Dewasa ini, seni pantomime menjadi salah satu alternatif kesenian
yang diminati oleh para pemuda/i di Indonesia, terutama di kota-kota
besar. Buntung.co. melakukan wawancara dengan salah
satu seniman pantomime asal kota Bandung, Wanggi Hoed, yang terakhir
tampil di acara Mata Najwa, Metro TV. Wanggi Hoed memiliki gagasan
mengenai pantomime jalanan (street pantomime). Berikut kutipan wawancara lengkap Wanggi Hoed dengan Ikbal Maulana dari Buntung.co.
Buntung.co: Sejak kapan Wanggi Hoed berpikir melakukan pantomime di jalanan?
Wanggi Hoed (WH): Sudah sejak lama, ketika saya masih duduk di bangku SMP, SMA, kemudian dilanjutkan semasa kuliah di STSI Bandung sampai sekarang. Energi jalanan itu sangat kuat buat saya sendiri ketika terjun melakukan beberapa aksi-aksi kreatif tanpa kekerasan (pantomime), seiring jalan menjadi bentuk yang tidak disadari bahwa jalanan adalah sebuah tempat kejam sekaligus mengasyikan dan di sana terjadi berbagai interaksi. Melalui pantomime jalanan terjadi banyak pertemuan ide-ide.
Buntung.co: Mengapa harus memilih jalanan sebagai ruang kreatif Wanggi Hoed melakukan pantomime, apakah memang tidak ada orang yang ber-pantomime di jalan, ataukah ada alasan lain?
WH: Pada akhirnya itu adalah satu bentuk sikap saya. Di jalananlah saya menarik benang merah bahwa pantomime tidak harus merasa eksklusif. Selain itu, pantomime jalanan akan menjadi ciri khas tersendiri, yakni lebih dekat dengan masyarakat. Dan dijalanan, pantomime bisa memasuki ruang-ruang kebebasan. Saya ingin mengutip salah satu quote tokoh pantomime yakni Druliland yang eksis pada tahun 1921, ia berkata “pantomime memasuki ruang-ruang kebebasan dan di sana ia akan terus memerangi para pemimpin jaman”. Akhirnya, para seniman pantomime akan dipersilahkan memilih mau berkarya di ruang konvensional atau di jalanan? Apabila ia memilih jalanan maka akan selalu bergesekan dengan masyarakat, para penguasa jalanan, bahkan para aparat negara. Jadi, sejak dulu pantomime selalu melakukan kritik atas kebijakan-kebijakan penguasa yang menyimpang. Di Indonesia pun terjadi semacam penyimpangan tersebut. Seturut perkataan dia maka saya melakukan perang tanpa suara (baca: pantomime) di jalanan.
Buntung.co: Jadi di jalanan adalah akses yang paling memungkinkan untuk melakukan penyadaran pada masyarakat?
WH: Ya, akses yang paling memungkinkan untuk menyampaikan satu pesan, isu, dan menyadarkan masyarakat sekitar apa yang tengah terjadi di Negaranya sendiri. Jika pantomime dipentaskan di panggung konvensional maka akan terkesan eksklusif dan belum tentu isu atau pesan akan tersampaikan.
Buntung.co: Apa saja sih tema yang selalu diangkat oleh Wanggi Hoed ketika melakukan pantomime jalanan?
WH : Selama 7 tahun kebelakang, saya selalu mengangkat tema-tema sosial, kemanusiaan, lingkungan, sejarah dunia, dan fenomena urbanisasi. Saya merangkum isu-isu tersebut untuk dijadikan sebuah karya dan bekerjasama dengan NGO serta lembaga-lembaga independen yang fokus terhadap isu-isu tersebut. Tujuannya ialah mengingatkan sekaligus menyadarkan pemerintah dan masyarakat akan keadaan sosial kita, kemanusiaan kita, lingkungan kita yang semakin dirusak oleh proyek pembangunan, urbanisasi, penggusuran, dan warisan-warisan kebudayaan dunia yang sekarang sudah semakin ‘hilang’ oleh tindakan genosida kebudayaan (penghancuran situs kepurbakalaan). Dewasa ini, saya sedang masuk pada jalan kesemestaan untuk dijadikan sebuah isu.
Buntung.co: Apa itu isu kesemestaan?
WH: Isu ini masuk pada wilayah bentuk spiritual. Sebuah rangkuman perjalanan saya untuk mengingatkan kembali bahwa ketika ketidakadilan itu hadir kita akan selalu melawan dengan cara kita masing-masing. Akhirnya, bentuk pantomime jalanan saya mengambil bentuk-bentuk ritual. Suatu bentuk perlawanan tanpa kekerasan. Jadi ketika kita belum dilahirkan pun kita sudah melakukan perjuangan, bahkan orang tua kita sudah melakukan hal tersebut. Artinya, harus diteruskan perjuangan tersebut agar tidak sia-sia. Tentu saja, harus ada konsistensi.
Buntung.co: Apakah ada pengalaman lain yang mengarahkan Wanggi Hoed pada isu kesemestaan ini?
WH: Ya, dari pengalaman (orang tua dan kelahiran) itulah saya mencoba merawat ingatan ini sebagai bentuk sejarah yang tidak boleh putus. Selain itu, pengalaman saya melakukan pentas di panggung, jalanan, dan berbagai tempat, membuat diri saya merasakan sesuatu yang maha dahsyat. Pada waktu lalu, saya pun melakukan pantomime di puncak Gunung Semeru. Hal ini mengajarkan saya bahwa kenyataannya kita ini begitu kecil. Oleh karena itu, kita harus selalu mem-bumi agar dibaca oleh kawan-kawan yang melihat apa yang sedang kita lakukan.
Buntung.co: Artinya Wanggi Hoed mencoba mengangkat tema yang sangat universal?
WH: Ya, saya mencoba untuk tidak masuk pada ranah-ranah yang negatif. Saya terkadang tidak mau berkecimpung di ranah birokratis. Saya hanya ingin menyuarakan secara lantang dengan tubuh saya. Saya mencoba mengakar, mengukur, menakar situasi dengan melakukan observasi terhadap kondisi publik, lalu karya apa yang harus dibuat. Setelah itu, saya terjun ke ruang publik, karena di sana tantangan terbesarnya. Ini sangat sulit sebab persoalannya apakah publik menerima atau tidak? Apakah bentuk-bentuk semacam ini, katakanlah, saya memakai dupa yang mengarah pada ritus, publik akan menerima atau tidak? Karena sudut pandang mereka menilai pantomime itu hanyalah sebuah hiburan. Nah, saya mencoba menarik energi dari tokoh pantomime seperti Charlie Chaplin dan Marcel Marceau, karena mereka membuat satu bentuk tragik-komik (tragedi-komedi). Pada akhirnya orang tersadarkan oleh film-film bisu mereka, mungkin karena sejarah pantomime itu sendiri lahir dari pengalaman seorang manusia, bahkan karya Marcel Marceau tidak lepas dari biografi hidupnya, ketika Marcel Marceau yang saat itu berusia 5 tahun harus menyaksikan ayahnya meninggal dalam peristiwa holocaust. Di Indonesia pun, ada hal semacam itu, akhirnya saya pun menarik satu kesimpulan bahwa pantomime menggunakan tubuh sebagai medium bahasa, sebab bahasa tubuh adalah bahasa universal.
Buntung.co: Wanggi Hoed sendiri mendapat inspirasi dari mana, sehingga bisa menciptakan karya-karya pantomime jalanan?
WH: Tentu ada, saya mendapat pengaruh dari Charlie Chaplin, Marcel Marceau, Buster Keaton, Kazuo Ono, Vina Boost, dan beberapa seniman-seniman teater baik dalam maupun luar negeri. Tetapi, saya fokus di kedua tokoh yakni Charlie Chaplin dan Marcel Marceau, karena mereka berdua memiliki energi yang sama dengan saya untuk menyuarakan persoalan sosial dan kemanusiaan yang tengah terjadi dimana-mana. Saya mampu melakukan pantomime dalam keadaan sakit sekalipun, ini terbantu oleh energi, biografi, gagasan, dan perjuangan mereka.
Buntung.co: Adakah keinginan untuk sama seperti tokoh idola Wanggi Hoed, atau bahkan melampauinya?
WH: Saya tidak mungkin melampaui mereka, karena sejarah mereka sudah kuat. Tapi untuk membuat generasi seperti mereka itu sangatlah mungkin. Saya sendiri tidak mau disebut sebagai maestro. Tapi bagaimana caranya masyarakat dunia bisa melihat pantomime di Indonesia hadir beserta kearifan lokalnya dan mengangkat apa yang menjadi fenomena beserta perjalanan sejarahnya. Kenapa saya berbicara mengenai kearifan lokal, karena saya orang Indonesia bukan orang Eropa.
Buntung.co: Pada intinya saya tidak ingin menjadi Charlie Chaplin atau Marcel Marceau, tetapi ingin menjadi Wanggi Hoed saja, bukan begitu?
WH: Saya ingin menjadi seorang Wanggi Hoed yang bisa menikmati keindahan alam Indonesia, kebudayaannya, dan keberagaman suku di Indonesia. Hal itu yang ingin saya angkat ke permukaan. Di sanalah sumber energi budaya yang kita punya. Pada saat pantomime masuk pada bentuk kearifan lokal Indonesia, maka kita bisa menancapkan ciri khas kita bahwa pantomime Indonesia seperti ini, lho. Itulah suplemen yang bergizi buat saya dan teman-teman seperjuangan.
Buntung.co: Berarti tokoh idola yang Wanggi Hoed sebutkan hanya diambil energi beserta ide-idenya saja, sehingga tidak begitu penting bagi Wanggi Hoed untuk melampaui mereka?
WH: Saya ambil energi dan ide, tidak perlu melampaui mereka. Bahkan ingin menyamakan derajatnya pun tidak perlu. Jika baca sejarah mereka kita tahu hal itu tidak perlu. Saya tidak takut untuk ‘mati muda’, karena kematian niscaya terjadi, itu bentuk perjalanan yang mengantarkan kita ke suatu tempat.
Buntung.co: Dimana sih Wanggi Hoed biasa melakukan pantomime jalanan, trotoarkah, halaman rumahkah, pelataran parkirkah, atau?
WH: Hari ini tepat 1 dekade saya melakukan pantomime dan sudah merasakan beberapa ruang yang menurut masyarakat tidak masuk akal. Dari mulai jalanan, trotoar, sungai, jembatan, situs sejarah, makam-makam, sawah, hutan, terminal, stasiun, halte, danau, terakhir di puncak Gunung Semeru. Sebagai seniman pantomime kita harus menciptakan ruang. Ruang tercipta karena keberanian. Karena resiko di ruang publik sangatlah besar, terutama perizinan, jika harus ada semacam itu.
Buntung.co: Adakah tempat yang belum Wanggi Hoed singgahi dan mempunyai rencana pentas pantomime di sana?
WH: Tempat yang belum pernah saya singgahi adalah kedalaman laut. Ha ha ha. Saya kepingin pentas di sana. Ha ha ha.
Buntung.co: Kapan kira-kira rencana pentas di sana?
WH: Saya sedang menyusun agenda, apakah tahun ini atau tahun depan. Saya harus benar-benar melatih tubuh saya untuk masuk ke kedalaman laut.
Buntung.co: Bagaimana tanggapan publik melihat aksi kreatif Wanggi Hoed?
WH: Tanggapan publik bermacam-macam, ada yang ingin belajar, meminta tips pantomime, sampai yang mengolok-olok baik melempar es krim maupun meludah. Ya, saya menikmati saja tanggapan yang beragam ini. Walaupun, saya harus masuk pengadilan, mendekap di ruang tahanan, diinterogasi polisi, dan sebagainya, karena mereka tahu jika mereka sedang dikritik secara lembut oleh saya. Agar masyarakat tahu bahwa pantomime jalanan ini sisi komedinya minim.
Buntung.co: Apa sih terobosan Wanggi Hoed untuk memajukan pantomime jalanan?
WH: Saya ingat bahwa angin di atas lebih kencang, jadi apapun terobosan yang dilakukan oleh kawan-kawan seniman pantomime silahkan kembangkan sampai menjadi besar bahkan eksklusif. Saya tidak melarang. Tapi saya harus tetap bersama masyarakat, terutama di jalanan dan mengingatkan terus bahwa pantomime Indonesia berbeda dengan pantomime Prancis, Jerman, Inggris, dan Rusia.
Buntung.co: Wanggi Hoed sudah memiliki jam terbang yang banyak juga pernah berkolaborasi bersama seniman Prancis dengan mencipta karya Sirkus Kontemporer dan mementaskan di Vietnam, lalu beberapa kali pentas di luar kota, terakhir di Metro TV. Dari perjalanan yang panjang itu apa yang ingin Wanggi Hoed bagikan?
WH: Dalam perjalanan setiap manusia tentu memiliki tantangan, halangan, kebahagiaan, penyelasan, bahkan kesunyian. Di sini saya mencoba membagi pengalaman pantomime saya, bahwa bagaimana mendedikasikan hidup dalam satu tempat. Lalu, bagaimana berpikir untuk lingkungan, situasi sosial, dan Indonesia, dengan mental yang tidak imun kritik. Jika anti kritik silahkan mati saja.
Buntung.co: Selama ini Wanggi Hoed menggunakan pantomime sebagai medium perjuangan, adakah niat untuk beralih topik?
WH: Tidak ada! Tetap media perjuangan dan perlawanan. Karena dari situlah saya ingin merubah image tentang pantomime.
Buntung.co: Jika sebagian besar publik merespon positif pantomime jalanan Wanggi Hoed, adakah niat untuk membentuk kelas pantomime atau tempat belajar pantomime?
WH: Saya mencoba berdaya guna di masyarakat, jika ada rezeki lebih mungkin saya akan membuat ruang yang dapat menampung kawan-kawan untuk belajar pantomime jalanan, membuat lokakarya, bahkan bukan hanya itu saya akan menampung seni-seni lainnya. Saya kira itu yang dibutuhkan orang-orang dewasa ini, bukan lagi sekedar memberikan ceremony tetapi edukasi. Ini adalah bentuk dedikasi saya dan kawan-kawan Mixi Imajimime Indonesia kepada masyarakat. Kalau masyarakat sadar saya telah membuka kelas di jalanan, saya telah memberikan edukasi pada setiap nomor karya pantomime jalanan saya. Jadi kelas itu ada juga di jalanan. Selain itu, saya sendiri memberikan nuansa baru pada pantomime dengan ikat tradisional di kepala, itu khas saya. Orang banyak mengklaim tapi itulah kebiasaan masyarakat kita. Selanjutnya, harapan saya ialah minimal masyarakat sadar akan kehadiran pantomime jalanan, kenapa harus berada di ruang publik dan kenapa bentuk pantomime-nya seperti ini. Jangan banyak bicara, buatlah satu tindakan! Karena itulah yang akan menghidupkan kita.
Buntung.co: Sejak kapan Wanggi Hoed berpikir melakukan pantomime di jalanan?
Wanggi Hoed (WH): Sudah sejak lama, ketika saya masih duduk di bangku SMP, SMA, kemudian dilanjutkan semasa kuliah di STSI Bandung sampai sekarang. Energi jalanan itu sangat kuat buat saya sendiri ketika terjun melakukan beberapa aksi-aksi kreatif tanpa kekerasan (pantomime), seiring jalan menjadi bentuk yang tidak disadari bahwa jalanan adalah sebuah tempat kejam sekaligus mengasyikan dan di sana terjadi berbagai interaksi. Melalui pantomime jalanan terjadi banyak pertemuan ide-ide.
Buntung.co: Mengapa harus memilih jalanan sebagai ruang kreatif Wanggi Hoed melakukan pantomime, apakah memang tidak ada orang yang ber-pantomime di jalan, ataukah ada alasan lain?
WH: Pada akhirnya itu adalah satu bentuk sikap saya. Di jalananlah saya menarik benang merah bahwa pantomime tidak harus merasa eksklusif. Selain itu, pantomime jalanan akan menjadi ciri khas tersendiri, yakni lebih dekat dengan masyarakat. Dan dijalanan, pantomime bisa memasuki ruang-ruang kebebasan. Saya ingin mengutip salah satu quote tokoh pantomime yakni Druliland yang eksis pada tahun 1921, ia berkata “pantomime memasuki ruang-ruang kebebasan dan di sana ia akan terus memerangi para pemimpin jaman”. Akhirnya, para seniman pantomime akan dipersilahkan memilih mau berkarya di ruang konvensional atau di jalanan? Apabila ia memilih jalanan maka akan selalu bergesekan dengan masyarakat, para penguasa jalanan, bahkan para aparat negara. Jadi, sejak dulu pantomime selalu melakukan kritik atas kebijakan-kebijakan penguasa yang menyimpang. Di Indonesia pun terjadi semacam penyimpangan tersebut. Seturut perkataan dia maka saya melakukan perang tanpa suara (baca: pantomime) di jalanan.
Buntung.co: Jadi di jalanan adalah akses yang paling memungkinkan untuk melakukan penyadaran pada masyarakat?
WH: Ya, akses yang paling memungkinkan untuk menyampaikan satu pesan, isu, dan menyadarkan masyarakat sekitar apa yang tengah terjadi di Negaranya sendiri. Jika pantomime dipentaskan di panggung konvensional maka akan terkesan eksklusif dan belum tentu isu atau pesan akan tersampaikan.
Buntung.co: Apa saja sih tema yang selalu diangkat oleh Wanggi Hoed ketika melakukan pantomime jalanan?
WH : Selama 7 tahun kebelakang, saya selalu mengangkat tema-tema sosial, kemanusiaan, lingkungan, sejarah dunia, dan fenomena urbanisasi. Saya merangkum isu-isu tersebut untuk dijadikan sebuah karya dan bekerjasama dengan NGO serta lembaga-lembaga independen yang fokus terhadap isu-isu tersebut. Tujuannya ialah mengingatkan sekaligus menyadarkan pemerintah dan masyarakat akan keadaan sosial kita, kemanusiaan kita, lingkungan kita yang semakin dirusak oleh proyek pembangunan, urbanisasi, penggusuran, dan warisan-warisan kebudayaan dunia yang sekarang sudah semakin ‘hilang’ oleh tindakan genosida kebudayaan (penghancuran situs kepurbakalaan). Dewasa ini, saya sedang masuk pada jalan kesemestaan untuk dijadikan sebuah isu.
Buntung.co: Apa itu isu kesemestaan?
WH: Isu ini masuk pada wilayah bentuk spiritual. Sebuah rangkuman perjalanan saya untuk mengingatkan kembali bahwa ketika ketidakadilan itu hadir kita akan selalu melawan dengan cara kita masing-masing. Akhirnya, bentuk pantomime jalanan saya mengambil bentuk-bentuk ritual. Suatu bentuk perlawanan tanpa kekerasan. Jadi ketika kita belum dilahirkan pun kita sudah melakukan perjuangan, bahkan orang tua kita sudah melakukan hal tersebut. Artinya, harus diteruskan perjuangan tersebut agar tidak sia-sia. Tentu saja, harus ada konsistensi.
Buntung.co: Apakah ada pengalaman lain yang mengarahkan Wanggi Hoed pada isu kesemestaan ini?
WH: Ya, dari pengalaman (orang tua dan kelahiran) itulah saya mencoba merawat ingatan ini sebagai bentuk sejarah yang tidak boleh putus. Selain itu, pengalaman saya melakukan pentas di panggung, jalanan, dan berbagai tempat, membuat diri saya merasakan sesuatu yang maha dahsyat. Pada waktu lalu, saya pun melakukan pantomime di puncak Gunung Semeru. Hal ini mengajarkan saya bahwa kenyataannya kita ini begitu kecil. Oleh karena itu, kita harus selalu mem-bumi agar dibaca oleh kawan-kawan yang melihat apa yang sedang kita lakukan.
Buntung.co: Artinya Wanggi Hoed mencoba mengangkat tema yang sangat universal?
WH: Ya, saya mencoba untuk tidak masuk pada ranah-ranah yang negatif. Saya terkadang tidak mau berkecimpung di ranah birokratis. Saya hanya ingin menyuarakan secara lantang dengan tubuh saya. Saya mencoba mengakar, mengukur, menakar situasi dengan melakukan observasi terhadap kondisi publik, lalu karya apa yang harus dibuat. Setelah itu, saya terjun ke ruang publik, karena di sana tantangan terbesarnya. Ini sangat sulit sebab persoalannya apakah publik menerima atau tidak? Apakah bentuk-bentuk semacam ini, katakanlah, saya memakai dupa yang mengarah pada ritus, publik akan menerima atau tidak? Karena sudut pandang mereka menilai pantomime itu hanyalah sebuah hiburan. Nah, saya mencoba menarik energi dari tokoh pantomime seperti Charlie Chaplin dan Marcel Marceau, karena mereka membuat satu bentuk tragik-komik (tragedi-komedi). Pada akhirnya orang tersadarkan oleh film-film bisu mereka, mungkin karena sejarah pantomime itu sendiri lahir dari pengalaman seorang manusia, bahkan karya Marcel Marceau tidak lepas dari biografi hidupnya, ketika Marcel Marceau yang saat itu berusia 5 tahun harus menyaksikan ayahnya meninggal dalam peristiwa holocaust. Di Indonesia pun, ada hal semacam itu, akhirnya saya pun menarik satu kesimpulan bahwa pantomime menggunakan tubuh sebagai medium bahasa, sebab bahasa tubuh adalah bahasa universal.
Buntung.co: Wanggi Hoed sendiri mendapat inspirasi dari mana, sehingga bisa menciptakan karya-karya pantomime jalanan?
WH: Tentu ada, saya mendapat pengaruh dari Charlie Chaplin, Marcel Marceau, Buster Keaton, Kazuo Ono, Vina Boost, dan beberapa seniman-seniman teater baik dalam maupun luar negeri. Tetapi, saya fokus di kedua tokoh yakni Charlie Chaplin dan Marcel Marceau, karena mereka berdua memiliki energi yang sama dengan saya untuk menyuarakan persoalan sosial dan kemanusiaan yang tengah terjadi dimana-mana. Saya mampu melakukan pantomime dalam keadaan sakit sekalipun, ini terbantu oleh energi, biografi, gagasan, dan perjuangan mereka.
Buntung.co: Adakah keinginan untuk sama seperti tokoh idola Wanggi Hoed, atau bahkan melampauinya?
WH: Saya tidak mungkin melampaui mereka, karena sejarah mereka sudah kuat. Tapi untuk membuat generasi seperti mereka itu sangatlah mungkin. Saya sendiri tidak mau disebut sebagai maestro. Tapi bagaimana caranya masyarakat dunia bisa melihat pantomime di Indonesia hadir beserta kearifan lokalnya dan mengangkat apa yang menjadi fenomena beserta perjalanan sejarahnya. Kenapa saya berbicara mengenai kearifan lokal, karena saya orang Indonesia bukan orang Eropa.
Buntung.co: Pada intinya saya tidak ingin menjadi Charlie Chaplin atau Marcel Marceau, tetapi ingin menjadi Wanggi Hoed saja, bukan begitu?
WH: Saya ingin menjadi seorang Wanggi Hoed yang bisa menikmati keindahan alam Indonesia, kebudayaannya, dan keberagaman suku di Indonesia. Hal itu yang ingin saya angkat ke permukaan. Di sanalah sumber energi budaya yang kita punya. Pada saat pantomime masuk pada bentuk kearifan lokal Indonesia, maka kita bisa menancapkan ciri khas kita bahwa pantomime Indonesia seperti ini, lho. Itulah suplemen yang bergizi buat saya dan teman-teman seperjuangan.
Buntung.co: Berarti tokoh idola yang Wanggi Hoed sebutkan hanya diambil energi beserta ide-idenya saja, sehingga tidak begitu penting bagi Wanggi Hoed untuk melampaui mereka?
WH: Saya ambil energi dan ide, tidak perlu melampaui mereka. Bahkan ingin menyamakan derajatnya pun tidak perlu. Jika baca sejarah mereka kita tahu hal itu tidak perlu. Saya tidak takut untuk ‘mati muda’, karena kematian niscaya terjadi, itu bentuk perjalanan yang mengantarkan kita ke suatu tempat.
Buntung.co: Dimana sih Wanggi Hoed biasa melakukan pantomime jalanan, trotoarkah, halaman rumahkah, pelataran parkirkah, atau?
WH: Hari ini tepat 1 dekade saya melakukan pantomime dan sudah merasakan beberapa ruang yang menurut masyarakat tidak masuk akal. Dari mulai jalanan, trotoar, sungai, jembatan, situs sejarah, makam-makam, sawah, hutan, terminal, stasiun, halte, danau, terakhir di puncak Gunung Semeru. Sebagai seniman pantomime kita harus menciptakan ruang. Ruang tercipta karena keberanian. Karena resiko di ruang publik sangatlah besar, terutama perizinan, jika harus ada semacam itu.
Buntung.co: Adakah tempat yang belum Wanggi Hoed singgahi dan mempunyai rencana pentas pantomime di sana?
WH: Tempat yang belum pernah saya singgahi adalah kedalaman laut. Ha ha ha. Saya kepingin pentas di sana. Ha ha ha.
Buntung.co: Kapan kira-kira rencana pentas di sana?
WH: Saya sedang menyusun agenda, apakah tahun ini atau tahun depan. Saya harus benar-benar melatih tubuh saya untuk masuk ke kedalaman laut.
Buntung.co: Bagaimana tanggapan publik melihat aksi kreatif Wanggi Hoed?
WH: Tanggapan publik bermacam-macam, ada yang ingin belajar, meminta tips pantomime, sampai yang mengolok-olok baik melempar es krim maupun meludah. Ya, saya menikmati saja tanggapan yang beragam ini. Walaupun, saya harus masuk pengadilan, mendekap di ruang tahanan, diinterogasi polisi, dan sebagainya, karena mereka tahu jika mereka sedang dikritik secara lembut oleh saya. Agar masyarakat tahu bahwa pantomime jalanan ini sisi komedinya minim.
Buntung.co: Apa sih terobosan Wanggi Hoed untuk memajukan pantomime jalanan?
WH: Saya ingat bahwa angin di atas lebih kencang, jadi apapun terobosan yang dilakukan oleh kawan-kawan seniman pantomime silahkan kembangkan sampai menjadi besar bahkan eksklusif. Saya tidak melarang. Tapi saya harus tetap bersama masyarakat, terutama di jalanan dan mengingatkan terus bahwa pantomime Indonesia berbeda dengan pantomime Prancis, Jerman, Inggris, dan Rusia.
Buntung.co: Wanggi Hoed sudah memiliki jam terbang yang banyak juga pernah berkolaborasi bersama seniman Prancis dengan mencipta karya Sirkus Kontemporer dan mementaskan di Vietnam, lalu beberapa kali pentas di luar kota, terakhir di Metro TV. Dari perjalanan yang panjang itu apa yang ingin Wanggi Hoed bagikan?
WH: Dalam perjalanan setiap manusia tentu memiliki tantangan, halangan, kebahagiaan, penyelasan, bahkan kesunyian. Di sini saya mencoba membagi pengalaman pantomime saya, bahwa bagaimana mendedikasikan hidup dalam satu tempat. Lalu, bagaimana berpikir untuk lingkungan, situasi sosial, dan Indonesia, dengan mental yang tidak imun kritik. Jika anti kritik silahkan mati saja.
Buntung.co: Selama ini Wanggi Hoed menggunakan pantomime sebagai medium perjuangan, adakah niat untuk beralih topik?
WH: Tidak ada! Tetap media perjuangan dan perlawanan. Karena dari situlah saya ingin merubah image tentang pantomime.
Buntung.co: Jika sebagian besar publik merespon positif pantomime jalanan Wanggi Hoed, adakah niat untuk membentuk kelas pantomime atau tempat belajar pantomime?
WH: Saya mencoba berdaya guna di masyarakat, jika ada rezeki lebih mungkin saya akan membuat ruang yang dapat menampung kawan-kawan untuk belajar pantomime jalanan, membuat lokakarya, bahkan bukan hanya itu saya akan menampung seni-seni lainnya. Saya kira itu yang dibutuhkan orang-orang dewasa ini, bukan lagi sekedar memberikan ceremony tetapi edukasi. Ini adalah bentuk dedikasi saya dan kawan-kawan Mixi Imajimime Indonesia kepada masyarakat. Kalau masyarakat sadar saya telah membuka kelas di jalanan, saya telah memberikan edukasi pada setiap nomor karya pantomime jalanan saya. Jadi kelas itu ada juga di jalanan. Selain itu, saya sendiri memberikan nuansa baru pada pantomime dengan ikat tradisional di kepala, itu khas saya. Orang banyak mengklaim tapi itulah kebiasaan masyarakat kita. Selanjutnya, harapan saya ialah minimal masyarakat sadar akan kehadiran pantomime jalanan, kenapa harus berada di ruang publik dan kenapa bentuk pantomime-nya seperti ini. Jangan banyak bicara, buatlah satu tindakan! Karena itulah yang akan menghidupkan kita.
Website : http://www.buntung.co/index.php/2015/09/23/wanggi-hoed-pantomime-jalanan-adalah-sikap-saya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar