Bikin Nyandu : Satu Dekade Pantomim Wanggi Hoediyatno
by sorasoca
Wanggi Hoediyatno Boediardjo sedang sibuk merias wajah memakai krim tiga warna, putih, hitam, dan merah. Hari itu ia tengah melakukan persiapan untuk memperingati Hari Pantomim Sedunia yang jatuh pada 22 Maret.
Wanggi, begitu ia akrab disapa, merupakan seniman pantomim. Sejak tahun 2006, ia menekuni pantomim. Namun tak ada perayaan atau selebrasi yang menandai perjalanan satu dekade seniman kelahiran Palimanan, Cirebon, 24 Mei 1988 ini.
Seni gerak tubuh sudah ia pelajari sejak masih kecil. Namun, bakatnya semakin terasah kala mengambil kuliah Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.
“Dari kecil saya memang sudah melakukan gerakan-gerakan tubuh. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 2004 mulai perform art. Sayang juga ketika sudah punya dasar seni tidak melanjutkan dan akhirnya 2016 sekolah lagi di STSI Bandung,” kata Wanggi.
Sebelumnya, Wanggi menyukai bidang seni lainnya yakni menggambar. Namun, panggilan menjadi pantomim ternyata lebih besar dan akhirnya pria kurus ini memutuskan untuk menjadi seorang pantomim.
Bersama teman-temannya, Wanggi kerap tampil di kafe, resto, dan sejumlah tempat keramaian lainnya. Perform dari satu tempat ke tempat lain tak membuat Wanggi puas. Ia pun memutuskan untuk membuat komunitas di pertengahan 2006.
“Akhirnya terpikir sama teman-teman yang lain bahwa jangan hanya tampil di tempat seperti itu saja. Bentuklah sebuah komunitas,” jelasnya.
Awalnya, komunitas tersebut berjumlah tujuh orang. Namun, hanya empat saja yang bertahan. Satu tahun kemudian anak dari pasangan Rudi Budiardjo dan Leli Sulaeli ini memutuskan untuk membentuk komunitas yang kemudian ia namakan Mixi Imajimimetheater. Untuk pertama kalinya digelar sebuah pertunjukan bertajuk “Sang Guru dan Buku Pintar”.
“Sejak dari pertunjukan hingga sepanjang perjalanan terus mengalami pasang surut. Tiba-tiba yang satu hilang dan saya yang enggak tahu apa-apa ditinggal, malah enggak tahu pantomim itu seperti apa. Apakah cari duit, menghibur, atau cuma jadi tempelan di kegiatan-kegiatan,” kenangnya.
Sejak saat itu, Wanggi pun mencari literatur sendiri tentang pantomim. Selain untuk menambah khazanah berpantomim, literatur tersebut sebagai modal baginya ketika ditanya orang tentang pantomim.
“Dari baca sana-sini akhirnya sampai tahu bagaimana pantomim dunia hingga pantomim di Indonesia. Dari sana juga bisa tahu bahwa pantomim heboh di Indonesia tahun 70-an,” sambungnya.
Berbagai pertunjukan pantomim telah ia lakukan. Dari dalam negeri hingga ke luar negeri, dari gang-gang kecil hingga ke gedung pertunjukan. Namun, usaha Wanggi yang tak mengenal lelah dalam meluaskan pantomim kepada masyarakat terus ia lakukan.
“Saya coba pantomim dilempar ke ruang publik. Karena sering main di panggung-panggung yang begitu konvensional, tidak bisa meluas. Penontonnya itu lagi dan tidak ada efek perubahan. Di ruang publik lah saya dengan komunitas terus membuat program-program seperti menyusuri sejarah kota, bahkan akhirnya mencoba ke luar kota. Ke luar kota ini juga dengan dana dari celengan sendiri tanpa melibatkan sumber-sumber dana dari instansi,” paparnya.
Dalam perjalanan ke berbagai tempat di Indonesia, Wanggi merasa resah karena selain pantomim tak terlalu populer, kegiatan tersebut dipandang untuk mencari uang semata. “Ketika berpantomim, melihat kondisi pantomim di beberapa daerah sangat memprihatinkan. Pantomim diidentikkan dengan mengamen. Sebenarnya sah-sah saja dihadirkan seperti itu,” ungkapnya.
Wanggi mengatakan, pantomim bukan semata hiburan. Melainkan ada pesan yang tersembunyi di dalamnya. “Pantomim itu menurut saya sebagai bahasa yang bisa membahasakan segalanya. Ketika orang sudah tak bisa mengatakannya lagi, pantomim bisa menuliskan dengan geraknya,” tutur pengagum pantomim asal Prancis, Marcel Marceau ini. ( Teks dan foto: Huyogo Simbolon )
Article Media : https://qubicle.id/story/bikin-nyandu-satu-dekade-pantomim-wanggi-hoediyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar