Sabtu, 27 November 2021

sOWAra (Kampanye untuk Owa) melalui Seni


In Indonesia, there are 7 out of 20 ape species on the brink of extinction nowadays.

- Gibbonesia.com

Owa or gibbon hang on a tree branch, and they all shout out for their right with the same aspiration... OWA!

Despite their being protected by our country, gibbon still faces the menace of trade, hunting, and being kept as a pet until today.

The struggle of conservation to protect gibbon and other wildlife are still fraught with challenges and limitations. Considering the conservation endeavor and other things are still not enough, therefore let's all unite to voice the rights of Gibbons, hence they can live peacefully and sustainably in their habitat.

Let's echo Gibbon's voice to the whole world.


TERJEMAHAN

Di Indonesia, ada 7 dari 20 spesies kera yang saat ini berada di ambang kepunahan.

- Gibbonesia.com

Owa atau siamang menggantung di dahan, dan mereka semua berteriak untuk hak mereka dengan harapan yang sama... OWA!

Meskipun dilindungi oleh negara kita, owa masih menghadapi ancaman perdagangan, perburuan, dan dipelihara sebagai hewan peliharaan hingga saat ini.

Perjuangan konservasi untuk melindungi owa dan satwa liar lainnya masih penuh dengan tantangan dan keterbatasan. Mengingat upaya konservasi dan lain-lain masih belum cukup, oleh karena itu marilah kita semua bersatu padu menyuarakan hak-hak Owa agar dapat hidup damai dan lestari di habitatnya.

Mari kita gaungkan suara Gibbon ke seluruh dunia.

“Waktu hampir habis untuk melestarikan owa dan habitatnya. Kita perlu bertindak sekarang dan memastikan bahwa manusia dan siamang dapat hidup dalam harmoni,” - Alexander McWilliam • IUCN Asia (International Union for Conservation of Nature's) -

“Time is running out to conserve gibbons and their habitats. We need to act now and ensure that people and gibbons can live in harmony,” - Alexander McWilliam • IUCN Asia. 


TIM PRODUKSI ; SOWARA

Direct Of Photography & Editor : Faisal F Rahmani. 

Assistant Camere : Naufal Ismail. 

Drone : Ricky Adlin. 

Assistant Drone : Syaiful Imam. 

English Subtitle : Fiolita Berandhini. 

Music Composer : Dedy Kahanuang. 

Actor Mime : Wanggi Hoed.


sOWAra (harus terus bersuara di habitatnya) merupakan karya video kampanye suara solidaritas dalam rangkaian hari owa sedunia 2021. sOWAra diambil dari suara OWA menjadi sOWAra atau gesturisasi suara aktivitas hidup OWA (siamang/Gibbon), yang kini dalam status terancam punah / endangered species. 

Video ini dibuat untuk menajamkan kampanye yang selama ini teman-teman aktivis satwa suarakan guna perlindungan dan penyelamatan satwa liar termasuk OWA. Bersama lintas disiplin lainnya (pantomim, musik, video, aktivis satwa) kami memproduksi karya sOWAra dikondisi saat ini adalah sebagai jembatan suara dan kondisi OWA dan satwa liar yang kemungkinan masyarakat diluar aktivitas persatwaan tidak mengetahui, maka dari itu karya video sOWAra ini disebarluaskan melalui tayangan perdana melalui kanal YouTube pada tanggal 13 November 2021.

 Kita sadar bahwa upaya ini bukan sekedar kampanye melainkan belajar mengedukasi diri bersama terkait pelestarian dan kesadaran akan satwa liar dan habitatnya yang semakin terancam hingga kini, dan suara ini harus terus menggaung hingga masyarakat dapat bertindak sesuatu bila mereka menemukan atau mengetahui keberadaan satwa liar atau OWA dalam hal ini saat mereka mengalami intervensi dan kekerasan juga perdagangan dan perburuan serta dijadikan peliharaan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab atas spesies /satwa liar bumi ini.

Bandung, 10 November 2021

Wanggi Hoed dan Team Produksi sOWAra. 



Tonton melalui YouTube

Wacth link YouTube : https://youtu.be/hu2W1NqWvWc

Minggu, 14 November 2021

Kemenangan Bersama dalam Teman Baik Award 2021'

 


Bandung - Perayaan bisa dilakukan untuk memperingati berbagai momentum penting. Akan tetapi, kebaikan juga bisa dirayakan. Hal ini dilakukan Beritabaik.id yang merayakan kebaikan melalui 'Teman Baik Award 2021'.

Digelar di de Braga by Artotel, Kota Bandung, Rabu (10/11/2021), acara ini menampilkan keseruan dan suasana hangat. Keakraban pun terjalin di antara sesama tamu undangan meski menerapkan protokol kesehatan.

'Teman Baik Award 2021' sendiri merupakan ajang apresiasi bagi orang-orang yang melakukan beragam aksi baik dengan cara masing-masing. Kegiatan ini juga jadi ajang silaturahmi sekaligus merayakan kebaikan agar terus hadir dalam setiap langkah.

Kegiatan ini juga diharapkan dapat menularkan virus kebaikan pada orang banyak. Sehingga, bakal semakin banyak orang terpacu melakukan hal baik. Bukan untuk mengejar penghargaan, melainkan agar lebih bermanfaat bagi sesama hingga lingkungan.

Para Pemenang
Sesuai judul acara, kegiatan ini menghadirkan penghargaan bagi lima orang untuk kategori berbeda. Siapa saja mereka?

Kelima kategori itu adalah Lingkungan Hidup, Seni Budaya, Aksi Baik, Pahlawan Pandemi, dan Parabaik. Setiap kategori berisi lima nomine. Untuk penilaian, yang terlibat adalah dari internal Beritabaik.id dan juri tamu, masing-masing Heru Hikayat, Fei Febri, dan Guntur Afandi. Dalam acara ini juga hadir guru dari SLBN Cicendo Witri Erdiawati yang menjadi juru bahasa isyarat saat pembacaan nomine.

Pemenang masing-masing kategori adalah Ratnauli Gultom (Lingkungan Hidup), Seni Budaya (Wanggi Hoed), Aksi Baik (Tubagus Zainal Arifin), Solidaritas Sosial Bandung (Pahlawan Pandemi), dan Yuni Widiawati (Parabaik).

Sejatinya, di luar nama-nama di atas, semua nomine adalah pemenang. Mereka semua sudah berbuat baik dan menebar manfaat. Sehingga, 'Teman Baik Award 2021' adalah kemenangan bersama dan ajang merayakan kebaikan.

Kegiatan ini juga terselenggara berkat dukungan PT Migas Hulu Jabar, JNE, bank bjb, Botanina, dan Odaru.



Suasana Hangat
Dalam kegiatan ini, para tamu undangan tampak berbaur satu sama lain. Ada yang berbincang, saling bertukar nomor telepon, hingga saling memuji dan apresiasi.

Saat sesi pengumuman pemenang, beberapa wajah nomine terlihat tegang. Ada juga yang terlihat santai dan biasa saja. Saat pemenang diumumkan, tepuk tangan meriah terdengar untuk mengiringi langkah menuju panggung.

Setiap pemenang diberi kesempatan berbicara. Tak ada kesan besar kepala. Sebaliknya, para pemenang merasa ini adalah kemenangan bersama. Semangat dan ajakan terus menebar kebaikan pun disampaikan para nomine.

Usai sesi penghargaan, para tamu undangan dipersilakan menikmati hiburan dan makanan di lokasi. Mereka dihibur penampilan Rayhadi dan Proyeksantai serta Madame dan Toean.

Kegiatan ini juga sempat diselipkan perayaan sederhana ulang tahun ke-4 Beritabaik.id berupa pemotongan tumpeng. Pada usia keempat, Beritabaik.id berharap bisa terus tumbuh dan menebar semangat positif. Sesuai slogannya, di Beritabaik.id #SelaluAdaBeritaBaik.


Sumber Berita : https://beritabaik.id/read?editorialSlug=indonesia-baik&slug=1636611099449-kemenangan-bersama-dalam-teman-baik-award-2021




Senin, 17 Mei 2021

Kutipan Wanggi Hoed


 Sebuah kutipan Wanggi Hoed tentang seni pantomim. (Ilustrasi oleh Komuji Indonesia)


"Kalau kita bisa mendengar kesunyian dalam diri, kita bisa mengenal siapa diri kita. Bahwa keheningan adalah kekuatannya."

Wanggi Hoed - SenimanPantomim Indonesia

Senin, 22 Maret 2021

Bandung, Indonesia World Mime Day 2021

 


MEDIA RILIS

10 TAHUN HARI PANTOMIM SEDUNIA

BANDUNG, INDONESIA WORLD MIME DAY 2021

SENIN, 22 MARET 2021. PUKUL : 19.30 WIB S/D SELESAI

POST ISOLATION- BREATH OF FREEDOM

DISIARKAN LANGSUNG MELALUI YOUTUBE : TIGANOLSATU STUDIO


Memperingati World Mime Day (Hari Pantomime Sedunia) adalah gerakan inisiatif di seluruh dunia dari World Mime Organisation untuk merayakan seni Mime dan komunikasi non-verbal pada tanggal 22 Maret yang juga merupakan Hari kelahiran seniman legendaris dan Maestro Mime dari Perancis ialah Marcel Marceau (22 Maret 1923). Kegiatan ini telah dirayakan sejak tahun 2011 diberbagai tempat di tiap negara di seluruh dunia dengan cara masing-masing para seniman, pecinta dan apresiator seni pertunjukan pantomim.

10 tahun Hari Pantomim Sedunia di Bandung, Indonesia telah digelar sejak tahun 2011, atas inisiatif seniman pantomim Indonesia Wanggi Hoed bersama Mixi Imajimimetheatre Indonesia. Berbagai ruang telah menjadi rekam jejak ingatan tersendiri bagi apresiator dan masyarakat seni pertunjukan yang menyaksikan peristiwa kebudayaan para seniman mime, dengan tema yang berbeda-beda di setiap tahunnya. Tahun 2021 ini dengan pertunjukan Pantomim yang terinspirasi dari pepatah : NATAS, NITIS, NETES (dari Tuhan Manusia Ada, bersama Tuhan Manusia Hidup, dan bersatu dengan Tuhan Manusia akan Kembali), karya ini merupakan ruang bercerita melalui bahasa seni untuk kita mengingat kembali posisi kita sebagai manusia yang berasal dari Sang Pencipta. Kondisi pandemi ini menjadi ruang berbagi karya serta energi kita bersama untuk peka juga sadar dan terus bergerak dengan situasi juga kondisi sebelum bahkan sesudah (post-isolation) bahwa kita ada, hidup serta kelak akan kembali pada Sang Pencipta, maka salahsatunya merawat nilai-nilai yang seharusnya kita jalani dalam kehidupan ini; baik kebebasan bernafas, daya kreativitas serta daya hidup agar semua makhluk bahagia dan damai juga dapat mengekspresikan hidupnya.

Diselenggarakannya perayaan serentak ini diberbagai titik tiap negara di dunia, merupakan pesan dari seni sunyi, bahwa seni pantomim merupakan seni pertunjukan dunia serta dapat menjadi pengerak keberlanjutan pemikiran serta jembatan ingatan untuk memanusikan manusia melalui bahasa tubuh dan pernyataan imajinasinya dalam kehidupan.

Perayaan World Mime Day/Hari Pantomime Dunia tahun ini di Indonesia akan berpusat di Bandung, bertempat di Gedung Perpustakaan Ajip Rosidi. Akan ada beberapa kegiatan seperti; Pertunjukan Pantomime oleh Wanggi Hoed, Acapella: Mirna Nurmala, Tari; Emmy, Dongeng oleh Ratimayya, Video Testimoni Warga dan seniman pantomim dari partisipan World Mime Day di tempat lainnya. World Mime Day 2021 kali ini berbeda, selain memperingati 10 tahun World Mime Day di Indonesia, juga akan disiarkan langsung melalui kanal Youtube.





Pantomim Untuk Semua, 

Pantomim Bahasa Perdamaian, 

Panjang Umur Pantomim Indonesia!


Salam Imajinasi - Wanggi Hoed, Seniman Pantomim Indonesia

Seni Melawan Dalam Sunyi

Melalui beragam media, Wanggi terus mengenalkan pantomim sebagai seni yang bukan sekadar tontonan.

 04 Maret 2021 , 05:29



Wanggi Hoediyatno, Seniman Pantomime Indonesia. Sumberfoto: Ist/dok

JAKARTA – Dengan badan menggigil, Wanggi Hoediyanto menghaturkan izin kepada Sang Pencipta melalui ritual Tubuh Sembah Semesta. Dalam khidmat, dia memohon doa restu untuk melakukan pertunjukan pantomim di Puncak Mahameru.

Ya, Puncak Mahameru. Aneh, bukan? Mendengar seni pantomim saja sudah asing, apalagi mengetahuinya ditampilkan di atas gunung dengan suhu tidak lebih dari 10 derajat celcius. Kalau bukan orang ‘gila’, siapa yang mau melakukan hal itu?

Jawabannya, ya, Wanggi Hoed. Pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 32 tahun lalu itu menggelar pentas di ketinggian 3.676 mdpl bertajuk Nyasar Nyusur Pantomim Gunung pada 26 Juli 2015 silam. Alih-alih menyerah karena hawa yang sangat menggigit, Wanggi justru merasa mendapat asupan energi dahsyat dari Gunung Semeru. Semakin kencang angin berhembus, kian khusyuk tubuhnya berbicara.

Wanggi meliuk ke sana-sini. Setiap gerakannya membawa makna. Satu kali, tubuh dan wajahnya mengisyaratkan ajakan untuk menjaga bumi dan semesta raya, sama seperti melindungi diri sendiri.

Kawah Jonggring Saloko turut menghembuskan abu vulkanik saat Wanggi beraksi. Seolah ikut menari melalui letupan-letupan abu. Meski berisiko, Wanggi tak berhenti, meliuk dalam sunyi. Tak ada suara lain keculai deru angin dan derap langkahnya. Mulut terkunci, raut mukanya datar di balik riasan putih. Ia tampil sederhana, berbusana merah dipadu celana cokelat.

Pemandangan tersebut membuat puluhan pasang mata pendaki terkesima. Sebuah pengalaman yang bisa jadi tak bisa dijumpai kedua kali. Pasalnya, pertunjukan pantomim di atas puncak gunung yang dilakukan Wanggi adalah yang pertama di dunia. Sebuah catatan sejarah yang akan terus dikenang dalam dunia kesenian di Indonesia.

Tertarik Sejak Kecil
Jauh sebelum hari itu, Wanggi adalah anak-anak biasa yang gemar menonton acara pantomim di Televisi Republik Indonesia pertengahan 1990-an. Dia gemar meniru gerak-gerik si seniman penampil.

Seiring waktu, ketertarikannya makin besar. Namun Wanggi kecewa saat TVRI meniadakan program tersebut di tahun 1994.

Rasa keingintahuan Wanggi lantas dilampiaskan dengan membaca buku-buku tentang pantomim. Dia mulai bergerilya, mengorek seluk-beluk jenis kesenian itu.

Sejumlah nama seniman menginspirasi jalan kesenian Wanggi. Antara lain, maestro tari topeng bernama Mimi Rasinah asal Cirebon. Wanggi kagum dengan Mimi yang terus berkreasi meski sepuh dengan kondisi kesehatan menurun. Wanggi ingin menyerap semangat itu.

"Ternyata orang-orang dahulu itu bertahan, merawat kesenian dan juga tubuhnya," cerita Wanggi kepada Validnews, Senin awal Maret lalu.

Beranjak remaja, kesukaan Wanggi Hoed terhadap seni pantomim tidak memudar. Sejak berusia 16 tahun, dia mulai berani tampil. Lalu ia melanjutkan studi di Jurusan Teater STSI Bandung pada tahun 2006. Di sinilah pijakan awal karya Wanggi hadir di ruang publik.

Menangkap ketertarikan Wanggi, sejumlah senior pun meminjamkan buku tentang pantomim. Satu di antaranya buku tentang sejarah pantomim dunia. Tapi sayang, Wanggi mengalami kesulitan mengerti isi buku karena dicetak dalam Bahasa Inggris.

Tak habis akal, wanggi pun mencari teman yang bisa berbahasa Inggris untuk membantu mengartikan. Jika tidak ada, dia akan pergi ke warung internet pada malam hari setelah kuliah, demi bisa menggunakan perangkat lunak penerjemahan. Dari buku itu, Wanggi memupuk keinginan meneruskan dan mengembangkan seni pantomim di Indonesia.

Mendirikan Komunitas
Cara pertama mengembangkan seni pantomim adalah dengan berkomunitas. Pada tahun 2007, didirikanlah Mixi Imajimime Theatre Indonesia, tempat Wanggi belajar sekaligus berbagi. Di himpunan itu, anggota bisa belajar teknik dasar menggerakan tubuh sambil menambah wawasan.

Bagi Wanggi, pantomim adalah pekerjaan sikap. Sebuah media untuk menyampaikan pesan melalui kinerja kreatif dari bahasa tubuh dan imajinasi. Karya seni pantomim menghadirkan kesunyian yang meruang, memanipulasi bunyi visual, baik imajinasi dan gerak tubuh pada tempo tertentu serta, terapi bagi masyarakat. 

Dari satu latihan ke latihan lain, Wanggi dan rekan-rekan menghasilkan karya, baik tunggal maupun kolosal. Dalam seminggu ia bisa memproduksi dua sampai tiga karya. 

"Saya terus melaju dengan tempo gas-rem. Saya terus melakukan hal-hal yang diluar kebiasaan para seniman sebelumnya. Saya melanjutkan gagasan atau ide dan jangan sampai tenggelam. Karena ide yang pernah dilakukan kalau tenggelam dan terkubur itu sayang," ujarnya. 

Di Indonesia sendiri, pantomim seakan timbul-tenggelam. Lebih asing terdengar, tidak seperti seni lainnya. Kini, perkembangannya cenderung turun. Nama seniman yang populer pun terbilang masih sedikit. Sebut saja, seperti Moortri Poernomo, Zulhamdani, Deddy Ratmono, Jamek Supardi, Sena, Didi Petet, hingga Septian Dwi Cahyo sebagai seniman pantonim atau mime.

Paling tidak, tren itu sudah disadari Wanggi sejak tahun 2000-an. Maka itu Wanggi remaja berupaya membawa kembali pantomim ke panggung pertunjukan. Hal ini penting bagi Wanggi, karena pantomim adalah cara melawan dengan damai.

Karya-karya Wanggi menjadi jembatan ingatan perihal masalah sosial-budaya, kemanusiaan, solidaritas, urban, lingkungan, sejarah, krisis, anti-kekerasan, perdamaian, dan spiritualitas. 

Wanggi mengakui, pamor pantomim tak sementereng teater atau seni pertunjukkan lainnya. Ekosistem pantomim yang belum solid terbangun menjadi penyebabnya. Jika teater memiliki sanggar, sarana pentas, serta komunitas, tapi tidak dengan pantomim. Senimannya sering kali bergerak sendiri-sendiri.

Belum lagi dengan kenyataan, masih banyak yang pantomim sebagai pertunjukkan aneh karena menampilkan seniman yang tidak berbicara. Padahal, kata Wanggi, mime berbicara melalui gerakan tubuh dan mimik wajah. Gerakan dan mimik wajah itu sarat akan makna.

"Pantomim itu seni bahasa tubuh yang sunyi berbahasa universal dalam kecepatan dan tempo tertentu, bukan sekadar lucu-lucuan. Pantomim itu bahasa perdamaian, bahasa untuk semua manusia yang hidup di bumi ini," ujarnya. 

Tidak mudah menjadi seniman pantomim. Saat tampil, dia harus menyulih suara atau gagasan menjadi gerakan. Mime dituntut peka dalam menangkap keadaan di sekitar.

Membumikan Pantomim
Wanggi mencoba banyak hal agar seni pantomim diketahui lebih banyak orang. Antara lain, menyandingkan pantomim yang berasal dari zaman Romawi kuno dengan budaya nusantara. Tampilan Mime yang lazim berkostum belang-belang, diubah Wanggi dengan mengenakan ikat kepala khas Sunda. Kerap kali pula menggunakan busana adat etnis lain.

“Makanya lewat kostum-kostum etnik saya mencoba merawat budaya kita," ujarnya. 

Supaya lebih membumi dan mendekatkan pantomim dengan masyarakat awam, Wanggi tidak jarang melakukan pertunjukan di jalanan dengan membawa tema-tema pinggiran. Seperti tentang kesulitan hidup para pengemis, serta kesesakan ekonomi kaum akar rumput. 

Bersama teman sejawat, Wanggi juga pernah membuat program backpacker. Dia menggelar pertunjukan di bangunan-bangunan bersejarah sepanjang perjalanan, bahkan lokasi penginapan. Tema pantomimnya, sudah pasti soal sejarah.

Di luar agenda itu, dia aktif menggelar pertunjukan pantomim. Misalnya, Mixi Imajimimetheatre Indonesia, Nyusur History Indonesia, Aksi Kamisan Bandung, Indonesia Street Mime International Festival 2017 di Palangkaraya, dan Tur Mime Tipis-Tipis Indonesia.

Wanggi juga mencetuskan peringatan tahunan World Mime Day atau Hari Pantomim Sedunia sejak tahun 2011 di Indonesia. Ia juga penggagas sekaligus perintis Gerakan Kebudayaan Awak Inisiatif Arts Movement yang hadir di ruang publik dengan nama Perayaan Hari Tubuh Internasional. 

Tantangan Berpantomim
Tak perlu heran jika banyak yang masih sulit menikmati pantomim. Cara kerja pembuatan karya tersebut juga sama sukar. Membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk seorang mime memindahkan teks narasi ke dalam bentuk gerakan.

Narasi 'membuka gerbang' saja memiliki banyak arti di kepala setiap orang. Agar semua bisa mengerti, Wanggi mula-mula menyamakan bayangan penonton soal gerbang. Dari bentuk, ukuran, dan desain, dipikirkan rinci. Semua itu ia lakukan agar penonton tidak jenuh dan bingung kala menonton pantomim. 

"Pada akhirnya memainkan rasa. Tubuh menghayati perasaan yang ada di keseharian," urai Wanggi. "Lewat pantomim saya mengajak teman-teman untuk berpikir, berimajinasi, menjelajah apa yang dirasakan mereka yang nonton dan itu jadi diskusi."

Ada beberapa karya yang berkesan untuk Wanggi. Yakni 'Gelombang-Gelembung Mimpi', bercerita tentang mimpi dan cita-cita setiap anak. Kemudian karya terinspirasi dari lagu ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut’ yang mengisahkan kekuatan nenek moyang melawan keadaan berat. Melalui tema-tema tersebut Wanggi ingin memberi semangat kepada penontonnya. 

"Hidup harus bergaul, berkolaborasi, jangan menutup akses apapun. Merawat jejaring dan berkomunitas. Pantomim untuk semua. Saya juga coba mendekatkan ke mereka. Pantomim itu kan mengingatkan sesuatu dan peristiwa. Akhirnya karya saya sifatnya kontemplatif, mencoba untuk menyentuh mereka tapi tidak dengan fisik. Makanya saya pada akhirnya bicara batin," tuturnya. 

Tidak hanya di Indonesia, Wanggi juga membawa pantomim berpentas di kancah internasional. Tahun 2013, Wanggi menjadi satu-satunya seniman pantomim Indonesia yang diundang berkolaborasi bersama kelompok sirkus teater kontemporer Chabatz D'Entrar Compagnie dari Prancis.

Dia menyelenggarakan tur sirkus ke sembilan kota di Indonesia, serta beberapa kota di Timor Leste dan Vietnam. Ia juga menggelar pentas pantomim 12 jam nonstop pada acara Bandung International Dance Film Festival dan Pantomim 6 jam nonstop, di Situs Sel No. 5 eks Penjara Bung Karno. 

Tanpa Dukungan Penuh
Namun, upaya mengembangkan seni pantomim itu belum benar-benar menarik perhatian pemerintah. Wanggi bercerita, seniman pantomim sering harus menyiapkan segala sesuatu dengan dana pribadi. Mulai dari tata rias, kostum, dan keperluan prose produksi. Sekali pertunjukan kocek yang dirogoh sekitar Rp1,5 juta-Rp 3 juta.

Sejauh ini pemerintah hanya mendukung keberlangsungan seni pantomim melalui festival seni siswa tingkat nasional. Namun Wanggi menilai cara itu kurang efektif tema lomba kerapkali membatasi imajinasi peserta.

"Pemerintah tidak menengok potensi-potensi seniman pantomim yang punya akses ke masyarakat. Di sekitar saya pun belum banyak yang tahu apa itu pantomim," tegasnya. 




Semakin Banyak Orang Tahu
Di tengah keterbatasan dukungan pemerintah, Wanggi bisa sedikit bernapas lega. Meski terhantam pagebluk covid-19 dan gagap teknologi, Wanggi masih mendapati celah untuk mengenalkan pantomim lebih luas, yakni melalui media sosial. Dia beberapa kali tampil melalui akun Instagram dan kanal YouTube miliknya.

Lambat laun interaksinya dengan penonton kian kerap. Semakin banyak orang awam yang ingin tahu lebih banyak tentang pantomim.

"Harus pelan-pelan dan terus menerus, nanti teman-teman akan tahu pantomim. Kita akhirnya akan ada dialog. Banyak orang melihat pantomim itu (seni yang) enggak ngomong, padahal sama saja kaya seni lain, kita bisa diskusi, dan ngomong," ujarnya. 

Wanggi mengatakan, saat ini regenerasi seniman pantomim sedang berjalan. Banyak remaja yang mulai berminat. Hal itu terjadi secara organik dan tumbuh bersama dengan daya kritis dan kemelekan teknologi.

"Semoga ada pikiran kritis melalui lelucon atau candaan. Harus ada idealisme dan kritiknya untuk bangsa ini," ujarnya. 

Menjelang World Mime Day pada 22 Maret 2021, Wanggi tengah menjalankan survey tentang seberapa luas masyarakat Indonesia mengenal pantomim. Akan ada sekitar 60-70 profesi di Kota Bandung dan sekitarnya yang dijadikan sampel riset. 

Nanti, jika ada orang yang tidak mengetahui pantomim, Wanggi akan mempertontonkan video pantomim kepada orang tersebut. Riset ini bukan proyek muluk-muluk, kata Wanggi. Proyek tersebut hanya bagian dari ikhtiar agar seni pantomim Indonesia semakin dikenal masyarakat luas. 

"Karena pantomim itu warna dan kekayaan kita, mau enggak mau (harus) ada pelestariannya. Harapannya, semoga pantomim bukan hanya tumbuh dan berkembang, tapi juga membumi dan bisa dinikmati sama siapa aja." pungkasnya.

Wanggi punya cara sendiri mengekspresikan kegelisahannya. Memang tidak semua orang awam mampu mengerti. Namun ibarat batu yang terus-menerus ditetesi air, kelak masyarakat bakal menoleh juga jika terus diperjuangkan. Karena sejatinya pantomim bukan sekadar lucu-lucuan, tapi melawan dengan damai meski dalam sunyi. (Dwi Herlambang)


Sumber berita : https://www.validnews.id/Seni-Melawan-Dalam-Sunyi-yOt