Jumat, 13 April 2018

Indonesia Street Mime International Festival 2017 - Turn Back Mime

TURN BACK MIME DAN TUBUH YANG BERSUARA
Oleh : Wanggi Hoed, Seniman Pantomime



ISMIF (Indonesia Street Mime International Festival), merupakan kegiatan seni pertunjukan pantomime yang pertama kali di selenggarakan di Indonesia, bertempat di Bundaran Besar Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada tanggal 29 Januari 2017, yang pementasannya ditampilkan serentak di ruang publik / jalanan (street performance) sebagai panggung pertunjukan. ISMIF sendiri masuk dalam agenda kegiatan dari rangkaian Turn Back Mime 2017, yang didalamnya akan ada ; Workshop, Diskusi dan Uji Nyali bersama seniman pantomime Indonesia sekaligus narasumber, yaitu : Wanggi Hoed, yang telah 10 tahun lebih berkarya di dunia seni pantomime.
Kegiatan ini terselenggara atas inisiatif dari beberapa anak muda tanah air, seperti : Institute Tingang Borneo Theatre (ITBT), Rumah Talenta dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah dan Mixi Imajimimetheatre Indonesia dari Bandung, Asean Mime Society, Indonesia Mime Artist Association. ISMIF adalah hajat seni budaya melalui medium tubuh, imajinasi dan perangkat pendukung (bila diperlukan) oleh para seniman / pelaku seni yang terlibat didalamnya.
Untuk tahun ini ISMIF 2017 mengangkat tema universal dengan judul : “The Body Of Sounds” (Suara Tubuh). “The Body of Sounds” sebagai pusar interaksi segala daya energi indrawi guna mempererat tali silaturahmi, persaudaraan dan persatuan antar lintas kultural, Melalui ISMIF 2017 seyogyanya kita bersama bisa mengingat dan merawat kelestarian seni budaya yang ada dan tumbuh di tanah air (khususnya pantomime), sebab kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Disitulah ISMIF hadir untuk bersama-sama bergerak dalam satu tubuh, satu jiwa, satu rasa sebagai bentuk tindakan nyata. ISMIF 2017 adalah panggung bagi para seniman pantomime dan pelaku seni pertunjukan lainnya, untuk berkarya dengan medium tubuh, ISMIF adalah bagian dari tubuh budaya. Melalui ISMIF kita berharap akan lahir inisiator dan regenerator muda dalam kebudayaan di Indonesia.
Kita berharap semoga ISMIF menjadi awal sejarah yang baik dan di ingat oleh masyarakat, sebagai sejarah revolusi seni pertunjukkan di Indonesia.

http://blog.spektakel.id/2017/01/31/turn-back-mime-dan-tubuh-yang-bersuara-di-indonesia-street-mime-international-festival-2017/

Rabu, 04 April 2018

Indonesia Street Mime International Festival 2017

Seni.co.id  - 30 Januari 2017
Editor : Aendra M

Indonesia Street Mime International Festival 2017: Sejarah itu Ada dan Berlipat-lipat Ganda




Catatan Penting untuk pelaku seni budaya Indonesia. Indonesia Street Mime International Festival 2017.
Sejarah itu Ada dan Berlipat-lipat Ganda
Sejarah pantomime di Indonesia Street Mime International Festival 2017 “The Body of Sounds” di ruang publik (street pantomime) sudah tercipta bersama dulur-dulur Institute Tingang Borneo, Rumah Talenta, Riak Renteng Tingang, Mime Borneo, Komunitas Teater, Oi Palangkaraya, Subud International, Sekolah Relawan Palangkaraya, Mime Banjarmasin, CleanAction Palangkaraya dan warga seluruh masyarakat yang terlibat di Indonesia Street Mime International Festival pertama kali di Indonesia dan menjadi sejarah per-pantomime-an nusantara..

sumber berita :

http://seni.co.id/2017/01/30/indonesia-street-mime-international-festival-2017-sejarah-itu-ada-dan-berlipat-lipat-ganda/




RUANG PANTOMIME YANG TERBATAS TAPI KREATIVITAS MENEMBUS BATAS

liputan6, 23 Maret 2016
Editor : Arie Nugraha

Gerak Aktor Pantomim Bandung Bertahan dalam Keterbatasan.



Aktor pantomim asal Bandung mengeluhkan keterbatasan ruang publik sehingga menghambatnya untuk mengekspresikan diri. (Liputan6.com/Arie Nugraha)


Liputan6.com, Bandung - Tahukah Anda jika 22 Maret tidak hanya diperingati sebagai hari Air Dunia? Pada tanggal yang sama ternyata diperingati pula sebagai hari Pantomim Dunia.

Tanggal peringatan itu mengacu pada hari kelahiran maestro pantomim dunia asal Prancis, Marcel Marceau, yang jatuh pada 22 Maret 1923. Para seniman pantomim di 13 negara memperingatinya sebagai hari Pantomim Dunia, termasuk Indonesia.

Seniman asal Bandung, Wanggi Hoediyanto, menjadi wakil Indonesia dalam peringatan tersebut. Sudah lima tahun ini ia mewakili Indonesia dalam peringatan tersebut. Ia mengaku tergerak mendalami seni olah tubuh itu karena semangat Marcel Marceau yang aktif menyuarakan hak asasi manusia lewat seni.   

"Dia salah satu pelaku seni yang menyuarakan hak asasi manusia mengenai perang dunia kedua. Dia juga sebagai pahlawan untuk para korban Holocaust," kata Wanggi di Bandung, Selasa, 22 Maret 2016.


Dalam peringatan tahun ini, Wanggi mengangkat isu air yang juga diperingati pada tanggal yang sama. Ia juga mengangkat kritikannya atas kurangnya ruang publik sebagai tempat menuangkan ide dan gagasan warga.

Wanggi beraksi pantomim bersama seorang rekannya, Gatot, mulai dari Gedung Indonesia Menggugat (GIM) menuju Tiang Bendera Gedung Merdeka sebagai peringatan World Mime Day Indonesia 2016. 

"Selama ini, masih ada tindakan-tindakan pembungkaman oleh pihak-pihak tertentu saat pelaku seni menuangkan ekspresinya," ucap Wanggi.

Kritikan itu mewakili keresahan yang dialami Wanggi. Menurut dia, perkembangan seni pantomim di Indonesia masih menghadapi banyak kendala dan hambatan untuk memasuki ruang publik. Ia menuding pandangan tabu masyarakat sebagai salah satu penghambat seni non-verbal itu.

Situasi itu berdampak pada pendapatannya. Menurut Wanggi, ia tidak mendapat keuntungan banyak selama berprofesi sebagai aktor pantomim. Meski begitu, ia meyakini masih bisa hidup sebagai pelaku seni yang juga dipopulerkan oleh Charlie Chaplin itu. 

"Pantomim bisa menghidupi saya, dari sekecil apa pun materinya. Banyak sekali kendala dan hambatan itu, menjadi napas yang tersendat, tapi memang begitu siklus hidup," tutur Wanggi.

sumber berita :

http://www.liputan6.com/regional/read/2465782/gerak-aktor-pantomim-bandung-bertahan-dalam-keterbatasan

Menyuarakan Kehidupan Melalui Pantomim

Jawa Pos, 14 Juli 2017
EDITOR : 

Features

Wanggi Hoed Terus Menyuarakan Isu Kemanusiaan lewat Pantomim.


KOMITMEN: Wanggi Hoed (tengah) dan dua rekannya saat menampilkan Nyusur History Mudik Movement di Bandung. (Fajri Achmad/Bandung Ekspres/JPG)

eski pernah punya pengalaman buruk saat mengadakan pertunjukan, Wanggi Hoed bertekad akan tetap bersuara lewat pantomim. Semangatnya berlipat setelah mendapat pesan dari putri seniman idolanya.
ANDRA NUR OKTAVIANI, Bandung
DUA hari menjelang Idul Fitri. Saat banyak warga Bandung sibuk mempersiapkan kepulangan ke kampung halaman, Wanggi Hoed memilih menyusuri jalanan di ibu kota Jawa Barat tersebut.
Dari simpang lima Asia Afrika hingga ke Alun-Alun Bandung. Dengan wajah seputih kapur dan kumis yang dibiarkan mbaplang. Tanpa suara.
”Saya ingin menyuarakan keresahan saya melihat hiruk pikuk para pemudik. Saya ingin mengingatkan masyarakat pada esensi mudik yang sebenarnya,” kata seniman pantomim asal Cirebon itu ketika ditemui di sela aksinya tersebut.
Begitulah cara seniman 29 tahun itu menyuarakan kegelisahan atau ekspresinya terhadap isu-isu sosial dan kemanusiaan. Lewat seni yang digelutinya sejak bangku SMP: pantomim.
Pada Maret 2013, misalnya, Wanggi dan beberapa komunitas mahasiswa dan pelajar menggelar kegiatan kemanusiaan yang bertajuk ”1.000 Biskuit dan Susu untuk Gizi di Indonesia”.
Selain itu, Wanggi aktif dalam penegakan keadilan terhadap beberapa kasus penculikan di era Orde Baru. Dia bersama teman-temannya menggelar aksi Kamisan di depan Gedung Sate Bandung.
Aksi Wanggi tidak selalu berjalan mulus. Aksinya dalam perayaan Hari Tubuh Internasional di kawasan Jalan Asia Afrika, Bandung, tahun lalu dihentikan polisi. Tidak berhenti sampai di situ, Wanggi pun diamankan, lalu diinterogasi petugas kepolisian.
Wanggi yang merasa tidak ada yang salah dengan aksinya lantas bertanya kepada polisi apa yang membuat aksinya dibubarkan. ”Mereka bilang Wanggi sudah bikin macet jalanan. Padahal, jalan itu tanpa Wanggi pun memang sudah macet,” terang pria kelahiran Cirebon, 24 Mei 1988, tersebut.
Pria yang terlahir dengan nama Wanggi Hoediyatno itu mempelajari pantomim secara otodidak. Dia jatuh cinta dengan seni tersebut karena bahasa tubuh adalah bahasa yang universal. Semua manusia akan memahami tanda-tanda gerak tubuh yang sifatnya konvensional. Sehingga, meski isu yang dibawakan lokal sekalipun, masyarakat dunia akan mengerti.
Pilihan itu pula yang membawanya hijrah ke Bandung untuk menuntut ilmu di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) yang sejak 2006 berganti nama menjadi Institut Seni dan Budaya Indonesia. Di tahun keduanya kuliah, Wanggi bersama empat kawannya membuat sebuah komunitas pantomim yang diberi nama Mixi Imajimime Theatre. Nama Mixi itu juga yang kemudian dijadikan nama karakter pantomim yang dia bawakan.
Wanggi berkesempatan pula terlibat dalam pertunjukan sirkus kontemporer yang dilakukan kelompok sirkus asal Prancis Chabatz D’Entrar pada 2013. Menurut Wanggi, kesempatan tersebut datang saat dirinya sedang melakukan residensi di Institut Français d’Indonésie (IFI).
Kelompok sirkus itu memang sedang melakukan tur di Indonesia, Timor Leste, dan Vietnam. Wanggi menjadi satu-satunya orang Indonesia di antara orang Prancis yang tergabung dalam kelompok tersebut.
Banyak sekali hal yang dipelajari Wanggi dari teman-temannya di kelompok sirkus itu. Salah satunya adalah disiplin. Setiap anggota kelompok harus mematuhi peraturan yang berlaku di kelompok tersebut.
Wanggi juga belajar banyak mengenai teknik pertunjukan. Bagaimana seharusnya dia bisa berekspresi dengan tepat. ”Tidak boleh berlebihan dan tidak boleh kurang juga,” katanya.
Meskipun punya pengalaman buruk saat melakukan pertunjukan, Wanggi mengaku tidak akan menyerah. Dia akan terus menyuarakan suara-suara yang tidak terdengar melalui aksi-aksi pantomimnya.
Semangat Wanggi untuk terus berpantomim makin terlecut saat dirinya menerima sebuah pesan dari Gendis A. Utoyo. Dia adalah anak maestro pantomim Sena A. Utoyo yang menjadi role model Wanggi. Melalui pesan Facebook itu, Gendis mengutarakan kerinduannya pada sang ayah. Itu terjadi setelah dia melihat foto-foto penampilan pantomim Wanggi.
Salah satu pertunjukan Wanggi juga pernah ditayangkan di TV kabel Belgia. Beberapa mahasiswa dari luar negeri pun menjadikan Wanggi dan aksinya sebagai bahan penelitian untuk tesis mereka. ”Ada dari Jerman dan Amerika Serikat. Yang dari Amerika Serikat itu bertujuh datang untuk meneliti saya,” cerita Wanggi.
Bingung mungkin kata yang pas untuk menggambarkan kondisi Wanggi saat diminta menjadi objek penelitian. Dengan kehidupan yang apa adanya, panggung dari jalan satu ke jalan lainnya, dan isu-isu berat yang kerap membuat para petinggi daerah gerah, Wanggi masih tidak dapat membayangkan apa yang bisa dia bantu dalam penelitian itu. Namun, bukan Wanggi namanya jika melewatkan kesempatan begitu saja.
Sebisa-bisanya Wanggi membantu para mahasiswa tersebut mendapatkan bahan penelitian bagus untuk dapat dituangkan dalam tugas akhir mereka. ”Mereka sempat tanya pas mereka berkunjung sedang ada kegiatan atau tidak. Saya bilang, kalau tidak ada kegiatan, ya bikin saja. Saya bilang, yang penting kita ketemu dulu. Baru diomongin,” terang Wanggi. (*/c9/ttg)

sumber berita :
https://www.jawapos.com/read/2017/07/14/144249/wanggi-hoed-terus-menyuarakan-isu-kemanusiaan-lewat-pantomim


BANDUNG, INDONESIA WORLD MIME DAY 2018

Kumparan, Bandung Kiwari - 24 Maret 2018

Pantomim 'Senja Menitip Sunyi': Bahasa Sunyi Pencari Cinta.



Aktor pantomim, Nugraha Dwi, tampil pada acara peringatan Hari Pantomim Dunia bertema "Senja Menitip Sunyi", di Mr. Guan Coffee and Books, Bandung, Kamis (22/3/2018) malam. (Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari.com)


BANDUNG, bandungkiwari - Tubuh itu bergerak tanpa suara. Lantang bercerita tanpa kata. Berteriak dengan sepi yang menghujam. Namun hening mencekam.
Kesan itulah yang hadir ketika tangisan kesakitan bahkan hilang terjerembab malam. Hanya menyisakan linangan air mata yang melarungkan harapan, demi melantunkan bahasa cinta yang tidak mengenal titik di akhir kata.
Kamis (22/3) malam itu, Mr. Guan Coffee and Books terasa riuh tetapi sepi. Saat tubuh simbolik aktor pantomim perempuan Sopiyah Opoy, memperlihatkan dramatiknya kehidupan yang dijalani sebagai perempuan dalam perjuangan hidup mati ketika proses kelahiran yang berujung dengan kesunyiannya. Selang beberapa saa,t tubuh-tubuh dari aktor kelompok Mixi Imajimimetheatre Indonesia, bersama beberapa seniman lainnya bercerita tentang hidup.
Malam itu dengan kepekatan bahasa cinta yang selalu didengungkan para aktor pantomim, Bandung ikut memperingati World Mime Day atau Hari Pantomim Sedunia. Penyelenggaraan tahun ke-7 ini terus diikuti Mixi Imajimimetheatre Indonesia sejak 2011, melalui inisiator World Mime Organisation yang bermarkas di Belgrade, Serbia.
Hari Pantomim sedunia yang bisa jadi luput dari ingatan banyak orang, bukan hanya sebagai hari raya para seniman pantomim semata. Lebih dari itu, sebenarnya merupakan peringatan hari lahirnya Maestro Mime Marcel Marceau ke-96, yang lahir pada 22 Maret 1923 di Strasbourg, Perancis.
Dunia seni mengapresiasi dan menempatkan Marceau sebagai tokoh yang berhasil menghidupkan kembali pantomime yang kurang popular saat itu ke seluruh dunia dengan karakter khas Bip The Clown. Pupur putih yang menutup muka, mengenakan celana putih, kaus hitam putih, dan seringkali mengenakan topi besar dengan setangkai bunga merupakan ikon yang hadir dari Marceau sejak 1947.



Sopiyah Opoy



Bagi kelompok Mixi Imajimimetheatre, sosok Marceau merupakan tokoh sekaligus ruh dalam perjalanannya menerjuni dunia seni yang mengolah bahasa tubuh ini. Tiak dapat dipungkiri Wanggi yang menjadi pentolan di kelompoknya, mengidolakan Marceau yang banyak menyampaikan pesan kehidupan dan mengajak setiap orang untuk terlibat dalam perdamaian.
Menghargai sosok inspiratif itulah Mixi Imajimimetheatre menyelenggarakan acara sederhana yang penuh keintiman ruang ini dengan mengusung tema “Senja Menitip Sunyi”.
“Senja Menitip Sunyi, merupakan tema yang kita angkat tahun ini dalam peringatan hari Pantomim. Sementara tema besar dunia yaitu ‘Mime the Language of Peace’,” ucap Wanggi Hoed seniman pantomime yang memotori komunitas Mixi Imajimimetheatre Indonesia.
“Senja Menitip Sunyi” menurutnya adalah sebuah bahasa yang luas untuk diinterpretasikan. Baginya tidak setiap hari bisa menemukan senja, dan dalam perjalanannya senja selalu menitipkan sunyi kepada manusia.
Sementara di Bandung berlangsung repertoar “Senja Menitip Sunyi”, di Belgrade, Serbia selama 21-23 Maret sedang diselenggarakan Konferensi Pantomim Dunia (World Mime Conference) yang pertama kali pertama dilaksanakan di dunia.
“Disayangkan seharusnya saya ikut acara tersebut. Tetapi karena persoalan birokrasi dan lain hal, akhirnya tidak jadi berangkat ke Serbia. Akhirnya di sini kita membuat perayaan Hari Pantomim sendiri,” jelas Wanggi yang batal berangkat, meski telah diundang untuk mengikuti konferensi pantomim dunia tersebut.


Wanggi Hoed


Sementara itu menurut Gatot Gunawan penari yang ikut merayakan acara ini, pesan penting dari pantomim adalah bahasa cinta, dan menghormati hidup. Itu sebabnya dalam acara tersebut dirinya menari mengenakan Topeng Panji ditemani anak kecil.
“Tarian saya lebih pada perlambang kehidupan,” tegas Gatot ketika ditanya perihal tariannya.
Unsur Topeng Panji yang melambangkan kesucian meruang bersama anak kecil merupakan penanda generasi penerus yang menari dengan kedamaian dan hidup tenang dengan tradisi yang dijalaninya.
Selain Gatot yang tampil dengan tariannya, malam itu pun penonton diajak berimajinasi dengan musik, salah satunya seperti Tamasya yang dibawakan John Kastela yang bercerita indahnya senja. Tidak kalah dari mereka seorang Theoresia Rumthe membacakan pula cerita pendeknya, yang bercerita tentang perjuangan perempuan yang harus menyerahkan tubuh demi keberlangsungan hidup keluarganya.
Terlepas dari pementasan para seniman dalam perayaan Hari Patomim Dunia. Wanggi yang kerap bersinggungan dengan kenyataan pahit kondisi Indonesia, dan acapkali tampil di ruang publik untuk memberikan kesadaran tentang realitas yang ada, berharap pantomim bukan hiburan semata. Namun, menjadi tugu ingatan akan peristiwa apapun itu bentuknya. Sesuai dengan gerakan World Mime Day yang dalam peringatannya terus menerus menyuarakan pesan bahasa perdamaian, melalui bahasa tubuh yang multibahasa dari setiap negara. (Agus Bebeng).

sumber berita :
https://kumparan.com/bandungkiwari/bahasa-sunyi-pencari-cinta

MEMPERINGATI HARI PANTOMIME DUNIA DI BANDUNG

Pojok Bandung - Selasa, 27 Maret 2018
Editor : Iman Herdiana

Prihatin pada Krisis Lingkungan, Seniman Pantomim Bandung Beraksi

Caption Foto: Wanggi Hoediyatno, Seorang Seniman Pantomime Bandung sedang melakukan pertunjukan pantomime untuk memperingati Hari Pantomime Sedunia (M Gumilang/Radar Bandung)


POJOKBANDUNG.com, BANDUNG – Sejumlah komunitas pantomim yang bernamakan Mixi Imajimimetheathre Indonesia menggelar sebuah peringatan hari Pantomime sedunia yang jatuh pada 22 Maret lalu.
Para seniman pantomim tersebut membawakan penampilan dengan mengusung tema “Senja Menitip Sunyi” sekaligus memperingati hari Air dan Hutan sedunia.
Acara menampilkan karya dari beberapa seniman dan musisi lintas disiplin seperti Ridwan Obos, Nugraha Dwi, Sophiah Opoy, Gatot Gunawan, Theoresia Rumthe, Nila Saujana, Jon Kastela dan Sakola Ra’Jat Ibu Inggit Garnasih, Galih Bagas serta Wanggi Hoediyatno.
Seorang seniman pantomim Bandung, Wanggi Hoediyatno mengatakan, para pantomime yang ada di Bandung sudah memperingati World Mime Day atau Hari Pantomim sedunia selama tujuh tahun terakhir sejak 2011 yang di inisiatori oleh Mime Organisation yang bermarkas di Belgrade, Serbia.
Menurutnya, Bandung menjadi kota yang mengawali peringatan hari pantomim sedunia yang digelar serentak di berbagai negera. Hal ini lanjutnya, merupakan sebuah rekam sejarah dalam menghidupkan dan memperkenalkan pantomime di Indonesia.
“Kami membawa pesan bahwa Pantomime sebagai bahasa perdamaian dan bahasa untuk semua,” ujarnya saat memberikan sambutan di acara peringatan Hari Pantomim Sedunia yang digelar di Mr. Guan Coffee and Book, Jalan Tampomas No.22 Kota Bandung.
Wanggi menuturkan, alasan ia menggunakan tema Senja Menitip Sunyi adalah salah satu cara para seniman pantomim menyatukan perayaan besar lainnya seperti Hari Air Sedunia dan juga Hari Hutan Sedunia dengan isu lingkungan yang sedang terjadi saat ini.
Selain menjadi seniman, Wanggi juga memang selalu ikut terlibat dalam kampanye-kampanye yang menyuarakan tentang lingkungan dan juga satwa-satwa yang ada di Indonesia.
Terlebih lagi menurutnya, ia miris melihat kondisi lingkungan yang ada di Bandung saat ini dengan adanya berbagai bencana alam yang terjadi menimpa wilayah Bandung beberapa waktu yang lalu.
“Meskipun kita tidak menyuarakannya secara langsung, melalui gerakan-gerakan pantomime kami, kita bermaksud memberikan gambaran kepada semua orang bahwa kondisi alam kita ini sedang tidak baik-baik saja,” jelasnya.
Menurutnya, meskipun seni pertunjukan pantomime masih dirasa kurang memiliki banyak peminatnya, namun ia mengatakan, akan terus menyuarakan sesuatu yang dianggap genting seperti kondisi lingkungan ini.
“Kita punya cara kita sendiri ikut menyuarakan kampanye tentang lingkungan. Melalui pantomime inilah, terkadang memang sulit untuk dimengerti oleh orang lain, namun Pantomime sendiri memiliki makna yang sangat dalam ketika anda memperhatikan setiap gerak-gerik pantomime tersebut,” terangnya.
Dalam penampilannya di Hari Pantomime Sedunia tersebut, Wanggi membawakan sebuah cerita tentang bagaimana sikap pemerintah yang tidak memiliki hati nurani untuk merawat serta melestarikan alam serta mengkritisi tak adanya usaha pemulihan lingkungan hidup oleh pemerintah yang ada di wilayah Bandung.
“Hanya karena uang, alampun turut dikorbankan, sungguh kejahatan yang sangat serius,” pungkasnya.

sumber website :
http://bandung.pojoksatu.id/read/2018/03/27/prihatin-pada-krisis-lingkungan-seniman-pantomim-bandung-beraksi/2/