WANGGI Hoediyatno,
seniman pantomim yang lahir di
Palimanan, Cirebon, 26 tahun silam. Selain kecintaannya terhadap
seni pantomime, ia juga menyukai travelling. Dua hal inilah yang kemudian mengantarkan Wanggi
berkeliling dunia.
Dengan
pantomim itu pulalah, ia berkesampatan menunjukkan
pada dunia, bahwa pantomim di Indonesia itu ada, berbeda,
dan berlipat ganda. Wanggi sering
berkolaborasi dengan seniman-seniman lokal, nasional hingga mancanegara.
Ia
pernah berkolaborasi dengan Circus dari Prancis Chabatz de’entrar pada 2013
silam. Ia juga sempat melakukan tour ke 8 kota di Indonesia, dan juga menyambangi Timor
Leste dan Vietnam.
Selain melakukan
kolaborasi dengan seniman mancanegara, Wanggi juga berkesempatan menampilkan karya seninya di
hadapan Mantan Ketua MPR RI Taufik Kiemas, Sudjiwo Tedjo,
dan “Lady Rocker Indonesia” Ayu Laksmi.
Wanggi memang
sangat kental dengan karakter idealismenya. Ia mempunyai sikap terhadap apa pun,
termasuk terhadap dirinya, dan keadaan sosial. Ia mulai khawatir dengan keadaan
masyarakat Indonesia yang semakin cenderung apatis, diam terhadap ketidakbiasaan
dalam masyarakat.
“Saya
khawatir dengan keadaan masyarakat yang apatis, yang diam terhadap pelanggaran
dalam masyarakat. Dengan pantomim, saya
berusaha bersuara, lewat gerak yang diberi makna, biar
masyarakat tau, dan tidak apatis lagi,”.ujar pria
berkumis ini.
Wanggi peduli
terhadap keadaan sosial. Ia selalu meriset berbagai hal pelanggaran sosial, dan
ia coba menyerap kegelisahan, ketakutan, ketidakberesan yang ada pada kasus
tersebut. Lalu, ia tafsirkan pada gerakan-gerakan tubuh,
sehingga muncullah gerakan pantomim yang selalu ia tampilkan
setiap Kamis. Acara ini
diberi nama “Kamisan”.
Tak
Akan Pernah Berhenti
Aksi Kamisan
itu merupakan aksi diam dengan berbagai tuntutan
penyelesaian terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia,
kasus Munir, wartawan Udin, Marsinah dan banyak lagi.
Kegiatan ini
dilakukan setiap Kamis di depan Gedung dinas Gubernur Jawa
Barat atau sering disebut Gedung Sate. “Saya tidak
akan pernah berhenti melakukan aksi hingga pengadilan HAM dibentuk. Saya
berharap pemerintahan baru merealisasikannya,” tandas
Wanggi.
Pemikiran Wanggi
terhadap seni dan isu sosial sangat kuat, tidak pernah ada batasan pada dirinya
untuk mengekspresikan energi positif terhadap kecintaannya itu. Walaupun teror
di mana-mana, ia merasa suara keadilan sosial
harus terus disuarakan. Keinginan sederhana inilah yang membuat
ia kuat dan terus berkarya. ***
[] Agvi Firdaus, Anthea Novita, Dea Andriyawan, Elma Salma Zakiah
| Prodi
Jurnalistik UIN BandungWebsite : http://bandungoke.com/view.php?id=20150103104616
Tidak ada komentar:
Posting Komentar