Minggu, 18 Juni 2017

Pantomim Untuk Kemanusiaan

 Pantomim Untuk Kemanusiaan

Bikin Nyandu : Terinspirasi Tiga Artis Pantomim

Bikin Nyandu : Terinspirasi Tiga Artis Pantomim

disabledaccessdenied.files.wordpress.com/2014/02/marcel-marceau.jpg

Selain Marceau, Wanggi juga menaruh hormat pada pantomim Indonesia, Jemek Supardi dan Seno Utoyo. Jemek memperkenalkan pantomim pada tahun 1974, sedangkan Seno di tahun1977.
“Walau dari akademik, Seno Utoyo memiliki ide dan gagasan yang cerdik. Dari sana saya menarik ide dan gagasannya. Saya juga menaruh hormat pada Jemek Supardi,” tuturnya.



Dari ketiga orang tersebut, Wanggi mulai mengaplikasikan berbagai ide dan gagasan dalam gerakan pantomim. “Mereka juga yang memengaruhi saya dalam berpantomim. Ketiga orang ini mempunyai rentan waktu perjalanan yang sangat luar biasa. Selalu memperjuangkan kelas bawah, kaum marjinal, hak asasi di mana kehidupan mereka sendiri sangat memprihatinkan,” jelasnya. ( Huyogo Simbolon )


Article Media : https://qubicle.id/story/bikin-nyandu-terinspirasi-tiga-artis-pantomim



Satu Dekade Pantomim Wanggi Hoediyatno

Bikin Nyandu : Satu Dekade Pantomim Wanggi Hoediyatno

Wanggi Hoed: Pantomime itu Bahasa Perdamaian



PEMUDAFM.COMRadionya Anak Muda – Pada umumnya seni pertunjukan teater mengandalkan dialog antarpemain untuk berinteraksi. Tapi tidak dengan pantomime. Pantomime yang dalam Bahasa Latin disebut pantomimus adalah pertunjukan teater yang menggunakan isyarat sebagai dialognya. Isyarat tersebut tadi hadir dalam bentuk mimik wajah dan gerak tubuh. Istilah pantomime sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang artinya “serba isyarat”.
Di Indonesia ada seorang pria bernama Wanggi Hoediyatno yang berkarya dan berproses kreatif di dunia seni pertunjukan sejak tahun 2004, Alumnus STSI Bandung tahun 2012, jurusan teater angkatan 2006 yang produktif berkarya seni di berbagai ruang publik dan ruang budaya. Perintis dan pengaggas ruang belajar Komunal Kreatif Independent seperti; Mixi Imajimimetheatre Indonesi (Pantomime Indonesia), Nyusur History Indonesia (Ruang Seni Perjalanan Kolaborasi Seni, Sejarah dan Budaya), Komunis Kampus (Komunitas Sepeda Kampus), Indonesian Mime Artist Association, Aksi Kamisan Bandung (Gerakan Menolak Lupa dan Impunitas), ASEAN Mime Society dan aktif di Teater Cassanova Indonesia (Kelompok Teater Independent). Perintis dan Inisiator Gerakan Kebudayaan Awak Inisiatif Arts Movement bersama para seniman muda Bandung yang hadir di ruang publik dan diberi nama “Perayaan Tubuh” atau Perayaan Hari Tubuh Internasional yang dirayakan setiap tahun di bulan Maret.
Ia juga merupakan salah satu seniman pantomime yang pertamakali di Indonesia dan Dunia melakukan pertunjukan seni pantomime diatas Puncak Mahameru, Gunung Semeru 3.676 Mdpl (Gunung Berapi tertinggi di Pulau Jawa) dan Ranu Kumbolo 2.400 Mdpl, Ia mendaki pada akhir bulan Juli 2015 bersama 8 orang rekannya dengan perjalanan seni spiritual Backpacker Nyasar Nyusur Gunung Semeru.
Wanggi Hoediyanto belajar pantomime secara otodidak dan akhirnya mengantarkan dia pada minat dan kecintaan terhadap seni yang sesungguhnya. Idealisme dan sikapnya terhadap seni mendapatkan perhatian lebih dari seniman lain dan itu merupakan hal yang dimiliki Wanggi sebagai seorang seniman.
Ia aktif berpartisipasi, berkolaborasi dan membuat lokakarya seni budaya dengan berbagai seniman, musisi dan masyarakat, baik dari dalam maupun luar negeri, aktif terlibat di berbagai kegiatan kebudayaan, kesenian, kemanusiaan dan kesejarahan juga lingkungan hidup baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional
Selain beranggapan, seni itu karya, Wanggi juga berpendapat seni juga merupakan media penyampai pesan. Lewat seni pantomim yang ia tampilkan, dia selalu menyematkan pesan-pesan, kritik-kritik sosial yang menyentil terhadap pemerintah. Hal tersebut merupakan bentuk kegelisahannya terhadap hal-hal yang terjadi di negeri ini.
Ia beranggapan,kesenian merupakan media yang tepat untuk menyuarakan kemanusiaan, halus namun berdampak luas.
Aksinya itu bukan hanya didengar masyarakat indonesia, tapi sampai ke negara-negara benua Eropa. Inidibuktikan dengan banyaknya masyarakat sana yang mengirim pesan terhadapnya melalui surat elektronik, yang memberikan apresiasi dan dukungan moril bahwa kesenian merupakan media kritik sosial juga.
Ancaman dan teror menjadi makanan sehari-hari. Pembunuhan, penculikan, dan ancaman lain biasa ia terima. Tapi dengan idealisme dan keyakinannya, Wanggi yakin “gerakannya” tidak akan pernah mati menyampaikan pesan dan kritik.
Baginya: “Pantomime itu seni bahasa tubuh yang sunyi berbahasa universal, ada sebuah pesan yang tersembunyi dari tiap gerak dan imajinasi dalam kecepatan dan tempo tertentu, bukan sekedar lucu-lucuan. Pantomime itu bahasa perdamaian, bahasa untuk semua manusia yang hidup di bumi ini.”
Untuk anak muda yang ingin mengetahui info lebih lanjut tentang Wanggi Hoed, anak muda bisa berinteraksi melalui media media sosial seperti berikut:
Twitter & Instagram: @wanggihoed
Blog: wanggihoediyatno.blogspot.com
Facebook Fanpages: Wanggi Hoediyatno Official
Article Media : http://pemudafm.com/berita/sosial-budaya/wanggi-hoed-pantomime-itu-bahasa-perdamaian.html

Wanggi Hoed, Melawan dalam Sunyi

Potret

Wanggi Hoed, Melawan dalam Sunyi

Fandy Hutari

15 September 2016


Wanggi Hoed
Foto :George Mandagie

Pantomim sudah menjadi dunia Wanggi sejak 2006 lalu. Sewaktu kecil, tak pernah terlintas dalam pikirannya menjadi seorang seniman pantomim. Namun, ketika menekuni teater saat SMP hingga kuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung (sekarang Institut Seni Budaya Indonesia Bandung), pantomim lantas menjadi pilihan ia berkesenian.


Iket tradisional berwarna putih menjadi ciri khas Wanggi ketika berpantomime

Perjalanan Wanggi
Pria asal Cirebon ini baru benar-benar mengasah kemampuannya dalam teater bisu itu ketika duduk di bangku kuliah. Bersama beberapa kawannya, ia pun mendirikan komunitas pegiat pantomim yang dinamakan Imaji Mime Theatre. Komunitas ini memiliki program untuk mengadakan pertunjukan pantomim, dengan tujuan mengankat kembali seni bisu ini di masayrakat.
Dari sana, Wanggi terus mempertajam kemampuannya berpantomim. Wanggi tak seperti aksi pegiat pantomim lain, semisal Septian Dwicahyo, yang kerap mempertontonkan pantomim sebagai hiburan di televisi.Wanggi berbeda. Jalanan adalah panggung bagi seniman pantomim bernama lengkap Wanggi Hoediyatno Boediardjo ini.
Wanggi benar-benar mengasah kemampuannya berpantomime ketika duduk di bangku kuliah
Ia berdialog dengan gerakan tubuh dan mimik wajah. Menyapa orang-orang yang melintas dengan gerak-geriknya.
“Saya nggak mau cari panggung, nggak mau eksis. Wanggi ingin pantomim yang ditampilkan bisa menarik akar-akar sejarah masa lalu, sebagai medium perjuangan, ingatan untuk manusia-manusia lain, dan untuk perlawan terhadap penguasa,” kata pria kelahiran 1988 itu.
Pada tahun 2011, Wanggi ditunjuk sebagai wakil dari Indonesia untuk World Mime Organisation
Ia mengaku belajar pantomim secara otodidak. Asupan pengetahuannya mengenai pantomim didapat dari menonton video di Youtube, menonton televisi, dan membaca literatur-literatur soal seni gerak tanpa suara itu.
Master pantomim asal Prancis, Marcel Marceau, dan seniman pantomim Indonesia, Sena A. Utoyo adalah dua dari banyak seniman lain yang menjadi referensinya. Ketika sudah cukup menguasai seni pantomim, Wanggi pun mulai bersosialisasi dengan para seniman pantomim dunia. Ia masuk ke forum-forum pantomim. Hingga akhirnya, pada 2011 Wanggi ditunjuk sebagai wakil dari Indonesia untuk World Mime Organisation yang berpusat di Beograd, Serbia..
World Mime Organisation memiliki sejumlah program. Salah satunya adalah mengadakan peringatan hari kelahiran seniman pantomim legendaris asal Prancis, Marcel Marceau,yang jatuh pada 22 Maret—hari yang juga disebut sebagai Hari Pantomim Dunia. Wanggi pun ditugaskan mengadakan pertunjukan di Indonesia, khusus memperingati hari itu.
Wanggi membuat program yang dinamakan "Nyusur History Indonesia" untuk membawa pantomime keliling ke beberapa kota Indonesia
Cara Wanggi memperingati hari pantomim di Indonesia terbilang unik. Kondisinya adalah pantomim di Indonesia sudah kurang digemari. Maka, yang kemudian Wanggi upayakan adalah sebuah program yang mampu mengangkat lagi pantomim. Ia pun menyusun program yang dinamakan “Nyusur History Indonesia”.
Pada 2009 hingga 2010, ia berkunjung ke sejumlah kota, seperti Jakarta, Solo, Yogyakarta, Indramatu, Cirebon, dan Bali. Di kota-kota itu, Wanggi mementaskan pantomim di jalan-jalan, dengan latar bangunan tua. Program ini bukan bagian dari peringatan Hari Pantomim Dunia. Ini adalah program inisiatif Wanggi dan Imaji Mime Theatre sendiri.
“Selama menyusuri kota-kota itu, masyarakat dan teman-teman komunitas heran, karena konsep seperti itu belum pernah dipakai di kota-kota mereka,” katanya.
Orang-orang yang menyaksikan Wanggi berpantomim di kota-kota tadi menyebut ia sedang mengamen. Namun Wanggi membantahnya. Menurutnya, hal yang ia lakukan adalah bagian dari uji mental menghadirkan pantomim di ruang publik. Setelah menuntaskan jalan-jalan pantomimnya, Wanggi kembali ke Bandung. Dari kota kembang itu ia mulai menyusupkan kritik ke dalam bahasa tubuh di ruang publik.
Bagi Wanggi, pantomim adalah perlawanan. Bahasa tubuh adalah bahasa universal yang kuat dalam menyampaikan kritik
Perlawanan Pantomime
Wanggi mengakui, aksi pantomimnya di jalan bukan tanpa risiko. Beberapa kali aksi pantomim “Nyusur History Indonesia” di Jakarta pada 2010 lalu, terpaksa harus berurusan dengan aparat.
“Alasannya waktu itu tak ada izin. Dan ada pertemuan presiden di Kota Tua. Kita hampir ditangkap. Akhirnya, kita cari titik (pertunjukan) lain,” kata dia.
Ia dan seorang kawannya pun terpaksa melanjutkan aksi pantomim “Nyusur History Indonesia” di dekat Kali Krukut.
Selain di “Nyusur History Indonesia” kendala juga pernah Wanggi alami ketika Hari Perayaan Tubuh di Bandung pada Maret 2016 lalu. Ia bermaksud melakukan pantomim di enam titik, dari monumen nol kilometer Bandung hingga bekas bioskop Palaguna. Namun rencana itu tidak berjalan mulus. Ia ditangkap. Alasannya lagi-lagi karena tak mengantongi izin keramaian. Ia terhenti di titik kelima, yakni di Tugu Asia Afrika.
Ia kemudian diintrogasi perihal pertunjukannya itu selama 60 menit.Ia menerangkan, sebenarnya pertunjukan yang bertajuk “Napak Nafas” itu ingin mengangkat sejarah Kota Bandung. Pascainsiden itu, selama hampir seminggu, Wanggi masih merasakan tekanan. Bila ditengok ke belakang, rasanya masih banyak perlawanan yang Wanggi sampaikan lewat pantomim.
Pada 28 Februari 2012 lalu misalnya, ketika Hari Gizi Nasional, Wanggi pernah melakukan aksi pantomim di depan Gedung Sate dan pinggir Lapangan Gasibu, Bandung. Aksi yang bertajuk “Sehat Milik Siapa” itu kabarnya membuat panas beberapa pejabat yang merasa tersindir.
Dalam pantomim itu, Wanggi menampilkan mimik wajah yang sedih, membawa susu dalam plastik di tangan kanannya. Lalu, ia bergerak duduk, berdiri, dan duduk kembali. Seolah mengekspresikan kepedihan anak yang kekurangan gizi, ia menyedot susu menggunakan selang berukuran kecil dengan bibir gemetar. Di tangan kiri, ia memperlihatkan foto anak yang mendertia gizi buruk.
Bagi Wanggi, pantomim adalah perlawanan. Ia percaya, bahasa tubuh adalah bahasa universal yang kuat dalam menyampaikan kritik dan aspirasi.
“Dalam gerakan-gerakannya, saya akan mengundang impresi, orang bisa merasakan. Ketika mereka melihat kesakitan saya, orang merasakan. Apalagi ketika saya berinteraksi dengan menyentuh, memegang. Itu energi.”
Selain aksi pantomim untuk memperingati hari-hari tertentu, Wanggi pun kini rutin menggelar aksi solidaritas Kamisan. Aksi Kamisan awalnya mulai muncul di Jakarta sejak 18 Januari 2007. Aksi ini merupakan aksi damai para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia—rutin digelar di depan Istana Merdeka, Jakarta, setiap hari Kamis sore. Wanggi, yang membaca koran soal Aksi Kamisan di Jakarta, tergerak untuk ikut juga mengadakannya di Bandung.
Menurutnya, sudah lebih dari 300 kali Aksi Kamisan, tapi tak ada respons dari negara. Ia kemudian menilai bahwa butuh lebih banyak suara yang mendukung visi dari Aksi Kamisan. Alhasil,Wanggi mencetuskan Aksi Kamisan Bandung, yang berlokasi di depan Gedung Sate. Ia pun menggandeng komunitas-komunitas, LSM, dan aktivis kampus.Aksi Kamisan Bandung pertama kali digelar pada 18 Juli 2013.
Wanggi percaya, diam adalah teriakan paling keras
Tak hanya bersuara untuk sesama manusia, Wanggi juga pernah bersuara mewakili alam. Mengusung pesan agar setiap orang menjaga alam dan lingkungan, pada Juli 2015, Wanggi melakukan pantomim di alam terbuka.Tidak tanggung-tanggung, aksi pantomim ia lakukan di puncak tertinggi pulau Jawa, Gunung Semeru. Di sini, ia mengaku melakukan perjalanan spiritual.
“Saya akan sujud pada bumi, Saya akan sembah pada semesta. Pantomim saya adalah pantomim spiritual. Itu pesan untuk menjaga alam,” katanya.
Hebatnya, aksi pantomim di puncak gunung belum pernah dilakukan seniman pantomim mana pun di dunia. Ke depan, ia juga bercita-cita melakukan pantomim di dalam air.
Perjalanan Wanggi tentu saja bukan hal yang mudah. Bukan pula hal yang murah. Namun, Wanggi tak pernah memikirkan uang dari pertunjukan pantomimnya. Kalau pun pertunjukan bersifat komersil, ia selalu menyelipkan pesan-pesan sosial dan kemanusiaan di dalamnya. 
Untuk mengartikulasikan perlawanannya pun Wanggi tidak sembarangan. Wanggi selalu meriset terlebih dahulu. Entah itu melalui literatur-literatur, maupun llangsung dari korban ketidakadilan yang ada di lingkungannya.
“Datang ke Aksi Kamisan Jakarta, datang ke penggusuran. Mellihat. Saya pantau. Riset tersendiri.”
Bagi Wanggi, bersuara dalam bisu sangat efektif. Ia percaya, diam adalah teriakan paling keras. Saat melakukan aksi diam, lalu berdialog dengan mimik dan gerak, ia percaya itu adalah teriakannya. Hal itu menjadi gambaran orang-orang yang sedang memperjuangkan haknya. Menurutnya, pantomim itu bebas ditafsirkan penikmatnya. Bebas diimajinasikan. Saat ia berpantomim dengan gerak dan mimik gembira, itu adalah kegembiraan. Saat tersenyum tapi pelik, itu adalah kesakitan.
“Dan, pantomim adalah salah satu bentuk bahasa perdamaian dan bahasa untuk semua,” kata Wanggi.
Article Media : https://ruang.gramedia.com/read/1474271532-wanggi-hoed-melawan-dalam-sunyi

Wanggi Hoed dan Kilometer Perjuangan HAM

Wanggi Hoed dan Kilometer Perjuangan HAM






BANDUNG, KabarKampus – Wanggi Hoediyatno Boediadjo atau yang dikenal dengan Wanggi Hoed, seniman pantomim Bandung melakukan aksi pantomim bertajuk “Kilometer Perjuangan” di Kafe KaKa, Bandung, Sabtu, (10/12/2016). Aksi ini yang digelar dalam rangka memperingati Hari HAM Internasional yang diperingati setiap tanggal 10 Desember.
Selama setengah jam, pria lulusan Institut Seni Budaya Indonesia Bandung ini ingin menceritakan betapa kompleksnya perjuangan penegakan HAM di Indonesia. Seperti banyaknya para pejuang HAM yang justru mendapat intimidasi dan kriminalisasi.
Untuk mengungkapkan kisah tersebut Wanggi menunjukkannya dengan gerakan tangan yang seolah-olah terikat. Baik terikat dalam posisi di atas, di bawah, atau di tengah. Kemudian tangan yang terikat tersebut bergerak, mulai dari atas meja, kepala pengunjung, hingga tempat sampah. Hingga akhirnya, Wanggi mampu melepaskan ikatan tangan tersebut dengan bantuan salah satu penonton pertunjukkan.
Menurut Wanggi, kasus HAM itu kompleks. Dia bisa ada di meja, kepala manusia, pohon, bahkan kepala manusia. Namun banyak orang tidak menyadari banyak kasus HAM yang ada di depan mata.

Article Media : http://kabarkampus.com/2016/12/wanggi-hoed-dan-kilometer-perjuangan-ham/

Wanggi Hoed: Pantomim adalah Bahasa Perdamaian

Wanggi Hoed: Pantomime adalah Bahasa Perdamaian
pada Jan 10, 2017 | 18:02 WIB



Wanggi Hoed, seniman pantomim dan aktifis sosial. Foto : Agus Bebeng (antarafoto.com)



BANDUNG, AYOBANDUNG.COM  -- Tanpa dialog, lelaki berias rupa putih itu diam dengan pakaian dan payung hitam yang menjaganya dari panas matahari. Aksi tersebut dilakukannya tiap Kamis di Gedung Sate Bandung sebagai bentuk kritik atas penegakan HAM negeri ini. Menurutnya, diam adalah pernyataan paling lantang dari semua teriakan yang tidak pernah di dengar.
Ia bernama Wanggi Hoed, seniman pantomim dan aktifis sosial kelahiran Cirebon 28 tahun silam yang selalu meneriakan isu-isu kemanusiaan, lingkungan, spiritual, cinta, dan perdamaian dalam setiap karyanya. 
"Jika saya marah maka pantomim adalah medianya. Saya melukis dalam bahasa tubuh, kosong lalu mengimajinasikan dalam bentuk nyata tanpa dialog karena pantomim adalah pekerjaan sikap," ujar Wanggi Hoed pada AyoBandung, Senin Malam (9/1/2017).
Lelaki lulusan ISBI Bandung tahun 2012 ini mempelajari pantomim secara otodidak melalui literatur-literatur yang dibacanya karena tidak adanya bidang keilmuan khusus yang bicara perihal pantomim di Indonesia.
Wanggi memilih jalanan sebagai panggungnya, dengan alasan agar seni pantomim dapat masuk ke segala ruang bahkan ke lini paling bawah.
"Jika kesenian hanya ada dalam ruang-ruang galeri yang eksklusif, maka apalah arti kesenian bagi masyarakat," ujar lelaki penyuka warna hitam, putih dan merah tersebut. 
Selama 10 tahun berkarya, tidak jarang teror datang berkat pesan dalam karya Wanggi yang kritis dan 'nakal' meneriaki penguasa negeri. Seperti saat pergelaran jalanan di suatu malam, Wanggi dihentikan pihak kepolisian setahun silam karena dianggap tanpa izin.
"Kembali kebebasan berekspresi dibungkam di kota kreatif yang ramah HAM. Intimidasi sudah jadi makanan sehari-hari saya karena dianggap seni tidak jelas. Lalu teror datang yang berarti perlu istirahat karena saya memikirkan keluarga di kampung," ujar Wanggi.
Pantomim adalah akar dari seni ilmu peran yang telah hadir sejak jaman Mesir Kuno, untuk itu diperlukan riset penokohan mendalam yang membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan. Maka tak heran jika Wanggi masuk terlalu dalam pada perannya hingga pernah saat memerankan sebagai seseorang yang terkena busung lapar membuatnya betul-betul menangis tanpa konsep.
"Saya getir lalu menangis. Bayangkan itu terjadi pada adik atau orang yang saya cintai. Ini adalah pengalaman empiris," ujar Wanggi.
Adapun aksi yang membuatnya begitu dikenal adalah dua karya ketika Wanggi memakan tanah dan melakukan performance art di atas puncak Gunung Mahameru. "Dalam suhu -4'C saya merasakan kehangatan karena restu energi alam. Soal aksi lingkungan para penguasa terus bicara soal tanah dan tanah, sederhana, apakah pernah merasakan tanah dalam mulut anda?" kata Wanggi.
Wanggi merupakan seniman pantomim perwakilan Indonesia untuk World Mime Organisation yang beralamat di Belgrade, Serbia yang aktif menginisiasi penyelenggaraan peringatan tahunan Hari Pantomim Sedunia. 
Tidak jarang Wanggi melakukan kolaborasi dengan seniman dari mancanegara, seperti Sirkus Teater Kontemporer dari Perancis dan Syafiq Effendi Faliq, seorang aktor pantomim dari Negeri Jiran, Malaysia. (Arfian Jamul Jawaami)
Editor: Andres Fatubun

Article News : http://ayobandung.com/read/20170110/60/14957/wanggi-hoed-pantomim-adalah-bahasa-perdamaian

Sabtu, 17 Juni 2017

Wanggi Hoediyanto, Pantomim Jalanan Sebagai Jembatan Kemanusiaan

Wanggi Hoediyanto, Pantomim Jalanan Sebagai Jembatan Kemanusiaan

by : MUTI SIAHAAN
Posted on Kamis, 30 Maret 2017

Mendengar kata pantomim, di benak kita terlintas pria berbedak putih tebal yang piawai memainkan ekspresi wajah dan tubuh. Penonton sudah terhibur melihatnya meski ia tak berucap sepatah kata pun. Namun bagi Wanggi Hoediyanto, pantomim lebih dari itu: “Pantomim adalah imajinasi yang diplementasikan dalam bentuk gerak atas kejadian yang terjadi saat ini.”
“Manusia sekarang selain butuh yang enak, juga butuh yang eneg. Nah, di pantomim ini kita kasih yang eneg. Mereka mungkin tidak akan mengerti, tapi kita tidak memaksakan mereka untuk mengerti. Karena di pantomim kita bermain imajinasi,” tambah Wanggi. 
Meski kuliah di Jurusan Teater STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia), Wanggi belajar pantomim secara otodidak karena di Indonesia belum ada jurusan ini secara khusus. Pria kelahiran 24 Mei 1988 ini lebih suka menggunakan jalanan sebagai panggung pantomimnya. Bagi Wanggi, pantomim tidak harus eksklusif, justru harus bisa merangkul publik dan dekat dengan masyarakat. Inilah ciri khas Wanggi hingga kini. Pertunjukan pantomim jalanan pertamanya digelar tahun 2004, berjudul Braga Aku Kembali. Ia juga sempat diamankan pada pada aksi pantomin jalanan pada perayaan Hari Tubuh Internasional 2016. Namun ia tidak kapok, menurutnya proses ditangkap menjadi nutrisi atau suplement tersendiri.

Komedi satir kehidupan
Wanggi semakin rutin melakukan aksi pantomim jalanan. Ia melakukan riset, membaca literatur sejarah, dan turun ke lapangan untuk menyuarakan keresahan atas kondisi sosial, ekonomi, dan politik di sekitarnya. Ia sering bekerja sama dengan lembaga nirlaba dan lembaga independen lain yang fokus pada isu-isu sejenis. “Saya ingin pemerintah dan masyarakat sadar akan keadaan sosial kita. Kemanusiaan kita, lingkungan kita yang semakin rusak akibat pembangunan dan urbanisasi.” 
Sejak tiga tahun lalu ia juga rutin melakukan Aksi Kamisan di depan Gedung Sate bersama beberapa seniman dan aktivis HAM, yaitu aksi protes terhadap pelanggaran HAM di Indonesia yang hingga saat ini belum terselesaikan dengan baik. Aksi ini terinspirasi dari Aksi Kamisan yang sudah dilakukan di Jakarta. 
Wanggi juga beberapa kali melakukan pantomim di panggung. Meski penampilannya tetap berpijak pada masalah-masalah sekitar, penampilannya tidak sefrontal di jalanan. Ia memilih menggunakan pendekatan komedi satir untuk menerjemahkan peristiwa sehari-sehari.

Memasyarakatkan Pantomim
Tantangan terbesar menyampaikan pesan sosial lewat pantomim adalah reaksi penonton. “Pantomim adalah seni tanpa kata. Semua yang ingin saya ungkapkan ditafsirkan dengan gerak tubuh. Setiap orang punya interprestasi sendiri atas apa yang mereka lihat. Semoga apa yang ingin saya interprestasikan diterima sama oleh orang lain,” ucap Wanggi. 
Upaya Wanggi untuk mengenalkan pantomim kepada masyarakat antara lain dengan merintis berbagai ruang belajar independen. Ia menggagas Mixi Imajimimetheatre Indonesia (Pantomime Indonesia), Nyusur History Indonesia (ruang seni perjalanan kolaborasi seni, sejarah, dan budaya), Komunis Kampus (Komunitas Sepeda Kampus), Indonesian Mime Artist Association, ASEAN Mime Society, dan aktif di Teater Cassanova Indonesia (Kelompok Teater Independent). 
Ia perintis dan inisiator Gerakan Kebudayaan Awak Inisiatif Arts Movement bersama para seniman muda Bandung yang hadir di ruang publik dan diberi nama Perayaan Tubuh atau Perayaan Hari Tubuh Internasional yang dirayakan setiap tahun di bulan Maret. Wanggi pun pernah berkolaborasi dengan Circus dari Prancis, Chabatz de’entrar, pada 2013 silam dengan melakukan tur ke delapan kota di Indonesia dan Timor Leste serta Vietnam.

Wanggi optimistis akan semakin banyak orang menggunakan pantomim sebagai medium perjuangan. Kalau dulu dia banyak fokus pada masalah sosial dan politik, kini Wanggi mulai fokus pada masalah kemanusiaan yang konteksnya lebih luas dan lebih mengena pada semua orang. “Ketika bicara soal kemanusiaan, kita bicara soal hal yang paling fundamental. Hak-hak asasi manusia. Sejak tahun lalu saya menggunakan pantomim sebagai bahasa perdamaian.” 
“Saya yakin pantomim bisa jadi cara untuk menyebarkan ide-ide perdamaian. Ini terlihat dari semangat teman-teman pantomim di berbagai daerah yang berinisiatif melakukan Aksi Kamisan. Ini merupakan pertanda bahkan pantomim sudah digunakan sebagai bahasa perdamaian,” pungkasnya.

Article news  : http://banggaberubah.kompasgramedia.com/Artikel/Wanggi-Hoediyanto-Pantomim-Jalanan-Sebagai-Jembatan-Kemanusiaan