Jumat, 04 Juli 2014

Wanggi Hoed, Bersuara dalam Diam - Indonesia Kreatif




Seni Pertunjukan Bandung , 01 Jul 2014
Wanggi Hoed, Bersuara dalam Diam
 

Siapa yang sangka, anak sang maestro pantomim Indonesia Seno A. Utoyo yang bernama Gendis A. Utoyo, mengirimi Wanggi pesan melalui Facebook. Pada pesan itu, Gendis mengutarakan kerinduannya pada ayahnya setelah melihat foto-foto penampilan pantomim Wanggi. Tampaknya Wanggi tidak hanya membakar semangat keadilan sosial sekaligus spirit kesenian pada banyak orang, tapi ia juga memantik kerinduan seorang anak pada Ayahnya. Barangkali kerinduan itu adalah kerinduan banyak orang pada pertunjukan-pertunjukan yang jujur.
Wanggi Hoediyatno adalah seorang seniman pantomim muda kelahiran Palimanan, Cirebon, 24 Mei 1988. Ia mulai menyenangi seni olah tubuh tersebut sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, hingga ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Pertunjukan-pertunjukan pantomim telah ia gelar di dalam maupun luar negeri, dari pinggir jalan hingga gedung-gedung pertunjukan.

Tahun 2007 saat masih berkuliah, Wanggi bersama empat rekannya membuat suatu perkumpulan pantomim yang bernama Mixi Imajimime Theater. Saat itulah kepiawaian Wanggi sebagai seniman pantomim muncul dan berkembang, meskipun tak semulus yang orang bayangkan. Ia mengakui bahwa banyak kalangan yang belum menerima pantomim sebagai seni yang patut diapresiasi. “Awal-awal kami melakukan pertunjukan, baru segilintir orang yang mampu menerima pertunjukan kami, seperti komunitas-komunitas teater dan sastra. Orang-orang di luar itu kebanyakan masih kebingungan dan sebagian bahkan pernah meremehkan,” tutur Wanggi kepada Indonesia Kreatif di basecamp Mixi Imajimime Theater.
Isu-isu sosial dan kemanusiaan menjadi fokus utama Wanggi dalam banyak pertunjukannya. Pada Maret 2013, Wanggi dan beberapa komunitas mahasiswa dan pelajar menggelar kegiatan kemanusiaan yang bertajuk “1000 Biskuit dan Susu untuk Gizi di Indonesia”. Dalam rangkaian kegiatan itu, Wanggi beraksi dengan seni pantomim untuk menyuarakan Hari Gizi Nasional yang jatuh setiap tanggal 28 Februari. Selain itu, Wanggi juga aktif pada penegakan keadilan terhadap beberapa kasus penculikan di era Orde Baru. Ia bersama teman-temannya menggelar aksi Kamisan di depan Gedung Sate Bandung.


Di dalam proses kreatifnya, Wanggi mengakui bahwa tidak ada hal-hal yang sebenarnya cukup serius dalam bermain pantomim. “Kita hanya perlu meriset ke lapangan, melihat gerakan-gerakan kaum marjinal atau orang elit. Setelah melihat bagaimana cara mereka berjalan, cara mereka memandang terhadap sekitar, kita simpan baik-baik imaji tersebut di dalam memori dan kita praktikkan secara terus-menerus agar dapat menguasainya,” jelas Wanggi.
Pada kegiatan Bandung International Film Festival, Wanggi menampilkan pertunjukan pantomim Mime-Meditation. Ia mengeksplor pertunjukannya menjadi sebuah meditasi bagi dirinya yang menjadi tontonan menarik bagi pengunjung karena meditasi dilakukan dalam pertunjukan pantomim selama dua belas jam tanpa istirahat. Menurutnya, meditasi menjadi hal yang penting untuk semua orang. “Meditasi adalah sarana untuk mencari identitas diri,” kata pria yang memiliki kumis tebal dan lentik itu. Selain itu Wanggi pun pernah menampilkan pertunjukan selama enam jam tanpa henti.
Berkembang dan berproses dari pertunjukan panggung ke panggung dan street art, membuat Wanggi akhirnya ditawari untuk melakoni pertunjukan Sirkus Kontemporer di tahun 2013 bersama dengan Chabatz D’Entrar, klub sirkus asal Perancis. Tak tanggung-tanggung, melalui acara tersebut Wanggi melanglang buana ke sepuluh kota berbeda di Indonesia serta melakukan tur ke Timor Leste dan dua kota di Vietnam. Dalam pertunjukan itu, Wanggi memperlihatkan ciri khas Chabatz d’Entrar–yang getol menggunakan barang-barang sehari-hari seperti untuk properti sirkusnya.


Selain berpantomim, kegiatan rutin Wanggi adalah aktif di Teater Cassanova. Bahkan ia juga pernah menyutradarai sebuah pertunjukan Teater Cassanova yang berjudul “Teater Rambut Palsu” pada 23 Oktober 2012. Melakukan Yoga menjadi salah satu bagian penting bagi seorang Wanggi. Rutinitas Yoga yang telah ia tekuni sejak lama, menurutnya, memberikan suatu energi bagi penampilan pantomimnya.
Perjalanan Wanggi di dunia seni pantomim tampak menjadi serius bagi dirinya dan banyak kalangan. Beberapa tahun terakhir wajah putihnya itu sering muncul di beberapa TV swasta nasional, koran dan majalah, bahkan salah satu pertunjukannya pernah ditayangkan di TV kabel Belgia.
Menurut Wanggi, bahasa tubuh adalah bahasa yang universal. Semua manusia akan memahami tanda-tanda gerak tubuh yang sifatnya konvensional. Ia mengakui akan terus bersuara dalam diam, bergerak menyampaikan isu-isu sosial kemanusiaan dari gedung pertunjukan hingga jalanan. “Saya menghidupkan pantomim sehingga pantomim pula yang menghidupkan saya. Saya akan terus berpantomim bila benar-benar tak sanggup lagi untuk bergerak dan bila imajinasi saya sudah pupus,” tutup Wanggi.
Foto: Dok. Wanggi Hoed


Tautan Luar:
Article Tags: Pantomim, Wanggi Hoed

 









Hobi menulis, membaca, bermain gitar, dan bernyanyi. Sedang menempuh studi Sastra Inggris S1 di Universitas Pasundan Bandung. Tuhan bersama orang-orang kreatif. - @ferriahrial
Copyright © 2010-2014 Indonesia Kreatif