Wanggi Hoediyatno (27) “bersuara” lantang meski tanpa riasan wajah putih di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (22/1). Ia membawa payung dan mengenakan celana dan baju serba hitam, mata besarnya menatap tajam foto-foto aktivis Indonesia yang meninggal dan hilang tanpa kabar. Seperti ingin menggambarkan perjuangan untuk keadilan yang tidak pernah usai, hampir setengah menit Wanggi memutar tubuhnya dalam satu poros.
Oleh Cornelius Helmy
Repertoar berjudul Payung Hitam Melawan itu seperti menandai kesetiaan Wanggi pada Kamisan di Bandung sejak 2013. Penghormatan pada ibu-ibu Kamisan di Jakarta yang masih menunggu jawaban atas nasib anggota keluarganya yang meninggal atau hilang sejak 2007.
Wanggi mengatakan harapan ibu-ibu Kamisan di Jakarta selalu memberikan semangat baginya untuk ikut menanti keadilan. Semangat yang membuatnya tidak pernah absen setiap Kamis, walaupun kerap hadir seorang diri.
“Semuanya menjadi jawaban banyak pertanyaan, mengapa saya getol ikut Kamisan? Banyak orang memandang sebelah mata, mengatakan saya bahkan belum lahir saat peristiwa yang saya perjuangkan itu terjadi di Indonesia,” kata Wanggi sembari memainkan kumis tebal yang jadi ciri khasnya.
Kamisan yang pertama dilakukannya di halaman Gedung Sate, Kota Bandung, pada 18 Juli 2014. Saat itu, Wanggi datang dengan riasan putih pucat. Ia juga membawa tas butut berisi informasi beragam pelanggar hak asasi manusia Indonesia. Foto korban dan mereka yang diduga pelaku utama ikut ditentengnya. Tepat pukul 16.00, di antara banyak orang lalu lalang menunggu waktu, Wanggi bersama empat temannya berdiri terdiam, terpaku.
Aksi unik itu menarik perhatian. Beberapa warga melontarkan pertanyaan.
“Apa ini?” tanya seorang warga.
“Kamisan” jawab Wanggi.
“Apa itu?” tanya warga itu lagi.
Ternyata, masih banyak orang yang belum mengetahui Kamisan itu. Ini yang membuat Wanggi kembali belajar. Banyak orang lupa atau tidak tahu tujuan dari Kamisan. Dari situ ia yakin aksinya tidak boleh dilakukan sekali lalu mati.
“Bila tidak diingatkan, perjuangan untuk kemanusiaan ini mudah dilupakan. Mirip dengan apa yang selalu dikatakan seniman besar pantonim sejak dulu,” kata Wanggi yang banyak belajar pada seniman Rahmat Koesnadi memainkan peran lewat pantomim.
Aksi
Salah satunya adalah ucapan Marcel Marceau, tokoh pantomime dunia. Marceau pernah mengatakan pantomime itu mengingat tentang seseorang, kemanusiaan, kehidupan, dan mereka memiliki sejarah.
“Riasan muka putih pantomime yang dipopulerkan Marceau juga sarat pesan kemanusiaan. Dia terinspirasi sekaligus prihatin saat melihat wajah putih pucat ayahnya yang meninggal akibat keganasan Perang Dunia II,” katanya.
Charlie Chaplin, tokoh pantomime idolanya, juga membuat Wanggi banyak belajar. Chaplin kerap mengangkat isu kemanusiaan dalam filmnya. Dalam The Great Dictator (1940), Chaplin mengungkapkan manusia bukan robat yang seragam. Chaplin juga mengajarkan kepedulian terhadap sesame manusia ketika bermain sebagai gelandanga yang mengasuh anak yang dibuang dalam film The Kids (1921).
Tidak sekadar kagum, Wanggi benar-benar mewujudkan pesan kemanusiaan para idolanya itu.
Dengan langkah gontai, tubuh kurus Wanggi berjalan sendirian menyusuri aspal panas Kota Bandung, 10 Desember 2014. Gaun perempuan dan topi bulat membuatnya kepanasan. Tetes keringat mulai merusak riasan wajah putihnya.
Mulai berjalan dari kawasan Buah Batu sekitar pukul 10.00, dia mengambil jalan memutar dan tiba di Institut Francais d’Indonesia di Jalan Purnawarman , empat jam kemudian. Ratusan orang sudah menunggunya disana. Kedatangan Wanggi membuka pemutaran film Senya memperingati Hari HAM Sedunia.
Isu ketidakadilan terhadap akses kesehatan masyarakat juga dilahapnya. Tanpa ragu, ia ikut mendampingi anak-anak autis di Cimahi. Ia menemukan fakta pantomime bisa menjadi jembatan bagi semua orang mengembangkan bakat dan kelebihannya.
Ia juga terusik fakta masih banyak anak bungsu lapar di Nusantara. Ia ingin ambil bagian memerangi kelaparan di negeri subur dan kaya ini lewat pantomim.
Pada 28 Februari 2012, ia menepati janjinya. Tiba di pelataran Gedung Sate, ia melumuri muka dengan riasan putih pucat. Membawa infus, roti, dan susu, Wanggi memainkan repertoar Sehat Itu Milik Siapa?
Aksinya ditanggapi beragam. Campur aduk. Penampilannya mengetuk hati donator. Sebanyak 100 bungkus roti dan susu berdatangan. Setelah dipilah masa kedaluwarsanya, semua donasi dikirim ke keluarga penderita busung lapar di Medan, Sumatera Utara, dan Sukabumi, Jawa Barat.
“Donasi itu semakin meyakinkan pilihan saya tidak keliru. Pantomim bisa menjembatani kepedulian antarmanusia” katanya.
Akan tetapi, ia dibuat tidak tenang sehari sesudah aksinya. Setiap tengah malam selama seminggu, telepon genggamnya selalu bordering. Wanggi tidak pernah tahu siapa yang mengancamnya.
“Saya diancam jangan ulangi aksi di hari gizi bila tidak mau menanggung akibatnya. Namun, saya tidak ambil pusing. Saya minta bertemu langsung, tapi tidak pernah ditanggapi,” kenang Wanggi.
Wanggi tidak ciut. Ia justru mengulangi lagi aksinya saat memperingati Hari Kesehatan Sedunia di Bandung, dua bulan kemudian. Ia membawakan repertoar Sehat Itu Milik Siapa II?
Penampilannya dalam Kamisan juga pernah mengundang protes. Akibat foto yang selalu diunggah ke media sosial, ia pernah diintimidasi.
“Terima kasih untuk mereka yang telah memberi semangat, bhaik mendukung atau mengancam. Mereka memberikan banyak inspirasi untuk setia di jalan ini,” ujar Wanggi tersenyum lebar.
Kolaborasi
Kesetiaan itu juga yang membawa Wanggi pada sejumlah kolaborasi dengan artis beragam negara. Kerja sama dengan artis pantomim Malaysia, Syafiq Effendi Faliq, menghasilkan gelaran Kolaborasi Pantomime 2 Negara pada 2013. Wanggi juga pernah berkarya dengan kelompok seni kontemporer Kubilai Khan asal Perancis dalam Festival Constellation tahun 2014.
Tidak hanya itu, ia juga diberi kesempatan memperkenalkan Indonseia ke beberapa negara. Selama Mei-Juni 2013, ia berkolaborasi dengan kelompok sirkus dari Perancis, Chabatz D’entrar. Pentas bertema Di Sini, Sekarang, dan Di Sana, yang sarat pesan kemanusiaan dan budaya itu membawanya ke panggung di delapan kota di Indonesia (Medan, Makassar, Balikpapan, Surabaya, Malang, Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta). Dua kota di Vietnam (Hanoi dan Ho Chi Minh) serta Dili di Timor Leste.
Dari semua pergulatannya, Wanggi kini semakin paham. Ia yakin pantomime dan wajah putihnya bisa menjadi jembatan kemanusiaan yang harus selalu diperjuangkan.
Wanggi Hoediyatno
- Lahir : 24 Mei 1988
- Pendidikan :
- SDN Palimanan IV Cirebon (Lulus 2000)
- SMPN Palimanan III Cirebon (Lulus 2003)
- SMA Muhammadiyah Cirebon (Lulus 2006)
- Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung (Lulus 2012)
Sumber: Kompas, Selasa, 3 Februari 2015
Izin promo ya Admin^^
BalasHapusBosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa
- Telkomsel
- XL axiata
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.COMPANY ....:)