruk pikuk para pemudik. Saya ingin mengingatkan masyarakat pada esensi mudik yang sebenarnya,” kata seniman pantomim asal Cirebon itu ketika ditemui di sela aksinya tersebut.
Begitulah cara seniman 29 tahun itu menyuarakan kegelisahan atau ekspresinya terhadap isu-isu sosial dan kemanusiaan. Lewat seni yang digelutinya sejak bangku SMP: pantomim.
Pada Maret 2013, misalnya, Wanggi dan beberapa komunitas mahasiswa dan pelajar menggelar kegiatan kemanusiaan yang bertajuk ”1.000 Biskuit dan Susu untuk Gizi di Indonesia”.
Selain itu, Wanggi aktif dalam penegakan keadilan terhadap beberapa kasus penculikan di era Orde Baru. Dia bersama teman-temannya menggelar aksi Kamisan di depan Gedung Sate Bandung.
Aksi Wanggi tidak selalu berjalan mulus. Aksinya dalam perayaan Hari Tubuh Internasional di kawasan Jalan Asia Afrika, Bandung, tahun lalu dihentikan polisi. Tidak berhenti sampai di situ, Wanggi pun diamankan, lalu diinterogasi petugas kepolisian.
Wanggi yang merasa tidak ada yang salah dengan aksinya lantas bertanya kepada polisi apa yang membuat aksinya dibubarkan. ”Mereka bilang Wanggi sudah bikin macet jalanan. Padahal, jalan itu tanpa Wanggi pun memang sudah macet,” terang pria kelahiran Cirebon, 24 Mei 1988, tersebut.
Pria yang terlahir dengan nama Wanggi Hoediyatno itu mempelajari pantomim secara otodidak. Dia jatuh cinta dengan seni tersebut karena bahasa tubuh adalah bahasa yang universal. Semua manusia akan memahami tanda-tanda gerak tubuh yang sifatnya konvensional. Sehingga, meski isu yang dibawakan lokal sekalipun, masyarakat dunia akan mengerti.
Pilihan itu pula yang membawanya hijrah ke Bandung untuk menuntut ilmu di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) yang sejak 2006 berganti nama menjadi Institut Seni dan Budaya Indonesia. Di tahun keduanya kuliah, Wanggi bersama empat kawannya membuat sebuah komunitas pantomim yang diberi nama Mixi Imajimime Theatre. Nama Mixi itu juga yang kemudian dijadikan nama karakter pantomim yang dia bawakan.
Wanggi berkesempatan pula terlibat dalam pertunjukan sirkus kontemporer yang dilakukan kelompok sirkus asal Prancis Chabatz D’Entrar pada 2013. Menurut Wanggi, kesempatan tersebut datang saat dirinya sedang melakukan residensi di Institut Français d’Indonésie (IFI).
Kelompok sirkus itu memang sedang melakukan tur di Indonesia, Timor Leste, dan Vietnam. Wanggi menjadi satu-satunya orang Indonesia di antara orang Prancis yang tergabung dalam kelompok tersebut.
Banyak sekali hal yang dipelajari Wanggi dari teman-temannya di kelompok sirkus itu. Salah satunya adalah disiplin. Setiap anggota kelompok harus mematuhi peraturan yang berlaku di kelompok tersebut.
Wanggi juga belajar banyak mengenai teknik pertunjukan. Bagaimana seharusnya dia bisa berekspresi dengan tepat. ”Tidak boleh berlebihan dan tidak boleh kurang juga,” katanya.
Meskipun punya pengalaman buruk saat melakukan pertunjukan, Wanggi mengaku tidak akan menyerah. Dia akan terus menyuarakan suara-suara yang tidak terdengar melalui aksi-aksi pantomimnya.
Semangat Wanggi untuk terus berpantomim makin terlecut saat dirinya menerima sebuah pesan dari Gendis A. Utoyo. Dia adalah anak maestro pantomim Sena A. Utoyo yang menjadi role model Wanggi. Melalui pesan Facebook itu, Gendis mengutarakan kerinduannya pada sang ayah. Itu terjadi setelah dia melihat foto-foto penampilan pantomim Wanggi.
Salah satu pertunjukan Wanggi juga pernah ditayangkan di TV kabel Belgia. Beberapa mahasiswa dari luar negeri pun menjadikan Wanggi dan aksinya sebagai bahan penelitian untuk tesis mereka. ”Ada dari Jerman dan Amerika Serikat. Yang dari Amerika Serikat itu bertujuh datang untuk meneliti saya,” cerita Wanggi.
Bingung mungkin kata yang pas untuk menggambarkan kondisi Wanggi saat diminta menjadi objek penelitian. Dengan kehidupan yang apa adanya, panggung dari jalan satu ke jalan lainnya, dan isu-isu berat yang kerap membuat para petinggi daerah gerah, Wanggi masih tidak dapat membayangkan apa yang bisa dia bantu dalam penelitian itu. Namun, bukan Wanggi namanya jika melewatkan kesempatan begitu saja.
Sebisa-bisanya Wanggi membantu para mahasiswa tersebut mendapatkan bahan penelitian bagus untuk dapat dituangkan dalam tugas akhir mereka. ”Mereka sempat tanya pas mereka berkunjung sedang ada kegiatan atau tidak. Saya bilang, kalau tidak ada kegiatan, ya bikin saja. Saya bilang, yang penting kita ketemu dulu. Baru diomongin,” terang Wanggi. (*/c9/ttg)
sumber berita :
https://www.jawapos.com/read/2017/07/14/144249/wanggi-hoed-terus-menyuarakan-isu-kemanusiaan-lewat-pantomim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar