Apa
yang terbersit di benak kamu ketika mendengar kata “sirkus”?
Hewan-hewan yang beraksi, gadis yang meliuk-liukkan tubuhnya di seutas
tali yang menjuntai, badut yang melompat-lompat di atas trampolin, atau
orang yang berayun-ayun pada palang-palang yang tergantung jauh di atas?
Biasanya, kita menonton pertunjukkan sirkus dalam sebuah tenda yang
besar dengan aroma kotoran hewan yang menguar bersama hembusan angin
yang masuk dari celah-celah tenda. Kamis malam (6/6) lalu, saya menonton
pertunjukan sirkus yang berbeda dari biasanya, yaitu sirkus kontemporer
di Sasana Budaya Ganesha. Tidak ada aroma kotoran hewan di sana, sebab
tidak satupun hewan yang beraksi dalam sirkus ini. Semua yang beraksi
dalam sirkus ini adalah manusia. Dengan tata panggung yang sederhana,
lantai yang hanya dialasi matras tipis, Chabatz d’Entrar berkolaborasi
dengan seniman-seniman Bandung yaitu Permata Andhika Rahardja, Wanggi
Hoediyatno dan Bottlesmoker yang mengolah kreasi musik pengiring atraksi
sirkus ini.
Pertunjukan sirkus ini dibuka dengan kemunculan
seorang lelaki yang berjalan melintasi panggung dengan gaya berjalan
komikal layaknya pantomim. Lalu muncul tiga sosok tinggi yang berjalan
di atas egrang kayu, masing-masing memegang dua batang bambu panjang.
Dari kedua lengan dan sekeliling pinggang sosok-sosok itu menjuntai
bilah-bilah bambu yang panjang. Gerakan mereka yang tenang mengingatkan
saya pada karakter pohon. Sementara ayunan bilah-bilah bambu yang
panjang dan saling beradu itu seperti menggambarkan kerimbunan
pepohonan, seperti hutan. Tak lama kemudian, munculah seorang gadis,
tangannya menggenggam sesuatu. Ia berjalan ke sana ke mari sambil
melindungi sesuatu yang digenggamnya. Sesuatu itu sepertinya burung,
sebab terdengar kicauan burung semenjak gadis itu muncul.
Gadis
itu kemudian melepaskan burung dalam genggamannya ke sela-sela
pepohonan. Ia bermain di sana dengan burung-burung itu. Ia memanjat ke
pohon-pohon yang tinggi untuk memetik buah dan memakannya di atas pohon,
bahkan berayun-ayun di sela dahannya. Ini bukan imajinasi saya semata,
gadis tersebut benar-benar memanjat ke atas sosok-sosok tinggi tersebut
hanya dengan memijak pada tiga batang kayu yang bersilangan tanpa tali
pengaman.
Keasyikan gadis itu mulai terganggu ketika terdengar
suara deru mesin dan kendaraan berat. Satu per satu batang-batang bambu
itu berjatuhan. Bilah-bilah bambu pun berjatuhan seperti ranting-ranting
yang patah dan jatuh berserakan, pohon-pohon menghilang. Sang gadis
yang mencoba memanjat pohon terakhir pun terjatuh. Kemudian seorang
lelaki muncul mengumpulkan bilah-bilah bambu yang terjatuh, entah untuk
diapakan. Berangsur-angsur, munculah orang-orang. Atraksi menangkap dan
melempar bambu secara bersilangan dan berputar menjadi gambaran baru.
Seolah-olah menggambarkan sebuah siklus kehidupan yang baru sedang
dibentuk.
Suasana berubah drastis ketika muncul sebuah gedung
pencakar langit. Hiruk-pikuk kota sangat terasa dari musik yang
menghentak. Orang-orang berjalan ke sana ke mari, sibuk dengan urusannya
masing-masing. Tak ada kehangatan, tak ada yang menyapa satu sama lain.
Kadang mereka saling mengejar, kadang mereka berbenturan, kadang saling
mendukung, kadang saling menghindar. Semakin lama, irama kota semakin
menghentak, orang-orang semakin tampak stres mengikuti arus kehidupan
hingga akhirnya gedung pencakar langitpun runtuh.
Orang-orang
kemudian kembali pada kehidupan yang tenang. Mereka membangun rumah yang
sederhana dari bambu. Mereka menjalani kehidupan yang sederhana pula,
harmonis dan saling bersinergi. Di sini, dua musisi Bottlesmoker turut
bergabung bersama pemain lainnya dan ikut memainkan batang-batang bambu.
Seperti cerminan sebuah kehidupan yang dibangun kembali untuk menemukan
kebahagiaan hakiki. Orang-orang tersebut akhirnya mampu membangun
kembali hutan kecil mereka dan menemukan ketenangan batin.
Atraksi-atraksi yang disuguhkan dalam sirkus kontemporer ini sangat
sederhana, namun mampu menyiratkan pesan yang mendalam. Betapa
keselarasan hidup antara manusia dengan manusia, juga antara manusia
dengan alam adalah hal yang memang dibutuhkan demi tercapainya
keseimbangan dalam hidup. Bukan sekadar keseimbangan tubuh, namun juga
keseimbangan antara segala kebaruan yang muncul dalam modernitas dengan
apa yang sudah kita miliki sebelumnya seperti alam, adat dan tradisi.
Kita tidak bisa terus hidup di masa lalu, karena perkembangan jaman
terus meningkat. Tapi kita juga tidak boleh melupakan segala hal baik
yang memang sudah ada, warisan yang harus kita teruskan, begitu tutur
Permata, salah seorang pemain dalam sirkus kontemporer ini.
Kolaborasi
seniman dua negara ini dimulai dari nol. Pada awalnya, mereka tidak
memiliki konsep apapun kecuali satu hal yang disepakati bersama, yaitu
penggunaan bambu dalam atraksi mereka. Chabatz d’Entrar memang lebih
memilih untuk menggunakan materi-materi yang natural dalam setiap
pertunjukannya. Egrang yang mereka gunakan pun terbuat dari bambu.
Penggunaan bambu dipilih karena merupakan representasi dari kultur Asia,
khususnya Indonesia.
Dalam setiap pertunjukannya, Chabatz
d’Entrar selalu bereksperimen dalam bentuk seni visual di mana tubuh dan
gerakannya menjadi titik awal dari pencarian mereka untuk seni
pertunjukan kontemporer. Hal ini sinergis dengan profesi Permata yang
merupakan therapist body movement, serta Wanggi yang merupakan
artis pantomim yang notabene mahir menggerakan setiap anggota tubuhnya
dalam mengekspresikan sesuatu. Mereka memulai dengan latihan bersama
selama tiga hari, mempelajari profesi masing-masing dengan melihat apa
saja yang biasanya mereka lakukan. Setelah memutuskan bahwa mereka bisa
bekerja sama, mereka memulai latihan pada awal April 2013. Selama enam
minggu mereka berlatih dari hari Senin sampai hari Jumat, minimal
delapan jam per harinya. Sambil berlatih, mereka menyusun konsep
pertunjukan ini.
Ternyata, menciptakan sebuah pertunjukan sirkus
kontemporer itu tidak mudah. Bukan sekadar berlatih ketangkasan fisik,
mereka juga menyiapkan pesan yang berharga. Mengingatkan kita akan
hubungan kodrati kita dengan alam---yang menjadi asal-usul manusia, dan
bagaimana kita tidak bisa mengabaikannya. (TIS)
All Photos courtesy of Desiyanti Wirabrata
Judul: Di sini, Sekarang dan Di Sana
Konsep: Chabatz d’Entrar
Interpretasi: Anne Keller, Olivier Léger, Damien Caufepé, Permata Andhika Rahardja, Wanggi Hoediyatno
Kreasi musik: Bottlesmoker
Kreasi cahaya, tata panggung: Silvère Bartoux
Produksi: Chabatz d’Entrar, IFI, Gedung Kesenian Jakarta, STSI Bandung
Website : http://bandungreview.com/articles/view/1130/chabatz-dentrar-ketangkasan-sirkus-dalam-balutan-kisah-yang-apik