17.01.2015
WANGGI Hoediyatno, seniman yang akrab dipanggil Hoed. Ia
adalah seniman pantomim muda asal Cirebon. Ia lahir di Palimanan,
Cirebon, 24 Mei 1988. Hoed ini anak keempat dari lima bersaudara, dari
pasangan Rahudi Budiarjo dan Leli Sulaeli.
Ia
mulai menyenangi seni olah tubuh sejak duduk di bangku Sekolah Menengah
Pertama, hingga ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di
Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.
Pertunjukan-pertunjukan pantomim telah ia gelar di dalam maupun luar
negeri, dari pinggir jalan hingga gedung-gedung pertunjukan.
Usianya
relatif muda. Namun, Wanggi memiliki visi ke depan dengan menekuni
pantomim. Terlebih, apa yang dilakukannya itu dilakoni dengan penuh rasa
cinta. Itulah hal pertama yang diungkapkan olehnya.
Kecintaan
Wanggi terhadap pantomim itu kerap dilakukan dengan aksi nyata. Sejak
18 Juli lalu, dia bersama komunitas Mixi Imajimime Theatre Indonesia dan
Indonesian Mime Artist Association melakukan aksi Kamisan yang lebih
dikenal dengan Aksi Melawan Lupa.
Saat itulah
kepiawaian Wanggi sebagai seniman pantomim muncul dan berkembang,
meskipun tak semulus yang orang bayangkan. Ia mengakui, banyak kalangan
yang belum menerima pantomim sebagai seni yang patut diapresiasi.
Aksi
tersebut rutin dilakukan oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk
Keadilan (JSKK) bersama dengan keluarga korban pelanggaran hak asasi
manusia (HAM). Di Jakarta, aksi di pertengahan pekan itu rutin dilakukan
di depan Istana Negara.
Selain keluarga korban
HAM, mereka yang terlibat dalam aksi Kamisan itu yakni para aktivis,
masyarakat, tokoh, beserta mahasiswa yang menuntut Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono waktu itu agar segera menuntaskan semua kasus
pelanggaran HAM.
"Kalau di Bandung yang dilakukan di depan Gedung Sate, ini baru beberapa kali. Tapi, di Jakarta sana aksi Kamisan ini sudah dilakukan sebanyak 310 kali. Dari ratusan aksi itu kita selalu diabaikan oleh pemerintah," paparnya.
Setiap Kamis, lanjut
Wanggi, kita mengirim surat kepada Presiden SBY waktu itu, agar
menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Tapi tetap belum ada jawaban.
Janji Terus Bersuara
Pria
ber kumis tebal itu mengaku aksi yang dilakukan itu mendapat
trasformasi energi dari ibu kota negara. Aksi yang dilakukan itu tak
lain untuk mengingatkan kembali kepada pemerintah. Hingga saat ini semua
kasus pelanggaran HAM di Indonesia belum ada yang dituntaskan.
Menurut
Wanggi, bahasa tubuh adalah bahasa yang universal. Semua manusia akan
memahami tanda-tanda gerak tubuh yang sifatnya konvensional. Ia mengakui
akan terus bersuara dalam diam, bergerak menyampaikan isu-isu sosial
kemanusiaan dari gedung pertunjukan hingga jalanan.
"Saya
menghidupkan pantomim, sehingga pantomim pula yang menghidupkan saya.
Saya akan terus berpantomim sampai benar-benar tak sanggup lagi untuk
bergerak dan bila imajinasi saya sudah pupus," tutup Wanggi. ***
[] Agvi Firdaus, Anthea Novita, Dea Andriyawan, Elma Salma Zakiah | Prodi Jurnalistik UIN Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar