Selasa, 28 Oktober 2025

Mixi Mime Festival 2023 : Pernyataan Pantomim, Seni Perlawanan Paling Sunyi

 

  • Berita
  • Pantomim, Seni Perlawanan paling Sunyi

Pantomim, Seni Perlawanan Paling Sunyi

Penutupan Mixi Mime Festival 2023 di Bandung berlangsung sederhana tapi meriah. Festival ini menegaskan bahwa pantomim sebagai seni milik rakyat.

Penampilan pantomim oleh Farid dari Kediri, pada Mixi Mime Festival 2023 di Layar.an Plateaus Eco Art, Awiligar, Bandung, Jumat, 17 November 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul19 November 2023


BandungBergerak.id - Masyarakat dan seni memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Keduanya saling membutuhkan dan menguntungkan. Begitu pula dengan seni pertunjukan pantomim. Sebuah seni yang identik dengan riasan wajah berwarna putih, berkoreografi tanpa suara, sunyi. Namun begitu, pantomim bisa dilihat lebih jauh lagi sebagai pilihan maupun bentuk perlawanan atau pergerakan.

Hal tersebut disampaikan Nur Iswantara, peneliti pantomim dan dosen Pendidikan Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, pada diskusi yang bertajuk “Menilik Arus Informasi dalam Peristiwa Sekitar” penutupan Mixi Mime Festival 2023 “Geger Sunya: Manusia dan Sekitarnya” di Layar.an Plateaus Eco Art, Awiligar, Bandung, Jumat, 17 November 2023.

“Mime itu adalah bahasa lapis kedua, istilah saya. Dia adalah bahasa isyarat. Nah di situlah perlu pemahaman masyarakat untuk apa sih sebetulnya mime dalam konteks masyarakat,” terang dosen ISI Yogyakarta yang akrab disapa Nurls pada sesi diskusi yang dimoderatori oleh Baharzah Martin, Ketua Garut Creative Hub.

Nurls menyebutkan, pantomime awalnya dikenal sebagai hal yang lucu, karakteristiknya yang berkomedi dan lawak. Elemen ini menjadi tahapan paling mudah yang bisa dicerna masyarakat. Namun jika menelusuri lagi sejarah pantomim di dunia, kisahnya sangat beragam. Itulah mengapa dalam konteks arus informasi, Nurls mengungkapkan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk membutuhkan pilihan, di antaranya mime (pantomim).

Penulis buku Wajah Pantomim Indonesia ini menambahkan, pengembangan pantomim berbeda-beda karakteristiknya di setiap daerah. Seperti pengembangan Pantomim di Jakarta yang dilakukan oleh Didi Petet dan Seno yang menempatkan mime untuk melanjutkan tradisi teater murni. Mime mendapat tempat sebagai bagian dari pembelajaran teater, untuk mempelajari lakon yang sangat natural.

Pantomim kini telah menyebar ke mana-mana hingga ke kota-kota kecil. Di Bandung, seniman yang konsisten dengan seni pantomime adalah Wanggi Hoed. Menurut Nurls, Wanggi Hoed hadir dengan seni pantomimnya di tengah membanjirnya arus informasi. Wanggi hadir menjembatani kebutuhan masyarakat pada seni. Hal ini gayung bersambut di kalangan akademis.

“Kepentingan dalam suatu ekspresi seni yang mana tadi saya sebut untuk hiburan, awalnya, di sisi lain masyarakat akademis membutuhkan itu. Mime itu adalah bagian penting dari latihan teater. Tapi dia bisa berdiri sendiri sebagai pertunjukan,” tambah peneliti pantomime ini.

Pada misinya ini, Nurls sedang mencoba merintis mata kuliah pantomim yang berdiri sendiri dari percabangan mata kuliah eksplorasi peran. Ia mengaku ini merupakan perjuangan sulit yang perlu dimulai dengan penelitian-penelitian.

Namun dalam konteks bahas lapis kedua dalam komunikasi, pantomim perlu dilanjutkan. Bahkan harus dilakukan penelitian sendiri lainnya untuk pantomim. Sehingga respons masyarakat dan dinamika terhadap pantomim terus berjalan.

“Yakin sajalah, selama pantomim masih dihidupi oleh senimannya, kemudian didukung dan disangga oleh masyarakatnya, baik masyarakat maupun akademis, ya dia akan tetap bertahan akan terus bisa hadir,” katanya.

Di akhir pemaparannya, Pantomim pada dasarnya diartikan sebagai gerak (panto) dan ekspresi wajah (mime). Pantomim juga dikenal menggunakan bahasa isyarat yang dikenal gaya klasik. Meski setiap seniman memiliki gayanya masing-masing dan masih terbuka ruang eksplorasi. Dan memang demikian, seperti seni lainnya, pantomim adalah seni yang terbuka terhadap penafsiran.

Makanya, ia mendukung pantomim untuk terus disebarluaskan dan dibumikan. Beberapa upayanya adalah seperti yang dilakukan seniman pantomim Wanggi Hoed yang membumikan pantomim ke masyarakat.

“Membumikan pantomim saya kira adalah sebuah upaya dari seniman pantomimnya yang secara konkret dan didukung oleh masyarakat. Tanpa itu gak akan terjadi,” tegas Nurls.

Pembicara lainnya, Iman Herdiana dari BandungBergerak.id menyebutkan bahwa Wanggi Hoed merupakan seniman yang masuk ke dalam “radar kurasi” pemberitaan media alternatif ini. Wanggi merupakan sosok seniman yang menghubungkan pantomim dengan masyarakat umum.

Wanggi dinilai tidak menempatkan pantomime di tempat yang terbatas aksesnya untuk publik, tapi hadir di jalanan dan di ruang-ruang publik, meski akibat aksinya ini ia sempat ditangkap polisi saat melakukan pertunjukan di Asia Afrika beberapa waktu lalu. Namun begitu, seni yang dilakukan oleh Wanggi dan isu yang diusungnya selarang dengan visi misi BandungBegerak.id yang menyuarakan suara dari pinggiran.

“Saya melihat pantomim ini justru kediamannya ini yang melawan. Dalam sunyi, bergerak, tanpa kata terus di jalanan untuk menyuarakan HAM, lingkungan, dan lain-lain yang berhubungan dengan masyarakat,” terang Iman saat sesi diskusi.

Dikarenakan pantomim yang terbuka akan penafsiran, dalam penulisan pertunjukan pantomim biasanya tidak masalah mencampurkannya dengan penafsiran sendiri, ditambah dengan wawancara. Sebab pantomim adalah seni yang terbuka.

Iman menegaskan bahwa Wanggi Hoed sukses membawa pantomim ke ruang publik dan membuatnya lebih merakyat.

Baca Juga:Bandung Hari Ini: Aksi Seniman Pantomim Wanggi Hoed Dihentikan Polisi
Wanggi Hoed, Melawan lewat Pantomim
Pentas Pantomim Anak-anak di Kebun Ummasa bersama Wanggi Hoed

Foto bersama usai penutupan Mixi Mime Festival 2023, di Layar.an Plateaus Eco Art, Awiligar, Bandung, Jumat, 17 November 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Foto bersama usai penutupan Mixi Mime Festival 2023, di Layar.an Plateaus Eco Art, Awiligar, Bandung, Jumat, 17 November 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Musik, Pantomim, dan Orasi Budaya

Malam itu menjadi puncak Mixi Mime Festival 2023. Hujan yang turun tidak membuat kegiatan ini berhenti. Selain diskusi, acara ini dimeriahkan penampilan musik oleh Fitra Rahardjo feat. El Antilbl dan dilanjutkan pemutaran film pantomime karya Marcel Marceau yang berjudul “La Creation Du Monde” (1972).

Usai diskusi yang hangat, Ovick Rozensky dan Musisi Sendiri tampil memukau membawakan sekitar enam lagu. Ia mengakhiri penampilannya dengan sebuah lagu yang diselingi pembacaan puisi tentang kekagumannya kepada Wanggi Hoed. Wanggi Hoed diidentikkan olehnya dengan gerakan lentikan kumis, kedipan mata, dan tawa.

Lalu Farid Mime mengambil alih panggung untuk menampilkan pertunjukan pantomim. Dalam pertunjukannya, Farid merias wajahnya dengan pupur putih di tengah panggung. Lalu secara partisipatif, dua orang penontong memegangi cermin untuknya berhias. Usia berhias diri, Farid memberikan tali fiktif ala pantomim kepada tiga orang penonton. Lalu pada hitungan ketiga, tali itu ditarik. Farid jatuh, terkapar. Penampilan pantomim itu dihadiahi apresiasi tepuk tangan yang ramai.

Mixi Mime Festival ditutup dengan orasi budaya yang berjudul Cupu ‘Mime’ Nik Astagina oleh Venol, seorang seniman reak. Venol menyebut bahwa pantomim ibarat cupu manik astagina, sebuah pusaka sakti yang dikisahkan dalam cerita pewayangan.

Cupu manik astagina merupakan benda ajaib yang dimiliki oleh dewa. Venol menyebut, selain wujudnya sangat indah dan menarik, bila tutupnya dibuka orang dapat melihat segala isi jagad raya beserta peristiwa dan kejadian yang ada. Begitu pun dengan pantomim. Jika menyaksikan pertunjukannya, ia dapat menginformasikan rekaman-rekaman yang terjadi dalam ketar-ketir dan gonjang-ganjingnya hidup.

“Ketika tubuh pantomim ialah cupu manik astagina yang dapat memperlihatkan keburukan serta keindahan yang terjadi di dunia, tubuh tersebut dituntut memiliki kejujuran dan keberpihakan. Kejujuran di sini berarti tubuh seorang aktor dapat menyampaikan fenomena yang terekam apa adanya. Sehingga tubuh pantomim harus berpihak terhadap moralitas, etika, dan estitisitas manusia sejatinya. Pantomim sebagai cupu manik astagina harus sanggup melihat realitas masyarakat hari ini dalam bayang-bayang masa lalu dan masa depan,” ungkap Venol membacakan orasinya.

Usai pembacaan orasi itu, Wanggi Hoed menyampaikan terima kasih. Kegiatan festival mime militan se-Asia Tenggara, Mixi Mime Festival 2023 yang bertajuk “Geger Sunya: Manusia dan Sekitarnya” di Layar.an Plateaus Eco Art, Awiligar, Bandung itu lalu ditutup secara simbolis oleh Wanggi dengan mengetuk tiga kali pada microphone.

*Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Awla Rajul, atau tulisan-tulisan lain tentang Wanggi Hoed

Editor: Iman Herdiana

Mixi Mime Festival 2023: Pantomim, Perlawanan, dan Festival Militan

  • Cerita
  • Mixi Mime Festival 2023: Pantomim, Perlawanan, dan Festival Militan

Mixi Mime Festival 2023: Pantomim, Perlawanan, dan Festival Militan

Seniman Wanggi Hoed kembali menggelar pameran arsip dan dokumentasi sekaligus festival pantomim Mixi Mime Festival selama sepekan mulai 11 November 2023.

Arsip seniman pantomim Indonesia dan internasional dipamerkan sebagai nyawa yang menyambung hidup kesenian pantomim tetap bertahan lintas generasi. (Ridho Danu/Bandungbergerak.id)

Penulis Ridho Danu Prasetyo14 November 2023


BandungBergerak.id – Dalam kesunyian dan keheningan, gerak tubuh dan mimik wajah menggambarkan ekspresi, emosi, dan menyalurkan suara perlawanan. Begitulah wacana idealisme pantomim sebagai seni yang kini masih terus tumbuh dan berkembang.

Sebagai sebuah kesenian yang besar dan berkembang di jalanan, pantomim berhasil menggaet militansi masyarakat yang menjadi audiensnya. Segmentasi komunitas yang hadir ini menjadi jalan bagi pantomim untuk terus hidup dan menjadi sarana ekspresi atas isu sosial dan politik yang terjadi.

Wanggi Hoed tokoh pantomim Bandung yang berdiri tegak dengan idealismenya, melalui Mixi Imaji Mime Theatre kembali menggelar Mixi Mime Festival 2023. Acara yang disebut sebagai festival pantomim militan Asia Tenggara ini menjadi wadah bagi komunitas seniman multidisiplin untuk bertemu dan berbagi pengalaman disiplinnya agar bisa saling menginspirasi.

Mixi Mime Festival pertama kali digelar pada tahun 2019 silam di Celah-Celah Langit, Ledeng, Kota Bandung dan kemudian vakum selama tiga tahun akibat pandemi. Tahun ini Mixi Mime Festival kembali hadir masih dengan semangat militansi yang sama dan mengangkat tema besar “Geger Sunya: Manusia dan Sekitarnya”. Festival ini telah dibuka secara resmi pada Sabtu, 11 November 2023 malam, di Layar.an Plateaus Eco-Art, Awiligar, Bandung.

Tema Geger Sunya sendiri diambil dari kata “Geger” yang berarti kebisingan dan keriuhan, serta kata “Sunya” yang berarti sunyi atau keheningan. Dua kata yang merupakan antidot satu sama lain, menggambarkan situasi kehidupan manusia menjelang tahun politik yang saat ini berada dalam keriuhan tak terbendung, namun juga berada dalam keheningan dan kesunyian.

Geger ini (artinya) orang-orang akan ramai di kontestasi politik. Sedangkan, Sunya adalah idiom bagi masyarakat. Para penguasa selalu riuh, tapi masyarakat itu seolah-olah diam dan tidak ada suaranya yang didengar,” jelas Wanggi.

Meskipun digelar oleh komunitas pantomim, Mixi Mime Festival 2023 juga menghadirkan disiplin kesenian lain, mulai dari tulisan, musik, hingga seni rupa. Dalam festival ini juga dapat ditemui berbagai macam acara yang menarik, seperti pertunjukan pantomim secara langsung, pameran dokumentasi dan arsip, bincang seni, lokakarya seni, pemutaran film pantomim, hingga pasar militan.

Program-program komunitas dan hadirnya penampilan seni di ruang terbuka juga menjadi langkah untuk mencapai inklusivitas agar masyarakat dari berbagai kalangan dapat ikut hadir dan belajar lebih jauh mengenai seni pertunjukan pantomim. Para pengunjung dapat mempelajari sejarah dan rekam jejak pantomim di Indonesia melalui kumpulan dokumentasi dan arsip yang tersedia di bagian pameran.

Wanggi sendiri menganggap bahwa dokumentasi dan arsip adalah salah satu nyawa terpenting dalam keberlangsungan hidup kesenian pantomim. Sejak tahun 2012, Wanggi tersadar akan pentingnya catatan dan arsip sebagai bentuk peninggalan dan jejak bagi penerus kesenian ini di masa mendatang. Wanggi menyatakan ia terinspirasi oleh maestro pantomim dunia asal Perancis, Marcel Marceau yang melalui dokumentasi dan arsipnya mampu memantik seniman-seniman baru di masa berikutnya.

Pameran arsip dan dokumentasi seni pantomim di Indonesia di Mixi Mime Festival 2023, Sabtu 11 November 2023. (Ridho Danu/Bandungbergerak.id)
Pameran arsip dan dokumentasi seni pantomim di Indonesia di Mixi Mime Festival 2023, Sabtu 11 November 2023. (Ridho Danu/Bandungbergerak.id)

Baca Juga:Peta Sunyi Seni Pantomim Bandung
Menggugat Makna dalam Diam, Cara Pantomim Mengekspresikan Trauma
Membicarakan Pantomim, Kolaborasi, dan Ruang: Kisah dari Tiga Daerah

Militansi Sebagai Nyawa Komunitas

Acara pembukaan Mixi Mime Festival tak berlangsung dengan lancar karena harus menepi akibat diguyur hujan deras. Namun, bukannya mematikan suasana perayaan, momen ini justru menjadi cara bagi Wanggi dan seniman lainnya untuk berbaur dan berinteraksi secara lebih intim dan lebih dekat dengan para militan yang ikut hadir di pembukaan tersebut.

Tak hanya sebagai acara perayaan semata, Mixi Mime Festival juga turut menggalang dukungan yang lebih besar dari ‘penggemar militan’ nya. Wanggi menjelaskan festival ini digelar tanpa disponsori oleh pihak-pihak manapun, dan hanya mengandalkan gerakan kolektif dan kolaborasi antar komunitas.

Treatment festival ini berbeda dari komunitas lain. Mixi Mime Fest ini nggak ada dana, nggak ada dukungan sebelumnya. Segala kebutuhan berasal dari kolektif militansi, dialokasikan untuk kebutuhan dengan urgensi tertentu,” jelas pria kelahiran Cirebon tersebut.

Ketika bicara soal militansi, Wanggi mengakui bahwa ada risiko tertentu. Istilah militan lekat dengan orang-orang yang memberontak, pembangkang, dan menggambarkan orang yang keluar dari koridor. Sejatinya, militansi yang dilibatkan dalam kesenian pantomim adalah idealisme militan yang tidak bisa disetir oleh pihak-pihak mana pun.

“Ini (gerakan militansi) adalah jalan tengah dari seniman dan penggemar, agar pantomim di Indonesia terus hidup dan terus menyentuh pikiran dan jiwa orang yang datang ke Mixi Mime Festival,” lanjutnya.

Idealisme dan gerakan perlawanan yang disalurkan melalui pantomim pun disalurkan juga sebagai bentuk kontrol kepada pemerintah. Meskipun, seni pantomim dalam kurasi pameran disebut sebagai seni yang dianaktirikan karena tak pernah mendapat ruang gerak yang leluasa. Berbeda dengan seni sastra ataupun musik yang selalu digelar dan dibuatkan hajatan secara mewah.

Meskipun begitu, gerak kolektif dan militansi pantomim justru menjadi peluang untuk terus menyebarkan ide dan gagasan yang dimiliki oleh seniman maupun komunitasnya. Terutama dalam kondisi masyarakat yang rawan terpecah menjelang tahun politik, pantomim dapat memainkan peran sebagai sarana ekspresi dan kontrol sosial.

Wanggi menutup wawancara dengan memberikan harapan bagi masa depan kesenian pantomim di Indonesia. Ia berharap semua seniman pantomim dapat meraih kesuksesan, sukses dalam artian kehidupannya tercukupi atas karya yang dibuat, kepuasan terhadap profesional juga tercukupi. Kata “cukup” inilah yang juga menjadi dasar bagi militansi di Mixi Mime Festival. Tak perlu berlebih, dan jangan kurang. Melainkan cukup.

Gelaran Mixi Mime Festival sendiri masih akan terus berlanjut. Pameran dan festival akan hadir selama sepekan ke depan di Layar.an Plateaus Eco-Art, Awiligar, Kota Bandung. Para pengunjung dapat menikmati sajian penampilan, pameran, belajar tentang seni pantomim, hingga berbelanja di Pasar Militan.

Mengutip dari arsip dokumen pada perayaan Hari Pantomim Sedunia pada tahun 2011 silam yang dirasa masih berkaitan dan tetap tersemat bagi seni pantomim di seluruh dunia, pantomim adalah bentuk refleksi aksi untuk menjaga silaturahmi, agar Indonesia kita ada dalam keadaan damai. Pantomim adalah Bahasa Kedamaian, Pantomime is the Language of Peace.

Editor: Ahmad Fikri