Selasa, 05 Januari 2016

Seniman Ini Lakukan Pantomim di Gunung Semeru




TEMPO.CO, Malang: Seniman Bandung, Wanggi Hoediyatno Boediardjo menggelar pertunjukan pantomim di Kawasan Gunung Semeru, Jawa Timur. Setelah melakukan perjalanan panjang selama beberapa hari, puncak Gunung Semeru, Mahameru dipilih sebagai lokasi pertama untuk melakukan pertunjukan tersebut. Di puncak tertinggi pulau Jawa ini, Wanggi melakukan pertunjukan yang merupakan rangkaian 'Nyasar Nyusur Pantomime Gunung' dengan tajuk Pantomime Gunung Semeru.

Salah seorang pendaki asal Jerman, Sulamith Kastl menanggapi pertunjukan ini sebagai hal yang luar biasa. Ia mengatakan ini kali pertamanya melihat pertunjukan pantomime di puncak gunung.
Selang satu hari, bibir Danau Ranu Kumbolo menjadi lokasi ke dua Wanggi berpantomime. Pertunjukan kali ini diawali dengan ritual di depan Batu Prasasti Majapahit sebagai penghormatan kepada semesta di tempat tersebut.

Aksinya kali ini cukup menarik perhatian pendaki lainnya. Tak sedikit diantara mereka yang mengabadikan gambar Wanggi bersama keindahan Danau Ranu Kumbolo. Wanggi mengatakan aksinya ini bertujuan untuk mengingatkan para pendaki agar menjaga alam dan tetap lestari dan menjaga kebersihan dari sampah yang dibawa pendaki.

Menurut Wanggi, Pantomim di Gunung Semeru ini menjadi rekor bagi dirinya sendiri karena menurutnya belum ada seniman lain yang beraksi nekat seperti ini. Dengan gerakan-gerakan tersebut, ia menyuarakan lindungi semesta seperti halnya melindungi diri kita.

Jurnalis Video: Dicky Zulfikar Nawazaki
Editor/Narator: Ryan Maulana
Musik Ilustrasi : "Release And Relax full mix", JewelBeat


Website Tempo.co : http://video.tempo.co/read/2015/08/07/3473/seniman-ini-lakukan-pantomim-di-gunung-semeru 

Pantomime Pertama kali di Dunia di Puncak Mahameru, Gunung Semeru di ketinggian 3.676 mdpl






 "Buat saya pantomime bukan sekedar lucu-lucuan. Akan tetapi, jenis komedi seni ini menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri. Selama sembilan tahun saya berproses dan belajar seni ini, mempelajari, meriset, mengobservasi, menakar, mengukur, menjelajahi berbagai ruang-dimensi, menelusuri imaji, mengevaluasi, dan juga bersentuhan dengan semesta juga manusianya dan membuka kembali sejarah lampau seni ini. Ketika itu juga saya menetapkan suatu prinsip untuk mengendalikan suatu reaksi dan interaksi terhadap penontonnya. Pantomime punya ciri khas sendiri dari seni lainnya, ia memiliki tempo dan kecepatan gerak dan imajinasi tertentu untuk menemukan sisi komedi dan tragedi juga pesan yang disampaikannya. Dan pantomime gaya saya adalah sebuah do'a dalam gerak, tubuh dan imajinasi yang hempaskan pada alam semesta dan pesan persembahan untuk kesemestaan dengan identitas ikat di kepala sebagai simbol satu kesatuan yang saling kuat mengikat tali silaturahmi dan persaudaraan di seluruh dunia dan ini telah saya buktikan bahwa pantomime adalah bahasa perdamaian dan jembatan kemanusiaan juga kehidupan yang saling berbagi serta memberikan rasa kebahagian, kebebasan dan cinta untuk hidup menghidupi dalam menyusuri perjalanan nafas kehidupan manusia di dunia. Ahimsa _/\_ 

Pesan Semesta Dalam Tubuh Pantomime Spiritual

Seniman pantomime Wanggi Hoed sedang melakukan "Ritual Tubuh Sembah Semesta" ijin pada Pencipta Jagat Semesta Raya untuk mempersembahkan Karya Seni Pantomime kepada Sang Penguasa Alam Semesta, para Leluhur dan para Mahadewa, para Pendahulu, Soe Hoek Gie, para Pendaki dan seluruh manusia di belahan dunia yang dipentaskan di Puncak Mahameru, Gunung Semeru 3.676 mdpl. Jawa Timur.
Pertunjukan dimulai pada hari minggu, 26 Juli 2015, Pukul: 06.27 dengan kondisi angin kencang dan suhu di atas puncak 0-8 derajat celcius.


Pantomime Spiritual
Seniman pantomime Wanggi Hoed sedang melakukan "Ritual Tubuh Sembah Semesta" memohon ijin pada Pencipta Jagat Semesta Raya untuk mempersembahkan Karya Seni Pantomime kepada Sang Penguasa Alam Semesta, para Leluhur dan para Mahadewa, para Pendahulu, #SoeHoekGie, para Pendaki dan seluruh manusia di belahan dunia yang dipentaskan di Ranu Kumbolo, 2.400 mdpl. Jawa Timur.

Pertunjukan Pantomime pertamakali di Indonesia dan di Dunia, oleh seniman pantomime Indonesia asal Palimanan, Cirebon Wanggi Hoed yang mementaskan karya seni gerak tanpa kata-kata diatas Puncak Mahameru 3.676 mdpl dan Ranu Kumbolo di ketinggian 2.400 mdpl meter diatas permukaan air laut.

Pertunjukan Pantomime pertamakali di Indonesia dan Dunia, oleh seniman pantomime Indonesia asal Palimanan, Cirebon Wanggi Hoed yang mementaskan karya seni gerak tanpa kata-kata diatas Puncak Mahameru, di ketinggian 3.676 mdpl meter diatas permukaan air laut.

Wanggi Hoed, perintis Mixi Imajimimetheatre Indonesia dari Bandung, Jawa Barat adalah seniman pantomime Indonesia kelahiran Palimanan, Cirebon. Seniman pantomime pertama yang melakukan pertunjukan seni pantomime di Puncak Gunung Semeru, Mahameru. Pertamakalinya di dunia.

Pantomime di Puncak Mahameru, Gunung Semeru di ketinggian 3.676 mdpl

Pertunjukan Pantomime pertama kali di dunia dan di Indonesia yang di pentaskan oleh seniman pantomime Indonesia Wanggi Hoed di atas puncak Mahameru, Gunung semeru adalah gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa, dengan ketinggian 3.676 mdpl di atas permukaan air laut. Suhu di puncak Mahameru sangat dingin sekitar 0 - 10 derajat Celcius.

Ini adalah pertama kali saya mendaki gunung yang tertinggi dan akhirnya sampai menginjak puncak Mahameru kemudian saya melakukan pertunjukan pantomime di atas ketinggian 3.676 meter di permukaan laut, energi Gunung Semeru yang Mahadahsyat membuat tubuh dan imajinasi saya menggigil bebas lepas tanpa batas, ketika saya melakukan performance tiba-tiba saja dalam beberapa menit muncul kepulan asap yang biasa di sebut "Wedhus Gembel" karena adanya gas beracun, Gas beracun ini dikenal dengan sebutan "Wedhus Gembel" (Bahasa Jawa yang berarti "kambing
gimbal", yakni kambing yang berbulu seperti rambut gimbal) oleh penduduk setempat. Cuaca yang begitu ekstrim dan angin bertiup kencang di atas puncak Mahameru membuat tubuh saya terus bergerak, sebelum pertunjukan di mulai saya memulai ritual memohon ijin untuk melaksanakan pertunjukan pantomime spiritual dan yang saya rasakan adalah energi dari para leluhur, para pendaki pendahulu, soe hok gie dan para dewa penungggu mahameru menyaksikan pertunjukan pantomime yang baru pertama kali di pentaskan di puncak Mahameru, Puncak para Mahadewa. Akan selalu terkenang dan diingat dalam sejarah perjalanan kehidupan dan berkesenian saya di dunia seni pertunjukan Indonesia.


Pantomime Di Puncak Gunung
Perjalanan Spiritual Nyasar Nyusur Gunung
Nyusur History Indonesia
24-31 Juli 2015

Gunung Semeru adalah gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa, dengan puncaknya Mahameru, 3.676 mdpl meter dari permukaan laut.
Ranu Kumbolo dengan ketinggian 2.400 mdpl.
Kali Mati dengan ketinggian 2.700 mdpl.




Photograper Oleh :  Elvin Octa dan Eddik
 

Harapan Seniman Pantomim Ini Terhadap Deklarasi Hari Dongeng Nasional

Silaturahim - Tokoh



ALHIKMAHCO,– Deklarasi Hari Dongeng Nasional. yang dihelat Forum Dongeng Nasional (FDN), turut hadir Seniman Pantomim Indonesia, Wanggi Hoed. Di kesempatan tersebut, Wanggi mengapresiasi cum memberikan harapannya. Ia mengatakan, semoga deklarasi ini memberikan kemudahan dalam membudayakan nilai-nilai kebaikan kepada anak-anak.
“Dengan adanya deklarasi ini,  lebih mudah membudayakan nilai-nilai kebaikan dalam dongeng kepada anak,” kata Wanggi, Sabtu (28/11/2015).
“Dongeng dan tema-tema sosial yang biasa saya sampaikan dalam pantomim memiliki garis merah yang sama. Yaitu agar masyarakat lebih peka pada kebaikan, dan memiliki daya kritis pada keburukan,” lanjut Wanggi yang telah menekuni seni pantomim sejak 2004 lalu.
Wanggi juga mengkritisi polah orang tua yang gemar mencekoki anak dengan tayangan di televisi. Katanya, tayangan tersebut membuat anak-anak menjadi tidak peka dengan lingkungannya.
Dongeng, imbuh Wanggi, merupakan dengungan yang menggambarkan kehidupan. Dengannya, manusia tak lupa dengan masa lalu, hewan, tumbuhan, dan alam sekitar. Penanaman nilai dalam dongeng sejak dini, menurut Wanggi, dapat menjadi kebiasaan yang positif bagi anak.
Dalam kesempatan tersebut, Wanggi turut menghibur anak-anak dengan aksi pantomimnya.  ia kemudian berakting sebagai seorang kakek yang menanti kehadiran cucunya. “Cucunya ini lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah bersama temannya. Gantinya, kakek ini menggunakan boneka sebagai temannya,” ucap Wanggi. Kendati panas terik, aksi Wanggi ini disambut anak-anak dengan tepukan tangan yang meriah. (Aghniya/ed.nurull/Alhikmah)

Website : http://alhikmah.co/2015/11/30/harapan-seniman-pantomim-ini-terhadap-deklarasi-hari-dongeng-nasional/

Berbicara Lewat Diam Dengan Pantomim




1448784066090
Sok nya, kata siapa kalau diam itu nggak bisa bercerita. Buktinya ada pepatah bahasa Inggris “a photo means thousands words” yang artinya satu foto punya seribu kata. Nah begitu pula dengan pantomim yang diam namun punya seribu bahasa. Kayak aku yang pinter berbahasa Inggris. Hari Minggu (29/11) kemaren, aku diundang untuk dateng ke workshop yang dihelat di S.14, bersama Mixi Imajimimetheatre, salah satu komunitas pantomim yang udah berdiri sejak delapan tahun lalu. Euy cangkeul oge nya.
Ngobrol santai dulu sebelum mulai ber-pantomim ria
Ngobrol santai dulu sebelum mulai ber-pantomim ria
Siang itu, bersama mas Wanggi kita diajarin bagaimana cara mengolah tubuh ala pantomim, menciptakan karakter, fotografi, bahkan sampai make-up! Eits, make-up ala pantomim tentunya, nu item putih tea maksudnya. Workshop dimulai dengan lari-lari sepanjang Jalan Sosiologi, “Buat supaya lemes badanya, pantomim kan juga butuh kelenturan. Udah kayak olah raga!” kata mas Wanggi. Ternyata workshop kali ini didominasi sama anak remaja. Duh, jadi berasa kolot ah. Sedih. Tapi seneng ketang, tandanya bibit-bibit muda banyak yang tertarik dengan pantomim ini. Gelaran dari Mixi Imajimimetheatre sendiri diselenggarakan untuk ngerayain ulang tahunnya yang ke-8. Kalau anak SD mah masih badung lah.
Salah satu properti yang dipamerkan
Salah satu properti yang dipamerkan
Nah selain workshop, di S.14 juga mamerin jejak pantomim di Tanah Air. Mulai dari properti, kamera, artikel, waah banyak deh. Setelah melihat pameran, kayak ada perasaan bahwa pantomim tuh beneran talk less do more. Bercerita lewat diam. Eugh, tah. Jero. Selain itu ada juga screening film, akustikan, dan repertoire pantomime. Bagus-bagus dan menarik kisahnya! Buat kalian yang pengen dateng, nih, sayang banget pamerannya udah tutup dari tanggal 29 Desember kemaren. Hiy, salah siapa atuh sok nggak dateng. Rugi!

Wensite : http://roi-radio.com/berbicara-lewat-diam-dengan-pantomim/

Seniman Pantomim Turut Beraksi Galang Dana Untuk Korban Konflik Lahan di Lampung


BandungNewsPhoto.com | Senin, 9 November 2015 09:01 WIB
BANDUNG - Seniman pantomim, Wanggi Hoed menyihir penonton yang menghadiri kegiatan amal gerakan #JanganTutupSekolahKami #WeSaveMoroMoro di Rumah Panas Dalam, Jalan Ambon Nomor, Kota Bandung, Minggu (8/11/2015). Sekitar 400 anak-anak usia SD dan SMP terancam putus sekolah akibat dampak dari konflik lahan antara warga dan perusahaan di register 45, Dusun Moro-Moro, Kabupaten Mesuji, Lampung. Gerakan ini diinisasi oleh Yayasan Rumah Bintang, yang memang fokus terhadap pendidikan anak-anak. Dalam kegiatan ini juga dihadiri oleh alumnus SD Moro Dewe, Feri Rico Andreas yang memberikan testimoni. Selain itu juga ada talkshow interaktif soal gerakan #JanganTutupSekolahKami #WeSaveMoromoro oleh narasumber Wijatnika (Inisator Gerakan), perwakilan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum Bandung. Para seniman dan musisi lokal Bandung juga ikut berpartisipasi dalam acara ini. Selain itu juga ada aksi penggalangan dana untuk gerakan amal ini. "Sampai saat sekarang ini, baru terkumpul sekitar Rp8 juta", ungkap Dian perwakilan dari Yayasan Rumah Bintang. Sebuah mobil pick up menjadi target dari penggalangan dana ini, mengingat susah dan jauhnya akses sekolah anak-anak disana. "Target kita, dengan penggalangan dana ini bisa membeli mobil pick up, untuk sarana transportasi anak-anak disana" tambah Dian. BNP/Job UPI/Gema Primanda Ramadhan.

Website : http://www.bandungnewsphoto.com/2015-11-09/seniman-pantomim-turut-beraksi-galang-dana-untuk-korban-konflik-lahan-di-lampung 

Nyusur History Indonesia, Ingatkan penghuni (Publik) yang lupa ruang (Publik)


Oleh : Wanggi Hoed


Kehidupan dalam ruang publik seperti sebuah pertemuan bebas yang penuh pengalaman dari publiknya sendiri, Ia sejenak melepas lelah, mengatur nafas lalu melanjutkan perbincangan kembali hingga persaudaraan kerap terjalin didalamnya.” - wanggi hoed -


Mendengar kata Nyusur History Indonesia, kita akan diingatkan kembali pada bagian per-kalimat bila kita ambil per-kata dan disana memiliki filosofi tersendiri, seperti Nyusur; seperti sebuah penyusuran pada tempat/ruang tertentu, History; dalam bahasa Indonesia yang berarti sejarah, suatu ilmu kesejarahan dalam hal ini edukasi ataupun pengetahuan, dan Indonesia; sebuah negara yang akan keanekaragaman adat dan sumber daya alam serta warisan budaya yang masih terjaga dibeberapa pulau dan nusantara di tanah air kita yang berkebhinekaan tunggal ika ini, dari situlah mereka menamakan dirinya dengan Nyusur History Indonesia yang mencoba mengingatkan dan mengajak masyarakat Indonesia (Nusantara) untuk mengenang dan melestarikan beberapa warisan budaya yang masih tersisa dengan membuat konsep yang membuka ruang seni silaturahmi di ruang publik, melalui pendekatan seni pertunjukan jalanan (pantomime, musik, performance art, tari, sastra, media rekam, rupa/lukis) dalam satu ruang bersama dan bukan sekedar menciptakan perisitwa melainkan menghidupkan ruang yang telah hilang dari publiknya, mereka menjadi ruang yang tersebut meraung dan bernyawa juga memberikan pesan melalui bentuk seni pertunjukan jalanan, yang dipresentasikan oleh masing-masing senimannya.
Mungkin ini bisa disebut sebagai Project Art Intercultural yang melintasi berbagai ilmu disiplin seni/non seni serta lintas budaya juga pengalaman senimannya dan selain berbagi dan mempresentasikan sebuah karya dalam satu ruang, dimana Nyusur History Indonesia memilih ruang pada dimensi ruang publik sebagai panggung/arena pentas untuk menampilkan karya mereka kepada masyarakat luas, mereka juga tak jarang sebagai fasilitator diruang yang belum pernah terjamah. Berawal dari sekedar meluangkan waktu yang bila tak digunakan akan menjadi sia-sia dan tak berguna. Lalu mencoba membuka-buka beberapa media cetak dan online serta majalah-majalah juga artikel yang telah kadaluarsa juga berita terkini dan semuanya tak didapatkan mengenai persoalan sebuah ruang yang menjadi kebutuhan publik, entah itu taman ataupun tempat berkumpulnya masyarakat dalam satu ruang untuk bertemu dan bersilaturahmi
dan bercengkrama dengan bahagia dan bebas di ruang terbuka.
Nyusur History Indonesia yang merupakan program/project karya dari Mixi Imajimimetheatre Indonesia yang memberi serta berbagi ruang untuk masyarakat dari kalangan seni dan non seni, Nyusur History Indonesia adalah komunitas independent yang mengajak lapisan masyarakat Indonesia untuk bersilaturahmi lebih dekat, mengenal, mengenang, melestarikan dan menjaga serta menyuarakan juga mengkampanyekan sejarah warisan budaya (seni, sejarah serta budaya) dari khazanah Indonesia dan dunia, dengan cara dan ciri individunya dalam proses berkarya pada ruang publik. Adapun bentuk nyata dari Nyusur History Indonesia adalah membuat ruang seni silaturahmi sejarah budaya, yang dimana sajian wisata seni pertunjukan dan sejarah budaya (ada pertunjukan pantomime, musik, teater, tari, rupa, media rekam) dari tradisi hingga kontemporer-an, mereka juga menggali kembali nilai-nilai history yang
dahulu pernah ada dengan menyusuri beberapa tempat-tempat yang memiliki nilai yang bersejarah dengan adanya kemasan seni pertunjukan dengan konsep bebas tapi sopan dan tak ada yang bayar tetapi kebahagian hadir ditengah-tengah aktivitas mereka.
Nyusur History Indonesia melakukan perjalanan penyusuran tersebut dengan cara Backpacker yang mereka sebut Backpacker Nyasar Nyusur History Indonesia, dimana menciptakan ruang publik bertemunya lapisan masyarakat seni dan non seni, dalam hal ini mereka juga bukan sekedar mengunjungi tempat bersejarah melainkan juga mereka menggelar seni pertunjukan di halaman (ruang publik) tempat bersejarah tersebut, bukan hanya menampilkan seni pertunjukan dan mengunjungi tempat yang memiliki sejarah saja, tapi juga mereka bersilaturahmi dan berbagi serta saling tukar informasi, menjalin komunikasi dan tali silaturahmi dan menjadikan yang biasa saja menjadi ruang hidup dari para manusia dan penghuninya. Nyusur History Indonesia juga melakukan kampanye universal yang mereka serukan : “Save Our Heritage, Semoga Bukan Hanya Di Bibir Saja” disinilah misi mereka guna sebuah penyelamatan,
mempertahankan dan melestarikan beberapa warisan budaya (world heritage) serta warisan seni, sejarah budaya yang masih ada hingga kini.
Sudah 10 Kota di beberapa titik ruang publik di Indonesia yang telah mereka singgahi dan melakukan perjalanan ala backpacker ke titik situs dan tempat bersejarah juga ruang seni dan ruang urban sebagai titik kehidupan masyarakat kini dan kesemuanya dipentaskan dengan seni pantomime yang di inisiatori oleh Aktor Pantomime Wanggi Hoediyatno, kota yang disinggahi tersebut antara lain: Bandung (Gedung Merdeka, Jalan Braga, Gedung De Vries, Gedung Sate, Alun-Alun Bandung, Depan Mall Bandung Indah Plaza, Taman DAGO, Terminal Cicaheum), Jakarta (Kota Tua Fatahillah, Taman Ismail Marzuki, Galeri Cipta, Museum Nasional, Monumen Nasional), Tangerang (Festival Sungai Cisadane, Alun-Alun Tangerang), Solo (Keraton Surakarta, ISI Solo, Jalan Slamet Riyadi, Pasar Tradisional), Yogyakarta (Titik Nol Kilometer, Malioboro, Keraton, Museum Kepresidenan, Pantai Parang Kusumo “Gumuk Pasir”, ArtJog 2012, Ramayana Theatre), Cirebon (Halaman Balaikota Cirebon, Alun-Alun Kejaksan, Jalan KS Tubun “Piknik Project Studio”), Indramayu (Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah), Bali (Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Batu Monumen Bom Bali, La Pau, Gedung Kesenian Bali, Svara Semesta “Ayu Laksmi”), Tasikmalaya (Pasar Tradisional, Gedung Kesenian Dadaha), Sukabumi (Pantai Ujung Genteng, Pasar Tradisional).
Muncul ide untuk melakukan perjalanan itu sendiri pada tahun 2009, yang awalnya berasal dari pola latihan pantomime seorang Wanggi di beberapa titik ruang publik di Bandung, dari situlah Wanggi mengajak Irwan Nu’man (pemain trumpet) mencoba untuk melakukan perjalanan ala backpacker yang hingga terrealisasikan dengan petualangan membawa misi pengingatan dan penyelamatan serta pelesatarian bangunan tua (cagar budaya) melalui media seni pantomime (pertunjukan) yang tidak pernah dilakukan oleh seniman Indonesia dengan konsep backpacker (low cost) dan mereka mengangkat juga isu-isu publik yang mereka kunjungi saat diperjalanan. Mereka memiliki prinsip berkarya bahwa ketika melakukan performance bila ada dan tidak ada pentonton akan terus berjalan, karena mereka tidak memikirkan berapa banyaknya penonton/publik yang hadir di ruang tersebut, karena alam dan ruang
tersebutlah yang akan menciptakan ruang juga peristiwa yang dimainkan oleh senimannya pada saat itu. Selama melakukan perjalanan tersebut mereka juga tak jarang mendapat perlakukan yang tidak adil, diskriminatif dan semena-mena di beberapa titik ruang publik oleh aparat dan pihak keamanan serta oknum tertentu, dan pernah pula menjadi korban tindak kekerasan dan kriminalitas di ruang publik, tetapi mereka (Nyusur History Indonesia) terus melakukan perjalanan, terus menciptakan karya, terus berbagi pengalaman yang mereka temui dalam tiap perjalanannya, terus melanjutkan untuk menyusuri ruang-ruang publik yang harus di beri nafas agar ada sebuah aktivitas kreatif dari publik luas secara intens, selain dari itu pada perjalanan Nyusur History Indonesia memiliki pengalaman yang berkesan juga sangat bangga adalah ketika Wanggi melakukan pertunjukan pantomime di depan Gedung Merdeka dan sempat diliput oleh TV Kabel dari Belgia dan ternyata di siarkan di 25 negara di eropa, dan disinilah dunia kesenian mendapat tempatnya sebagai seni perubahan melalui media elektronik yang Wanggi sendiri tak menyangkanya bahwa seni pertunjukan di jalanan (street performing art) dengan pantomime yang di tampilkan oleh Wanggi di ruang publik menjadi tempat pengingatan agar publiknya tidak lupa pada ruangnya sendiri dan publiknya bebas untuk berekpres, beraktivitas memanfaatkan ruang publik dimanapun dengan cara serta ciri dan kreativitasnya, Mengutip perkataan Mahatma Gandhi : “Kebebasan tidak pernah dapat ditukarkan dengan harga berapapun, Itu merupakan nafas kehidupan. Apa yang tidak akan dibayar seseorang untuk tetap hidup?”
Bandung, 9 April 2014

Wanggi Hoediyatno, Seniman Pantomime.
Lahir di Palimanan – Cirebon, Kini Tinggal di Bandung.
Penggagas Mixi Imajimimetheatre Indonesia, Nyusur History Indonesia, Komunis Kampus, Indonesian Mime Artist Association, Aksi Kamisan Bandung dan tergabung di Teater Cassanova, Paguyuban Sepedah Baheula & World Mime Organisation.
Ia juga pernah berkolaborasi dengan Syafiq Effendi Faliq, Aktor Pantomime dari The Qum Actor (Malaysia) dan pada 2013 ia juga telah sukses berkolaborasi bersama Kelompok Sirkus Teater Chabatz De’Entrar dari Perancis dan melakukan pentas sirkus tour Indonesia, Timor Leste dan Vietnam. Wanggi juga telah berpantomime selama 12 Jam Non-Stop di Indonesian Dance Film Festival dan 6 Jam Non-Stop di Situs Penjara Bung Karno. Melakukan Workshop Pantomime dan Therapy Tubuh di beberapa kota, dan juga bergandengan bersama Kontras menyuarakan isu anti-kekerasan dan HAM juga bersama Greenpeace menyuarakan isu lingkungan. Kini Ia sedang mempersiapkan pentas pantomime pada karya selanjutnya: “Nostalgia Imaji” yang akan di pentaskan keliling pada tahun 2014. Selain itu Ia juga sedang mendalami yoga dan mendisiplinkan tubuh sebagai media therapy untuk masyarakat.

Wanggi, Lewat Pantomim Bisa Keliling Dunia

 

WANGGI Hoediyatno, seniman pantomim yang lahir di Palimanan, Cirebon, 26 tahun silam. Selain kecintaannya terhadap seni pantomime, ia juga menyukai travelling. Dua hal inilah yang kemudian mengantarkan Wanggi berkeliling dunia.
Dengan pantomim itu pulalah, ia berkesampatan menunjukkan pada dunia, bahwa pantomim di Indonesia itu ada, berbeda, dan berlipat ganda. Wanggi sering berkolaborasi dengan seniman-seniman lokal, nasional hingga mancanegara.
Ia pernah berkolaborasi dengan Circus dari Prancis Chabatz de’entrar pada 2013 silam. Ia juga sempat melakukan  tour ke 8 kota di Indonesia,  dan juga menyambangi Timor Leste dan Vietnam.
Selain melakukan kolaborasi dengan seniman mancanegara, Wanggi juga  berkesempatan menampilkan karya seninya di hadapan Mantan Ketua MPR RI Taufik Kiemas, Sudjiwo Tedjo, dan “Lady Rocker Indonesia” Ayu Laksmi.
Wanggi memang sangat kental dengan karakter idealismenya. Ia mempunyai sikap terhadap apa pun, termasuk terhadap dirinya, dan keadaan sosial. Ia mulai khawatir dengan keadaan masyarakat Indonesia yang semakin cenderung apatis, diam terhadap ketidakbiasaan dalam masyarakat.
Saya khawatir dengan keadaan masyarakat yang apatis, yang diam terhadap pelanggaran dalam masyarakat. Dengan pantomim, saya berusaha bersuara, lewat gerak yang diberi makna, biar masyarakat tau, dan tidak apatis lagi,”.ujar pria berkumis ini.
Wanggi peduli terhadap keadaan sosial. Ia selalu meriset berbagai hal pelanggaran sosial, dan ia coba menyerap kegelisahan, ketakutan, ketidakberesan yang ada pada kasus tersebut. Lalu, ia tafsirkan pada gerakan-gerakan tubuh, sehingga muncullah gerakan pantomim yang selalu ia tampilkan setiap Kamis. Acara ini diberi nama “Kamisan”.

Tak Akan Pernah Berhenti
Aksi Kamisan itu merupakan aksi diam dengan berbagai tuntutan penyelesaian terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia, kasus Munir, wartawan Udin, Marsinah dan banyak lagi.
Kegiatan ini dilakukan setiap Kamis di depan Gedung dinas Gubernur Jawa Barat atau sering disebut Gedung Sate. “Saya tidak akan pernah berhenti melakukan aksi hingga pengadilan HAM dibentuk. Saya berharap pemerintahan baru merealisasikannya, tandas Wanggi.
Pemikiran Wanggi terhadap seni dan isu sosial sangat kuat, tidak pernah ada batasan pada dirinya untuk mengekspresikan energi positif terhadap kecintaannya itu. Walaupun teror di mana-mana, ia merasa suara keadilan sosial harus terus disuarakan. Keinginan sederhana inilah yang membuat ia kuat dan terus berkarya. ***
[] Agvi Firdaus, Anthea Novita, Dea Andriyawan, Elma Salma Zakiah | Prodi Jurnalistik UIN Bandung

Website : http://bandungoke.com/view.php?id=20150103104616 

Wanggi Hoediyatno: Pantomim, Bukan Sekadar Seni

Laporan Khas

WANGGI Hoediyatno, seniman sekaligus aktivis sosial. Dia berkarya, sekaligus menyuarakan kritik sosial baik terhadap pemerintah maupun masyarakat, melalui seni pantomim yang digelutinya.
Lebih dari sembilan tahun, Wanggi menyuarakan berbagai isu sosial dengan karyanya. Ini sebuah bentuk kegelisahannya terhadap kondisi masyarakat, dan pemerintahan di Indonesia.
Wanggi lahir di palimanan Cirebon, Jawa Barat, 26 tahun silam, Ia berasal dari keluarga sederhana, yaitu pasangan Rudi Budiarjo dan Leli Sulaeli.
Rudi Buadiarjo, pensiunan BUMN, dan Lalei merupakan Ibu Rumah Tangga. Wanggi mulai menemukan kelebihannya sewaktu ia masih kecil. Ia menyukai seni menggambar, seni musik hingga teater. Sampai akhirnya, ia menemukan dirinya pada seni pantomim yang hingga saat ini ia geluti dan cintai.
Wanggi, lulusan strata satu STSI Bandung dengan mengambil minat penyutradaraan pada tahun 2012. Kemudian ia bergabung pada kelompok teater Independent Cassanova, yang merupakan gerbang tempat kemampuan berteater dia terasah.

Otodidak
Kemudian ia belajar pantomim secara otodidak dan akhirnya mengantarkan dia pada minat dan kecintaan terhadap seni yang sesungguhnya. Idealisme dan sikapnya terhadap seni mendapatkan perhatian lebih dari musisi lain, dan itu merupakan hal yang dimiliki Wanggi sebagai seorang seniman.

Kiprah Wanggi di dunia pantomim pun dipandang sangat berat, sebelum akhirnya menemukan titik di mana jalan menuju tujuannya terbuka lebar. Wanggi sudah sering berkolaborasi dengan seniman-seniman lokal, nasional hingga mancanegara.

Wanggi pernah berkolaborasi dengan Circus dari Prancis Chabatz de’entrar pada 2013 silam. Ini merupakan pencapaian yang membanggakan bagi dirinya, selain tour ke 8 kota di Indonesia, Wanggi juga diajak menyambangi Timor Leste dan Vietnam.
Selain berkesempatan melakukan kolaborasi dengan seniman mancanegara, Wanggi juga dapat berkesempatan menampilkan karya seninya di hadapan Mantan Ketua MPR RI Taufik Kiemas, Sudjiwo Tedjo, dan “Lady Rocker Indonesia” Ayu Laksmi.

Kritik Sosial
Selain beranggapan, seni itu karya, Wanggi juga berpendapat seni juga merupakan media penyampai pesan. Lewat seni pantomim yang ia tampilkan, dia selalu menyematkan pesan-pesan, kritik-kritik sosial yang “pedas” terhadap pemerintah.
Hal tersebut merupakan bentuk kegelisahannya terhadap hal-hal yang terjadi di negeri ini. Ia beranggapan, kesenian merupakan media yang tepat untuk menyuarakan kemanusiaan, halus namun berdampak luas.
Aksinya itu bukan hanya didengar masyarakat indonesia, tapi sampai ke negara-negara benua Eropa. Ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat sana yang mengirim pesan terhadapnya melalui surat elektronik, yang memberikan apresiasi dan dukungan moril bahwa kesenian merupakan media kritik sosial juga.

Ancaman dan teror menjadi makanan sehari-hari. Pembunuhan, penculikan, dan ancaman lain biasa ia terima. Tapi dengan idealisme dan keyakinannya, Wanggi yakin “gerakannya” tidak akan pernah mati menyampaikan pesan dan kritik.

Tak terhitung media yang selalu meliput aksinya, ia selalu mengoleksi berita-berita tentangnya, bukan tanpa tujuan, ia hanya ingin meyakinkan bahwa perjuangannya tidak akan pernah mati.***

 Agvi Firdaus, Anthea Novita, Dea Andriyawan, Elma Salma Zakiah | Prodi Jurnalistik UIN Bandung

Website : http://bandungoke.com/view.php?id=20150103105213

 

Wanggi, Beratus Kali Suarakan Isu Kemanusiaan

 17.01.2015 

 

WANGGI Hoediyatno, seniman yang akrab dipanggil Hoed. Ia adalah seniman pantomim muda asal Cirebon. Ia lahir di Palimanan, Cirebon, 24 Mei 1988. Hoed ini anak keempat dari lima bersaudara, dari pasangan Rahudi Budiarjo dan Leli Sulaeli.  

Ia mulai menyenangi seni olah tubuh sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, hingga ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Pertunjukan-pertunjukan pantomim telah ia gelar di dalam maupun luar negeri, dari pinggir jalan hingga gedung-gedung pertunjukan.

Usianya relatif muda. Namun, Wanggi memiliki visi ke depan dengan menekuni pantomim. Terlebih, apa yang dilakukannya itu dilakoni dengan penuh rasa cinta. Itulah hal pertama yang diungkapkan olehnya.
Kecintaan Wanggi terhadap pantomim itu kerap dilakukan dengan aksi nyata. Sejak 18 Juli lalu, dia bersama komunitas Mixi Imajimime Theatre Indonesia dan Indonesian Mime Artist Association melakukan aksi Kamisan yang lebih dikenal dengan Aksi Melawan Lupa.

Saat itulah kepiawaian Wanggi sebagai seniman pantomim muncul dan berkembang, meskipun tak semulus yang orang bayangkan. Ia mengakui, banyak kalangan yang belum menerima pantomim sebagai seni yang patut diapresiasi.

Aksi tersebut rutin dilakukan oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) bersama dengan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Di Jakarta, aksi di pertengahan pekan itu rutin dilakukan di depan Istana Negara.

Selain keluarga korban HAM, mereka yang terlibat dalam aksi Kamisan itu yakni para aktivis, masyarakat, tokoh, beserta mahasiswa yang menuntut Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono waktu itu agar segera menuntaskan semua kasus pelanggaran HAM.

"Kalau di Bandung yang dilakukan di depan Gedung Sate, ini baru beberapa kali. Tapi, di Jakarta sana aksi Kamisan ini sudah dilakukan sebanyak 310 kali. Dari ratusan aksi itu kita selalu diabaikan oleh pemerintah," paparnya.

Setiap Kamis, lanjut Wanggi,  kita mengirim surat kepada Presiden SBY waktu itu, agar menuntaskan kasus pelanggaran HAM.  Tapi tetap belum ada jawaban.

Janji Terus Bersuara

Pria ber kumis tebal itu mengaku aksi yang dilakukan itu mendapat trasformasi energi dari ibu kota negara. Aksi yang dilakukan itu tak lain untuk mengingatkan kembali kepada pemerintah. Hingga saat ini semua kasus pelanggaran HAM di Indonesia belum ada yang dituntaskan.

