"Semua yang hidup akan menemui kematiannya, dan itu keniscayaan."
Turut berdukacita atas
meninggalnya seni pertunjukan pantomim Indonesia, emangnya udah mati? Mungkin
mati kutu, apa begitu-gitu saja, atau memang sunyi sekali kah dan tidak
berdenyut lagi nafasnya? Mungkin sedang tertidur atau jeda sejenak. Itu juga
bagian dari membaca pertumbuhan di jaman yang semakin cepat, sebab pantomim
lahir dan hidupnya tidak secepat dan gesit bagai seni lainnya, dia tidak
terburu-buru, sunyinya selalu riuh dan menghujam.
Geliatnya sih memang terasa,
tapi untuk sebagian masyarakat yang dekat dengan pelaku, komunitas/kelompok,
atau sanggar yang berada disekitarnya saja. Dengan hadirnya teknologi dalam
genggaman kita saat ini, kita bisa dapat menemukan informasi dan literasi
pertunjukan seni pantomim, walaupun masih sedikit terulas dan tertuliskan baik
dalam bentuk fisiknya maupun jejak digital.
Beberapa tahun kebelakang
sebelum pagebluk menyerang, saya memperhatikan beberapa pelaku pantomim
terpantau bersiap dengan karya-karya pentasnya namun sebagian tertunda dan
ambruk (bahkan dibatalkan) sebab diberlakukannya peraturan pemerintah (gelaran
seni-budaya dihentikan.red). Sebagian komunitas/kelompok dan individu putar
otak dan strateginya, namun tampak terlihat menuju ajalnya, lenyap perlahan
lalu mati, sebagian lagi masih berdenyut dan bersiasat memfungsikan sosial
media untuk menyebarkan karyanya melalui ruang virtual.
Penulis membaca kemungkinan akan ada kematian pantomim Indonesia di pagebluk ini, sebab tampak beberapa kelompok pesohor legendaris ataupun individu lenyap dari detak jantung kekaryaan juga sosial medianya sebagai sarana informasi bagi penikmat seni ini, bahkan banyak yang beralih untuk bertahan hidup dengan mengolah aktivitas di tempat lain. Ternyata pembacaan saya meleset! Malahan lahir ruang diskursus yang lebih intim di pertengahan tahun 2021 melalui zoom meeting sebagai ruang pertemuannya, juga ada yang memproduksi karya melalui perekaman dan pendokumentasian digital yang bisa kita apresiasi melalui platform youtube maupun instagram.
Pantomim memang (tidak) mati seutuhnya, tapi mati kutu, beruntunglah di jaman ini masih ada beberapa individu pelaku seni maupun kelompok/komunitas/sanggar yang masih terus berdaya menghidupi seni ini di tempatnya. Mati (kutu)nya pantomim di Indonesia adalah disaat para pelakunya mematikan aliran komunikasi - informasi kepada generasi selanjutnya yang sedang bergeliat, juga pada ruang yang telah di aktivasi oleh para inisiator yang (masih) ingin seni pantomim terus tumbuh dan hidup di masyarakat.
Bila kita tengok sejarah
kembali, para pelopor seni pantomim juga pernah merasakan hal tersebut, Namun
yang berbeda dari para pendahulu sering dimana mereka membawa cerita dari
situasi yang sedang dialami pada kenyataan di jamannya. Bahwa kenyataan jaman
adalah ruang bercerita dalam genggamannya bagi siapapun dan terus dikabarkan,
bahkan melalui seni pertunjukan pantomim sekalipun. Karyanya berbicara dari
jaman ke jaman. Dan dari situlah seniman
menjadi saksi akan perisitiwa kehidupan dimulai dari yang terdekat, dan
kemudian dapat menjangkau ke berbagai tempat lainnya, untuk apa? Untuk dapat
terhubung bukan saja sebuah peristiwa tersebut, namun dapat mengabarkan dengan
jangkauan yang lebih luas dan menyerbar.
Nah dengan begitu seni
pantomim harus melibatkan dirinya, mengabarkan, mendekatkan diri pada lintasan
keilmuan lainnya, bahkan bukan hanya menyampaikan cerita dengan sekedar gerak
meniru belaka, tapi lebih pada melihat kenyataan disekitarnya. Apakah itu dapat
terwujud, ya mungkin saja, mari berdo’a dengan segala tindakan baik kita untuk
ekosistem yang sedang tumbuh ini di khasanah seni pertunjukan yang sepertinya
memang sedang tumbuh sedemikian rupa.
Sebagai penutup tulisan dari celotehan yang penuh perenungan ini, saya teringat kalimat yang diucapkan oleh Jaques Lecoq dalam tulisannya, ia dengan tepat menyatakan bahwa "pantomim tidak identik dengan mimikri, ia bukan sekedar tiruan, tetapi cara "menggenggam yang nyata", mengomunikasikan sesuatu tentangnya", tentang peristiwa yang sedang berada di jamannya, agar tidak mati kutu tiba-tiba, niscaya.
Penulis : Wanggi Hoed.
Bandung, 10 November 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar