Senin, 22 Maret 2021

Seni Melawan Dalam Sunyi

Melalui beragam media, Wanggi terus mengenalkan pantomim sebagai seni yang bukan sekadar tontonan.

 04 Maret 2021 , 05:29



Wanggi Hoediyatno, Seniman Pantomime Indonesia. Sumberfoto: Ist/dok

JAKARTA – Dengan badan menggigil, Wanggi Hoediyanto menghaturkan izin kepada Sang Pencipta melalui ritual Tubuh Sembah Semesta. Dalam khidmat, dia memohon doa restu untuk melakukan pertunjukan pantomim di Puncak Mahameru.

Ya, Puncak Mahameru. Aneh, bukan? Mendengar seni pantomim saja sudah asing, apalagi mengetahuinya ditampilkan di atas gunung dengan suhu tidak lebih dari 10 derajat celcius. Kalau bukan orang ‘gila’, siapa yang mau melakukan hal itu?

Jawabannya, ya, Wanggi Hoed. Pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 32 tahun lalu itu menggelar pentas di ketinggian 3.676 mdpl bertajuk Nyasar Nyusur Pantomim Gunung pada 26 Juli 2015 silam. Alih-alih menyerah karena hawa yang sangat menggigit, Wanggi justru merasa mendapat asupan energi dahsyat dari Gunung Semeru. Semakin kencang angin berhembus, kian khusyuk tubuhnya berbicara.

Wanggi meliuk ke sana-sini. Setiap gerakannya membawa makna. Satu kali, tubuh dan wajahnya mengisyaratkan ajakan untuk menjaga bumi dan semesta raya, sama seperti melindungi diri sendiri.

Kawah Jonggring Saloko turut menghembuskan abu vulkanik saat Wanggi beraksi. Seolah ikut menari melalui letupan-letupan abu. Meski berisiko, Wanggi tak berhenti, meliuk dalam sunyi. Tak ada suara lain keculai deru angin dan derap langkahnya. Mulut terkunci, raut mukanya datar di balik riasan putih. Ia tampil sederhana, berbusana merah dipadu celana cokelat.

Pemandangan tersebut membuat puluhan pasang mata pendaki terkesima. Sebuah pengalaman yang bisa jadi tak bisa dijumpai kedua kali. Pasalnya, pertunjukan pantomim di atas puncak gunung yang dilakukan Wanggi adalah yang pertama di dunia. Sebuah catatan sejarah yang akan terus dikenang dalam dunia kesenian di Indonesia.

Tertarik Sejak Kecil
Jauh sebelum hari itu, Wanggi adalah anak-anak biasa yang gemar menonton acara pantomim di Televisi Republik Indonesia pertengahan 1990-an. Dia gemar meniru gerak-gerik si seniman penampil.

Seiring waktu, ketertarikannya makin besar. Namun Wanggi kecewa saat TVRI meniadakan program tersebut di tahun 1994.

Rasa keingintahuan Wanggi lantas dilampiaskan dengan membaca buku-buku tentang pantomim. Dia mulai bergerilya, mengorek seluk-beluk jenis kesenian itu.

Sejumlah nama seniman menginspirasi jalan kesenian Wanggi. Antara lain, maestro tari topeng bernama Mimi Rasinah asal Cirebon. Wanggi kagum dengan Mimi yang terus berkreasi meski sepuh dengan kondisi kesehatan menurun. Wanggi ingin menyerap semangat itu.

"Ternyata orang-orang dahulu itu bertahan, merawat kesenian dan juga tubuhnya," cerita Wanggi kepada Validnews, Senin awal Maret lalu.

Beranjak remaja, kesukaan Wanggi Hoed terhadap seni pantomim tidak memudar. Sejak berusia 16 tahun, dia mulai berani tampil. Lalu ia melanjutkan studi di Jurusan Teater STSI Bandung pada tahun 2006. Di sinilah pijakan awal karya Wanggi hadir di ruang publik.

Menangkap ketertarikan Wanggi, sejumlah senior pun meminjamkan buku tentang pantomim. Satu di antaranya buku tentang sejarah pantomim dunia. Tapi sayang, Wanggi mengalami kesulitan mengerti isi buku karena dicetak dalam Bahasa Inggris.

Tak habis akal, wanggi pun mencari teman yang bisa berbahasa Inggris untuk membantu mengartikan. Jika tidak ada, dia akan pergi ke warung internet pada malam hari setelah kuliah, demi bisa menggunakan perangkat lunak penerjemahan. Dari buku itu, Wanggi memupuk keinginan meneruskan dan mengembangkan seni pantomim di Indonesia.

Mendirikan Komunitas
Cara pertama mengembangkan seni pantomim adalah dengan berkomunitas. Pada tahun 2007, didirikanlah Mixi Imajimime Theatre Indonesia, tempat Wanggi belajar sekaligus berbagi. Di himpunan itu, anggota bisa belajar teknik dasar menggerakan tubuh sambil menambah wawasan.

Bagi Wanggi, pantomim adalah pekerjaan sikap. Sebuah media untuk menyampaikan pesan melalui kinerja kreatif dari bahasa tubuh dan imajinasi. Karya seni pantomim menghadirkan kesunyian yang meruang, memanipulasi bunyi visual, baik imajinasi dan gerak tubuh pada tempo tertentu serta, terapi bagi masyarakat. 

Dari satu latihan ke latihan lain, Wanggi dan rekan-rekan menghasilkan karya, baik tunggal maupun kolosal. Dalam seminggu ia bisa memproduksi dua sampai tiga karya. 

"Saya terus melaju dengan tempo gas-rem. Saya terus melakukan hal-hal yang diluar kebiasaan para seniman sebelumnya. Saya melanjutkan gagasan atau ide dan jangan sampai tenggelam. Karena ide yang pernah dilakukan kalau tenggelam dan terkubur itu sayang," ujarnya. 

Di Indonesia sendiri, pantomim seakan timbul-tenggelam. Lebih asing terdengar, tidak seperti seni lainnya. Kini, perkembangannya cenderung turun. Nama seniman yang populer pun terbilang masih sedikit. Sebut saja, seperti Moortri Poernomo, Zulhamdani, Deddy Ratmono, Jamek Supardi, Sena, Didi Petet, hingga Septian Dwi Cahyo sebagai seniman pantonim atau mime.

Paling tidak, tren itu sudah disadari Wanggi sejak tahun 2000-an. Maka itu Wanggi remaja berupaya membawa kembali pantomim ke panggung pertunjukan. Hal ini penting bagi Wanggi, karena pantomim adalah cara melawan dengan damai.

Karya-karya Wanggi menjadi jembatan ingatan perihal masalah sosial-budaya, kemanusiaan, solidaritas, urban, lingkungan, sejarah, krisis, anti-kekerasan, perdamaian, dan spiritualitas. 

Wanggi mengakui, pamor pantomim tak sementereng teater atau seni pertunjukkan lainnya. Ekosistem pantomim yang belum solid terbangun menjadi penyebabnya. Jika teater memiliki sanggar, sarana pentas, serta komunitas, tapi tidak dengan pantomim. Senimannya sering kali bergerak sendiri-sendiri.

Belum lagi dengan kenyataan, masih banyak yang pantomim sebagai pertunjukkan aneh karena menampilkan seniman yang tidak berbicara. Padahal, kata Wanggi, mime berbicara melalui gerakan tubuh dan mimik wajah. Gerakan dan mimik wajah itu sarat akan makna.

"Pantomim itu seni bahasa tubuh yang sunyi berbahasa universal dalam kecepatan dan tempo tertentu, bukan sekadar lucu-lucuan. Pantomim itu bahasa perdamaian, bahasa untuk semua manusia yang hidup di bumi ini," ujarnya. 

Tidak mudah menjadi seniman pantomim. Saat tampil, dia harus menyulih suara atau gagasan menjadi gerakan. Mime dituntut peka dalam menangkap keadaan di sekitar.

Membumikan Pantomim
Wanggi mencoba banyak hal agar seni pantomim diketahui lebih banyak orang. Antara lain, menyandingkan pantomim yang berasal dari zaman Romawi kuno dengan budaya nusantara. Tampilan Mime yang lazim berkostum belang-belang, diubah Wanggi dengan mengenakan ikat kepala khas Sunda. Kerap kali pula menggunakan busana adat etnis lain.

“Makanya lewat kostum-kostum etnik saya mencoba merawat budaya kita," ujarnya. 

Supaya lebih membumi dan mendekatkan pantomim dengan masyarakat awam, Wanggi tidak jarang melakukan pertunjukan di jalanan dengan membawa tema-tema pinggiran. Seperti tentang kesulitan hidup para pengemis, serta kesesakan ekonomi kaum akar rumput. 

Bersama teman sejawat, Wanggi juga pernah membuat program backpacker. Dia menggelar pertunjukan di bangunan-bangunan bersejarah sepanjang perjalanan, bahkan lokasi penginapan. Tema pantomimnya, sudah pasti soal sejarah.

Di luar agenda itu, dia aktif menggelar pertunjukan pantomim. Misalnya, Mixi Imajimimetheatre Indonesia, Nyusur History Indonesia, Aksi Kamisan Bandung, Indonesia Street Mime International Festival 2017 di Palangkaraya, dan Tur Mime Tipis-Tipis Indonesia.

Wanggi juga mencetuskan peringatan tahunan World Mime Day atau Hari Pantomim Sedunia sejak tahun 2011 di Indonesia. Ia juga penggagas sekaligus perintis Gerakan Kebudayaan Awak Inisiatif Arts Movement yang hadir di ruang publik dengan nama Perayaan Hari Tubuh Internasional. 

Tantangan Berpantomim
Tak perlu heran jika banyak yang masih sulit menikmati pantomim. Cara kerja pembuatan karya tersebut juga sama sukar. Membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk seorang mime memindahkan teks narasi ke dalam bentuk gerakan.

Narasi 'membuka gerbang' saja memiliki banyak arti di kepala setiap orang. Agar semua bisa mengerti, Wanggi mula-mula menyamakan bayangan penonton soal gerbang. Dari bentuk, ukuran, dan desain, dipikirkan rinci. Semua itu ia lakukan agar penonton tidak jenuh dan bingung kala menonton pantomim. 

"Pada akhirnya memainkan rasa. Tubuh menghayati perasaan yang ada di keseharian," urai Wanggi. "Lewat pantomim saya mengajak teman-teman untuk berpikir, berimajinasi, menjelajah apa yang dirasakan mereka yang nonton dan itu jadi diskusi."

Ada beberapa karya yang berkesan untuk Wanggi. Yakni 'Gelombang-Gelembung Mimpi', bercerita tentang mimpi dan cita-cita setiap anak. Kemudian karya terinspirasi dari lagu ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut’ yang mengisahkan kekuatan nenek moyang melawan keadaan berat. Melalui tema-tema tersebut Wanggi ingin memberi semangat kepada penontonnya. 

"Hidup harus bergaul, berkolaborasi, jangan menutup akses apapun. Merawat jejaring dan berkomunitas. Pantomim untuk semua. Saya juga coba mendekatkan ke mereka. Pantomim itu kan mengingatkan sesuatu dan peristiwa. Akhirnya karya saya sifatnya kontemplatif, mencoba untuk menyentuh mereka tapi tidak dengan fisik. Makanya saya pada akhirnya bicara batin," tuturnya. 

Tidak hanya di Indonesia, Wanggi juga membawa pantomim berpentas di kancah internasional. Tahun 2013, Wanggi menjadi satu-satunya seniman pantomim Indonesia yang diundang berkolaborasi bersama kelompok sirkus teater kontemporer Chabatz D'Entrar Compagnie dari Prancis.

Dia menyelenggarakan tur sirkus ke sembilan kota di Indonesia, serta beberapa kota di Timor Leste dan Vietnam. Ia juga menggelar pentas pantomim 12 jam nonstop pada acara Bandung International Dance Film Festival dan Pantomim 6 jam nonstop, di Situs Sel No. 5 eks Penjara Bung Karno. 

Tanpa Dukungan Penuh
Namun, upaya mengembangkan seni pantomim itu belum benar-benar menarik perhatian pemerintah. Wanggi bercerita, seniman pantomim sering harus menyiapkan segala sesuatu dengan dana pribadi. Mulai dari tata rias, kostum, dan keperluan prose produksi. Sekali pertunjukan kocek yang dirogoh sekitar Rp1,5 juta-Rp 3 juta.

Sejauh ini pemerintah hanya mendukung keberlangsungan seni pantomim melalui festival seni siswa tingkat nasional. Namun Wanggi menilai cara itu kurang efektif tema lomba kerapkali membatasi imajinasi peserta.

"Pemerintah tidak menengok potensi-potensi seniman pantomim yang punya akses ke masyarakat. Di sekitar saya pun belum banyak yang tahu apa itu pantomim," tegasnya. 




Semakin Banyak Orang Tahu
Di tengah keterbatasan dukungan pemerintah, Wanggi bisa sedikit bernapas lega. Meski terhantam pagebluk covid-19 dan gagap teknologi, Wanggi masih mendapati celah untuk mengenalkan pantomim lebih luas, yakni melalui media sosial. Dia beberapa kali tampil melalui akun Instagram dan kanal YouTube miliknya.

Lambat laun interaksinya dengan penonton kian kerap. Semakin banyak orang awam yang ingin tahu lebih banyak tentang pantomim.

"Harus pelan-pelan dan terus menerus, nanti teman-teman akan tahu pantomim. Kita akhirnya akan ada dialog. Banyak orang melihat pantomim itu (seni yang) enggak ngomong, padahal sama saja kaya seni lain, kita bisa diskusi, dan ngomong," ujarnya. 

Wanggi mengatakan, saat ini regenerasi seniman pantomim sedang berjalan. Banyak remaja yang mulai berminat. Hal itu terjadi secara organik dan tumbuh bersama dengan daya kritis dan kemelekan teknologi.

"Semoga ada pikiran kritis melalui lelucon atau candaan. Harus ada idealisme dan kritiknya untuk bangsa ini," ujarnya. 

Menjelang World Mime Day pada 22 Maret 2021, Wanggi tengah menjalankan survey tentang seberapa luas masyarakat Indonesia mengenal pantomim. Akan ada sekitar 60-70 profesi di Kota Bandung dan sekitarnya yang dijadikan sampel riset. 

Nanti, jika ada orang yang tidak mengetahui pantomim, Wanggi akan mempertontonkan video pantomim kepada orang tersebut. Riset ini bukan proyek muluk-muluk, kata Wanggi. Proyek tersebut hanya bagian dari ikhtiar agar seni pantomim Indonesia semakin dikenal masyarakat luas. 

"Karena pantomim itu warna dan kekayaan kita, mau enggak mau (harus) ada pelestariannya. Harapannya, semoga pantomim bukan hanya tumbuh dan berkembang, tapi juga membumi dan bisa dinikmati sama siapa aja." pungkasnya.

Wanggi punya cara sendiri mengekspresikan kegelisahannya. Memang tidak semua orang awam mampu mengerti. Namun ibarat batu yang terus-menerus ditetesi air, kelak masyarakat bakal menoleh juga jika terus diperjuangkan. Karena sejatinya pantomim bukan sekadar lucu-lucuan, tapi melawan dengan damai meski dalam sunyi. (Dwi Herlambang)


Sumber berita : https://www.validnews.id/Seni-Melawan-Dalam-Sunyi-yOt






1 komentar:

  1. nano titanium ionic straightening iron - TITANIAN ARTIST
    nano titanium black titanium wedding band ionic straightening iron | TITANIAN ARTIST. titanium quartz A silver titanium knife plated titanium cup zinc core structure galaxy watch 3 titanium with an ultra-light source of platinum.

    BalasHapus