Menurut Wanggi, bahasa tubuh adalah bahasa yang universal. Semua manusia akan memahami tanda-tanda gerak tubuh yang sifatnya konvensional. Ia mengakui akan terus bersuara dalam diam, bergerak menyampaikan isu-isu sosial kemanusiaan dari gedung pertunjukan hingga jalanan.
"Saya menghidupkan pantomim, sehingga pantomim pula yang menghidupkan saya. Saya akan terus berpantomim sampai benar-benar tak sanggup lagi untuk bergerak dan bila imajinasi saya sudah pupus," tutup Wanggi. ***

[] Agvi Firdaus, Anthea Novita, Dea Andriyawan, Elma Salma Zakiah | Prodi Jurnalistik UIN Bandung

 Website : http://bandungoke.com/view.php?id=20150112100733

Wanggi Hoediyanto, Pantomim Lokal yang Mendunia

Bandung, UPI





Merintis karier sebagai pantomimer membuat Wanggi Hoediyatno memahami seni sebagai idealisme tertinggi dari manusia. Dimulai dari nol, karier seni pantomim yang telah merambah hingga kancah internasionalnya tak ayal menemui jalan tak mulus. Bukan sekali dua kali saja. Tapi rintangan demi rintangan membuat Wanggi semakin teguh sebagai seniman lokal pantomim dan menggerakan Mixi Mmajimimetheater, sebuah ruang yang bukan hanya tempat latihan pantomimer, melainkan tempat diskusi dan tempat imajinasi para manusia yang tertarik akan seni.


Dimulai sejak 2007, komunitas Imajimimetheather yang ber-basecamp di kost-an Wanggi sendiri, terbentuk. Komunitas yang kini bernama Mixi Imajimimetheater ini awalnya berjumlah 15 orang, namun kini hanya menyisakan 3 orang. Konsistensi Wanggi yang ingin menghidupi dunia pantomim lokal membuatnya bertahan hingga 8 tahun lamanya. Dia membebaskan saja siapa yang pergi dan siapa yang datang untuk mengikuti jejaknya. Karena seni merupakan panggilan jiwa, katanya.

Wanggi memulai dunia pantomim dengan mengamen di jalanan, menjadi ‘manusia silver’, hingga menjadi seperti sekarang ini. Perjalanan kariernya tak jarang diputar-balikan keadaan yang tidak malah menjadikannya mundur. Pernah pada tahun 2011, hasil pertunjukannya dirampas habis oleh para kriminal. Braga, tempat kariernya lahir, pada saat itu harus menjadi saksi bisu pula kekecewaan Wanggi terhadap keadaan sosial. Namun karena kejadian itu, Wanggi malah menggelar pertunjukan berjudul “Braga Aku Kembali” sebuah pagelaran di mana Wanggi membuktikan jatuh bangunnya dia tidak membuatnya menyerah untuk tetap menghidupkan dan mengenalkan pantomim pada masyarakat.
 
Tidak mudah untuk melakukan suatu pertunjukan pantomim, diperlukan latihan, meditasi, dan Yoga untuk melatih gerak tubuh. Pantomim bukan hanya untuk menghibur, melainkan suatu penyampaian pesan, suatu wadah untuk mengangkat kembali isu-isu sosial dan kemanusiaan yang telah dilupakan masyarakat.
“Manusia sekarang itu butuh selain yang enak, juga butuh yang enek. Nah di pantomim ini kita kasih yang enek. Karena mereka tidak akan mengerti, tapi kita tidak memaksakan mereka untuk mengerti. Karena di pantomim kita bermain imajinasi,” ujar Wanggi.

Pria kelahiran 24 Mei 1988 ini pun menjelaskan bahwa sejarah pantomim itu berat. Pantomim menurutnya adalah seni kebebasan yang bisa bermain diruang apa saja, dan bisa ‘memerangi’ para pembunuh zaman.
“Disitulah pertaruhannya. Dan pertaruhan saya adalah bagaimana membuat penonton tersenyum mengerti, bukan tertawa,” tutur Wanggi.

Harapan Wanggi ini hanyalah masyarakat bandung lebih mengerti dan menghargai pantomim. Pria lulusan seni teater STSI ini pun berharap pantomim tetap dapat menjadi alat perjuangan. “saya juga berharap bahwa suatu saat komunitas pantomim memiliki rumah proses sendiri yang independen tanpa campur tangan pihak-pihak manapun,” ujarnya kembali. (Nida Amalia Sholehah, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)

Website : http://berita.upi.edu/?p=1409

Dongeng Bisu Wanggi Hoed



Wanggi Hoed, seniman pantonim Bandung mendongeng di depan anak-anak di Alun-Alun Kota Bandung, Sabtu, (28/11/2015). Sesuai dengan seni yang diperankannya, Wanggi mendongeng tanpa bersuara. Ia mendongeng dengan gerak tubuh dibantu dengan sebuah boneka tangan.
Dongeng Wanggi menceritakan kegembiraan anak-anak yang diberikan kebebasan oleh orang tuanya untuk berkreativitas. Namun meski tanpa suara dan bermodalkan gerak tubuh dan mimik muka, Wanggi berhasil membuat anak-anak tertawa.
Wanggi merupakan satu dari beberapa pendongeng yang turut meramaikan Deklarasi Hari Dongeng Nasional. Deklarasi ini ingin menjadikan hari kelahiran Pak Raden yakni tanggal 28 November sebagai Hari Dongeng Nasional.[]

Website : http://kabarkampus.com/2015/11/dongeng-bisu-wanggi-hoed/

Wanggi Hoed : “Pantomime Jalanan Adalah Sikap Saya…”