Selasa, 30 Agustus 2011

Jadi Backpacker untuk Kampanyekan Budaya Indonesia


Harian Pagi “Tribun Jogja”, Kamis Pahing (28 Juli 2011)
_Jadi Backpacker untuk Kampanyekan Budaya Indonesia_
Pernah Diusir Polisi Saat Pentas

Cita-cita mulia tak selalu berjalan mulus, selalu saja ada aral melintang. Itulah yang dialami Wanggi Hoediyatno (23) dan Irwan Nu’man (26), dua orang backpacker yang mengusung misi untuk mengkampanyekan sejarah warisan budaya dan khazanah indonesia melalui pertunjukan seni.

Diawali pertengahan 2010, Wanggi dan Irwan bertekad untuk mengkampanyekan pelestarian seni atau save heritage. Ia berusaha melakukan penyelamatan warisan budaya Indonesia bukan hanya sekedar di bibir saja. Pekan ini, Yogyakarta, tepatnya Taman Budaya Yogyakarta (TBY) menjadi tempat persinggahan keempat setelah sebelumnya mereka pentas di tiga kota besar, meliputi Jakarta, Bandung dan Tangerang. “Yogyakarta merupakan tempat yang memiliki magnet kuat dalam konstelasi seni budaya yang masih ingin kami gali,” papar mahasiswa STSI Bandung ini. Dalam perjalanannya ke sejumlah kota di Indonesia, Wanggi mengaku pernah diusir dan terancam masuk bui ketika perjalanannya sampai di wilayah Kota Tua Fatahilah, Jakarta. Peristiwa itu terjadi pada 11 Juni 2011. Waktu itu dirinya bersama seniman, budayawan dan masyarakat setempat sedang terlibat dalam sebuah diskusi seni. Entah kenapa pihak kepolisian dari sektor Kedoya, Jakarta mengusirnya. Kabarnya tempat tersebut merupakan kawasan steril. “Kami sempat dibentak, mereka mengusir kami. Padahal saat itu saya sudah meminta ijin ke lingkungan setempat, tapi mereka tetap saja tidak percaya. Daripada memperbesar masalah, akhirnya kami mengikuti prosedur mereka saja,” papar remaja asal Cirebon ini.

Wanggi juga sempat menjadi korban pemerasan dan perampokan. Saat berdiskusi dengan orang-orang yang menyaksikan pentasnya, datanglah orang yang tak dikenal. Menyadari situasi yang kurang baik, para penonton pun akhirnya pergi satu per satu hingga tinggalah ia sendirian dan kemudian diperas. Pengalaman pahit tersebut, tak membuatnya putus asa. Ia tetap pada pendiriannya untuk melanjutkan misi Save Heritage . “Nyusur merupakan sebuah investasi bagi kami, ketika ruang-ruang publik yang seyogyanya menjadi konsumsi kecerdasan, ruang hiburan, ruang berbagi, tetapi saat ini difungsikan untuk hal-hal yang berbeda dengan isi kepala kita,” paparnya mantap. Ada harga yang harus mereka bayarkan untuk mewujudkan misinya itu. Tak hanya pikiran dan tenaga, namun mereka juga harus berusaha menghidupi dirinya sendiri selama dalam petualangan gerilya ke berbagai tempat. “Uangnya dari tabungan kami,tapi ada dana-dana cadangan dari teman dan orang tua kami.” Ungkapnya. Meski kerap kesulitan masalah keuangan, mereka dengan tegas tak ingin memanfaatkan pertunjukan tersebut untuk tujuan komersil atau istilahnya untuk mengamen.



Perjalanan yang sudah dimulai sejak 2010 itu bertujuan untuk bersilaturahmi, berbagi, mengenal satu sama lain, menjalin persaudaraan serta mengenang sejarah budaya serta seni Indonesia bahkan dunia. “Kalaupun ada yang memberi uang,saat itu juga kami sumbangkan kepada masyarakat yang lebih membutuhkan atau yang lebih menderita daripada kami,” tegasnya seraya menceritakan bahwa video pertunjukannya pernah disiarkan di TV kabel di Belgia dan diputar di 25 negara di Eropa. Nyusur History Indonesia merupakan program dari Mixi Imajimimetheatre Indonesia yang memberi ruang untuk kalangan seni dan non-seni. Mereka mengajak masyarakat Indonesia untuk bersilaturahmi lebih dekat, mengenal, mengenang, melestarikan dan menjaga serta mengkampanyekan sejarah warisan budaya dari Indonesia. Sejak 2010, Wanggi aktif latihan pantomime di halaman depan Gedung Asia Afrika Bandung dan Gedung Bata Putih di jalan Braga. Tempat itu merupakan panggung terbuka yang kerap ia gunakan untuk performing art. (Mona Kriesdinar)

Tribun Jogja :








Selamatkan heritage dengan pantomim


Harian Jogja, Kamis Pahing (28 Juli 2011)
Selamatkan heritage dengan pantomim

Apriliana Susanti
Wartawan Harian Jogja

Pantomim bagi seorang Wanggi Hoed bukan sekedar seni tanpa kata-kata, namn juga untuk mengkampanyekan sejarah warisan sejarah budaya Indonesia. Dalam program Backpacker Nyasar Nyusur History Indonesia, pria asal Bandung ini mampir di Jogja untuk berpantomim di beberapa ruang publik yang memiliki nilai sejarah. “Selamatkan heritage [warisan budaya] jangan hanya di bibir saja. Kami mencoba berbuat secara nyata untuk menyelamatkan heritage di Indonesia,” ungkapnya usai pertunjukan pantomimnya di depan area Taman Budaya Yogyakarta (TBY) Sabtu (23/7) lalu. Wanggi menuturkan, kesadaran masyarakat Indonesia dalam menjaga dan melestarikan warisan-warisan budaya masih rendah. Hal itu di buktikan dengan banyaknya bangunan-bangunan peninggalan masa lalu yang tak terawat bahkan banyak diantaranya yang di bongkar untuk di bangun gedung-gedung modern. “Selama perjalanan kami menyusuri heritage-heritage di berbagai kota di Indonesia, kami jumpai banyak peninggalan-peninggalan bersejarah yang tidak terawat,” ujarnya. Dalam setiap penampilannya, Wanggi Hoed selaludi temani oleh Irwan Nu’man yang meniup terompet. Mereka berdua tergabung dalam komunitas Mixi Imajimimetheatre Indonesia yang bermarkas di Bandung, Jawa Barat.

Pertunjukan jalanan
Pada kesempatan lain, Wanggi Hoed tidak hanya berpantomim untuk penyelamatan warisan budaya saja. Bersama beberapa mahasiswa Magister Manajemen Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja, mereka menggelar pertunjukan jalanan di Titik Nol Kilometer untuk menggalang dana bagi anak-anak yatim piatu pada Jumat (22/7). “Kami di ajak teman kami [mahasiswa ISI] untuk show di sana. Kebetulan juga acaranya dekat bangunan-bangunan peninggalan sejarah seperti kantor pos besar,” ujarnya. Dalam pertunjukan di kedua tempat itu, aksi Wanggi mendapat sambutan hangat penonton. Umumnya, penonton tertarik melihat pantomim yang jarang mereka lihat di ruang publik. Namun demikian, tidak semua pertunjukan mereka mendapat sambutan hangat. Mereka mengaku kerpakali di kejar-kejar oleh petugas kepolisian karena dianggap menggangu ketertiban umum. Bahkan mereka juga pernah dirampok seusai pentas di Bandung. “Waktu show di Jakarta, kami hampir diusir dan dimasukkan bui oleh polisi dan ketika di Bandung, kami kena perampokan,” ungkap Wanggi. Meskipun kerap menemui berbagai halangan, Wanggi dan Irwan Nu’man tidak menyerah untuk tetap menyuarakan penyelamatan dan pelestarian warisan-warisan budaya Indonesia. Rencananya, Mixi Imajimimetheatre Indonesia akan menyusuri peninggalan-peninggalan bersejarah di Kota Solo pada September mendatang. “Save heritage, semoga bukan hanya di bibir saja! Ini bukan hanya misi kami, tapi misi untuk Indonesia dan dunia,” tegasnya.






Harian Jogja :



Sabtu, 20 Agustus 2011

Nyasar Nyusur Ramadhan di Bandung Tempo Doeloe [Masjid Mungsolkanas, Masjid Cipaganti, Masjid Agung Bandung]

Perjalanan Tanggal 14 Agustus 2011 bersama LawangBuku

Masjid Mungsolkanas :


Mungkin tidak banyak warga Bandung yang mengenal  Masjid Mungsolkanas. Masjid itu memang tidak terletak di pinggir jalan. Untuk mencapainya, Anda harus ke Cihampelas, berdiri di seberang Rumah Sakit Advent atau di sebelah Sekolah Tinggi Bahasa Asing.
Dari tempat itu akan terlihat sebuah pelang: Masjid Mungsolkanas, Berdiri Sejak 1869.
Siapa yang akan menyangka jika masjid mungil di dalam Gang Winataatmaja itu ternyata salah satu masjid tertua di Kota Bandung? Sayangnya, tidak ada literatur sejarah resmi yang membahas sejarah mesjid itu.

Satu-satunya sumber yang bisa memberikan penjelasan tentang Masjid Mungsolkanas pada saat ini, adalah H. Rudi S. Ahmad. Dia adalah cucu H. Zakaria Danamihardja, orang pertama yang menjadi pengurus Masjid Mungsolkanas, pascarevolusi kemerdekaan.
Di tangan Rudi, tersimpan dengan baik catatan harian Zakaria Danamihardja, yang berisi kisah hidup dan silsilah keluarganya, termasuk riwayat Masjid Mungsolkanas, yang memang didirikan oleh leluhurnya pada 1869. Zakaria Danamihardja menulis catatan harian dan sejarah hidup leluhurnya pada tahun 1985, di usianya yang telah 80 tahun. Catatan itu ditujukan sebagai kenangan bagi anak-cucunya.
Menurut Zakaria, Masjid Mungsolkanas awalnya hanya berupa tajug yang sederhana. Masjid itu didirikan di atas lahan, yang diwakafkan oleh nenek Zakaria yang bernama Ibu Lantenas.
Lantenas merupakan perempuan kaya, janda dari R. Suradipura, Camat Lengkong, Sukabumi, yang wafat pada 1869. Tanah yang dimiliki oleh Lantenas, mulai dari Jalan Pelsiran sampai ke Gandok (Jl. Siliwangi). Termasuk di dalamnya, lahan untuk pemandian Cihampelas, dan pabrik daging, yang sekarang telah berubah menjadi pusat belanja Cihampelas Walk. Lantenas wafat pada tahun 1921 di usia 80 tahun.

Masjid itu diberi nama Mungsolkanas oleh Mama Aden alias R. Suradimadja alias Abdurohim, yang juga keluarga Lantenas. Mama Aden memberi nama Mungsolkanas, sebagai singkatan dari mangga urang solawat ka nabi SAW (mari kita solawat ke nabi SAW). Di zaman  Belanda, Mama Aden sering menulis di media massa Islam waktu itu, misalnya Al Muhtar. Di setiap artikelnya, Mama Aden selalu membubuhkan inisial TTM yang merupakan singkatan Tajug Tjihampelas Mungsolkanas.
Tajug Mungsolkanas pertama kali dipugar menjadi masjid pada tahun 1933, hampir bersamaan saat Wolf Schumaker memugar Masjid Kaum Cipaganti. Bedanya, Mungsolkanas dipugar atas biaya dan inisiatif Mama Aden, sedangkan Mesjid Kaum Cipaganti dibiayai oleh pemerintah kolonial Belanda.
Menurut catatan Zakaria, Masjid Cipaganti sendiri awalnya berupa tajug dan dibangun oleh Mohammad Tabri, yang juga leluhurnya. Saat Masjid Cipaganti dipugar oleh Schumaker, jamaah yang biasa shalat di Cipaganti untuk sementara pindah tempat ke Mungsolkanas.
Setelah Masjid Kaum Cipaganti selesai dibangun, Mama Aden yang saat itu menjadi imam dan khotib di Mungsolkanas, mengusulkan kepada Bupati Bandung, agar yang memimpin Masjid Cipaganti, adalah seorang ulama bernama Juanda.
Usulan itu didengar Bupati Bandung. Ulama Juanda pun dipanggil ke dan diuji di Masjid Kaum. Setelah dinyatakan lulus, Juanda menjadi imam Mesjid Kaum Cipaganti. Tetapi tak berapa lama, dia dipindahkan menjadi imam Masjid Ujungberung, sampai wafatnya di tahun 1935.
Mungsolkanas memiliki sejarah yang panjang, dan tentunya harus dikonfirmasi oleh sejarawan. Yang pasti masjid itu sampai saat ini tidak termasuk dalam daftar cagar budaya. Masjid itu terakhir dipugar pada tahun 2007-beritaPIKIRANRAKYAT-


Masjid Cipaganti :

Dari sejumlah masjid yang ada di Kota Bandung, Jawa Barat, Masjid Besar Cipaganti merupakan masjid tertua dan paling banyak menyimpan banyak sejarah.

Masjid ini dibangun pada 1933 diarsiteki oleh Kamal Wolf Schoemaker (1882-1949), arsitek berkebangsaan Belanda yang banyak meninggalkan heritage di Kota Bandung.

Dari model bangunannya, masjid bercat putih ini bentuknya klasik seperti Masjid Raya Kudus. Bentuk bangunan mencolok karena berdiri di antara deretan rumah mewah modern yang berjajar di sepanjang Jalan Cipaganti.

Warna putih masjid nyaris larut dengan banyaknya jendela kayu jati berprofil tulisan Arab berwarna coklat tua. Sedangkan pintu utama masjid berbentuk kubah dicat warna hijau tua, juga dihiasi profil kaligrafi dengan tinta emas.

Nilai sejarahnya yang kuat dan lahir dari seorang arsitek yang memiliki reputasi besar di era Perang Dunia II, membuat Masjid Cipaganti banyak dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara.

Seperti diketahui, karya arsitektur Schoemaker begitu banyak berdiri di Kota Bandung. Selain Masjid Cipaganti, juga ada Gereja Katedral Bandung dan Gedung Museum Konferensi Asia Afrika.

”Masjid ini sangat menarik wisatawan lokal dan asing. Mereka datang karena keunikan bangunannya,” tutur Sekertaris Dewan Keluarga Masjid (DKM) Cipaganti Nono Firdaus.

Mengenai wisatawan asing, menurut Nono, paling banyak berasal dari Belanda. Pasalnya, menjadi kebanggaan bahwa karya bangsa sendiri menjadi heritage di negeri lain. “Paling sering dari Belanda. Mereka di sini berfoto dan mencari sejarah,” terang Nono.

Bahkan, suatu hari keluarga Schoemaker pernah mengunjungi masjid legendaris itu. Mereka berjumlah lima orang. Dalam kunjungan selama dua jam itu, kerabat Schoemaker juga berfoto dan meminta profil atau sejarah masjid.

”Mereka bilang bagian dari keluarga Schoemaker, mungkin cicitnya. Mereka ke dalam masjid, kebetulan waktu itu kita lagi mengadakan pengajian,” tutur pria lulusan Pesantren Al Huda Singaparna, Tasikmalaya, ini.

Masjid Cipaganti sudah beberapa kali mengalami renovasi. Misalnya di bagian pintu utama masjid terdapat monumen peresmian yang berbunyi: Rehabilitasi dan Pengembangan Masjid Raya Cipaganti 2 Agustus 1979 - 31 Agus 1988 Diresmikan 28 Oktober 1988 oleh Wali Kota Bandung Ateng Wahyudi.

Menurut Nono, renovasi juga dilakukan pada bagian depan, lantai, langit-langit, profil jendela. Simbol sate juga diubah menjadi bulan sabit pada 2006. “Bangunan aslinya masih ada tapi tidak 100 persen,” jelasnya.

Bagian asli masjid berkapasitas 2.000 jemaah itu meliputi teras, terutama pintu dan gerbang berbentuk kubah yang terbuat dari tembok berhiaskan kaligrafi warna hijau. Bagian yang asli lainnya adalah lampu, empat tiang penyangga masjid dari kayu jati, sejumlah kaligrafi, dinding bagian dalam, dan pondasi.

Model masjid masih sama seperti dulu. Bangun tambahan meliputi sayap kanan dan kiri dengan meniru model asli masjid. Kini total luas masjid mencapai 50 x 15 meter. Sedangkan perubahan ada pada genting yang dulunya memakai ijuk kini menjadi kayu sirap. Bagian langit-langit dan dinding depan juga dilapisi keramik.

Sayangnya, sejarah masjid paling tua di Bandung ini baru sedikit yang bisa digali. Profil masjid disusun belakangan ini. Isinya masih belum utuh alias sepotong-sepotong. “Sejarahnya masih ada yang buntu, mungkin karena dulu terkendala teknologi jadi tidak diarsipkan,” terang Nono.

Penyusunan profil singkat itu ternyata tidak sederhana. DKM Masjid Cipaganti harus membentuk tim kecil untuk melakukan penelitian sejarah masjid. Tim ini berbekal dokumen tiga lembar berisi secuil sejarah masjid. Dokumen penting ini milik salah satu pengurus DKM bernama Garsadi.

Nono merupakan salah satu tim penyusun profil yang berusaha menggali sejarah dengan cara wawancara para tokoh atau sesepuh Cipaganti yang masih hidup. “Kita berhasil menemukan empat sesepuh. Kini empat sesepuh Cipaganti itu sudah pada meninggal,” ungkapnya.

Hasil penelusuran, dibukukanlah Profil Masjid Cipaganti pada 2005. “Baru sekira 65 persen yang tergali. Masih banyak yang belum digali,” ujarnya.

Isi tiga lembar dokumen itu menjelaskan latar belakang pendirian masjid. Masjid didirikan sejak zaman Belanda pada 1933 dengan arsitektur CP Wolf Schoemaker. Pembangunan masjid memakan waktu relatif singkat pada masa itu yakni sejak 7 Februari 1933 selesai 27 Januari 1934 atau hampir setahun.

Biaya pembangunan dan pembangunan bersumber dari kaum Bumi Putera (pribumi). Peletak batu pertama masjid adalah Asta Kanjeng Bupati Bandung Raden Tg Hasan Soemadipraja. Karena nilai sejarahnya itulah keberadaan Masjid Besar Cipaganti menjadi heritage yang harus dilindungi berdasar UU Cagar Budaya No 5/1992.

Menurut Nono, beberapa penggal sejarah masjid yang belum dimasukan ke dalam profil masjid, misalnya soal menara kecil yang bertengger di bagian atas pintu utama masjid. Di sana ada tangga yang menuju ke menara ukuran 2x2,5 meter itu.

”Mungkin menara itu untuk adzan. Jadi dulu kan belum ada Toa jadi orang naik ke atas menara supaya suara adzannya lantang. Soal tangga dan menara inilah yang belum tergali,” tuturnya.

Masjid Agung Bandung :

Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat yang dulu dikenal dengan Masjid Agung Bandung, selesai dibangun kembali pada 13 Januari 2006. Pembangunan itu termasuk dengan penataan ulang Alun-alun Bandung, pembangunan dua lantai basement dan taman kota sekaligus halaman masjid yang dapat dipergunakan untuk kegiatan seni budaya serta salat Idul Fitri dan Idul Adha. Secara resmi pembangunan fisik masjid, membutuhkan waktu : 829 hari atau 2 tahun 99 hari, sejak peletakan batu pertama 25 Februari 2001 sampai peresmian Masjid Raya Bandung 4 Juni 2003 yang diresmikan oleh Gubernur Jabar saat itu: H.R. Nuriana.
Masjid baru ini menggantikan Masjid Agung yang lama, yang bercorak khas Sunda.

Sabtu, 06 Agustus 2011

"Backpacker Nyasar Nyusur History Indonesia" Slideshow

"Backpacker Nyasar Nyusur History Indonesia" Slideshow: "TripAdvisor™ TripWow ★ 'Backpacker Nyasar Nyusur History Indonesia' Slideshow ★ to Tangerang (near Jakarta), Yogyakarta and Bandung. Stunning free travel slideshows on TripAdvisor"