Senin, 27 Januari 2020

Melalui Kesunyian Suara Bisa Terdengar – Bersama Wanggi Hoed di Parade Teater Canasta 2018

Penulis : Setyawati (tatkala.com)




Justru suara yang keras itu lebih sering tidak terdengar dan bahkan mungkin sengaja untuk tidak didengar. Melalui kesunyian, Wanggi Hoed menyampaikan berbagai persoalan yang dirasa meresahkan. Dan justru itu lebih kedengaran hingga gaungnya terus menggema.
Wanggi Hoed menyampaikan berbagai persoalan itu dalam diskusi di hari kedua Parade Teater Canasta 2018 di Canasta Creative Space, Denpasar, 30 Oktober 2018.
Ketika itu, saya baru saja sampai di Canasta Creative Space, ternyata diskusi sore baru saja bubar. Memang saya datang agak sedikit terlalu cepat karena saya pikir diskusi malam akan segera dibabat. Diskusi malam itu memang saya tunggu: tentang proses kreatif bersama Wanggi Hoed.
Sekitar jam 20.00, acara diskusi baru saja dibuka. Pembukaan diskusi ini diawali dengan penjelasan tentang latar belakang Mas Wanggi, tentang berbagai hal yang sudah dilakukan dan dicapai. Nggak berlama-lama, Mas Wanggi pun menampilkan film sunyi yang ia buat berkolaborasi dengan temannya.
Klip ini kira-kira durasinya 15 menit. Nggak terlalu panjang. Tapi dampak setelah menontonnya yang panjang. Mas Wanggi menceritakan latar belakang film ini dibuat adalah respon terhadap isu kesehatan mental yang belakangan memang sedang bergema. Dalam film sunyi ini, Mas Wanggi menampilkan gerakan-gerakan yang memperlihatkan detail tubuh dalam mengekspresikan sesuatu. Ketika gerakan dalam film seperti cemas, saya pun tanpa sadar juga ikut merasa cemas.
Setelah menonton film itu, akhirnya sharing session pun dimulai. Awalnya, Mas Wanggi menceritakan bagaimana ia memulai perjalanannya dengan melakukan pantomim untuk menyampaikan pesan-pesan yang meresahkan. Mas Wanggi juga terutama beraksi di Aksi Kamisan, antara Jakarta dan Bandung. Ia melakukan aksinya no matter what, mau hujan atau badai pun ia tetap melakukannya. Tidak ada yang menonton pun ia akan tetap melakukannya. Inilah perjalanan menyampaikan pesan agar bisa terdengar.
Sebuah usaha tentu tidak ada yang sia-sia. Berkat perjuangannya, ia justru banyak mendapatkan simpati dan tempat di masyarakat yang merasa pesan ini perlu disampaikan. Banyak yang mendengar pesannya ini, walaupun Mas Wanggi menyampaikannya melalui kesunyian.
Contohnya, ia pernah menampilkan pertunjukan, “Sehat itu Milik Siapa?” yang pada saat itu bertepatan dengan Hari Gizi Nasional. Ia melakukannya di Gedung Sate, Bandung. Melalui pertunjukan itu, ternyata banyak media yang meliput hingga Departemen Kesehatan pun mengkliping fotonya.
“Bayangin, ngapain coba salah satu departeman ngliping foto saya, muka saya? Ya, kalau nggak untuk bahan evaluasi, untuk apa lagi? Masa iya, cuma karena suka sama saya. Kan, nggak mungkin,” gitu kata Mas Wanggi. Ya, pesan yang ingin Mas Wanggi sampaikan itu sudah terdengar hingga di ujung puncak. Inilah yang saya maksud usaha tidak ada yang sia-sia.
Kemudian, Mas Wanggi juga mengatakan bahwa, “Ya, satu-satunya cara untuk beraksi adalah buatlah dan lakukanlah.” Memang tidak ada cara lain jika kita ingin melakukan sesuatu. Ya, lakukan saja, nggak perlu banyak nanti-nati. Mas Wanggi melanjutkan, “Bisa isu tentang apa saja. Misalnya, kamu lihat taman di dekat rumahmu rusak, suarakan! Kamu lihat pohon di daerahmu rusak, suarakan!”
Ia menekankan bahwa kita perlu melakukan sesuatu sesuai dengan jalur kita masing-masing. Nggak perlu mengangkat isu yang “tinggi”, angkat apa saja yang ada di sekitar. Nggak perlu juga memikirkan jelek atau bagus, atau ada yang lihat atau tidak. Yang penting, lakukan saja.

Diskusi ini berubah menjadi obrolan yang lumayan seru karena pembawaan Mas Wanggi yang energik dan ekspresif. Ditambah lagi, ia juga bercerita tentang pengalamannya digiring oleh intel.
“Pas saya baru datang, saya bingung, nih. Kok mukanya nggak ada yang saya kenal, ya? Tapi saya tetep masuk aja, nyelonong boy gitu,” ketika saya mendengar cerita ini antara takjub dan bingung. Sebab, saya hanya pernah baca cerita-cerita ini di cerpen atau novel saja.
“Saya udah feeling, nih. Kayak ada yang nggak beres. Yauda saya keluar lagi aja. Eh tiba-tiba ada bapak-bapak nyegat saya, terus tiba-tiba mobil Alphard dateng,” Mas Wanggi menceritakan pengalaman ini dengan biasa-biasa saja, seperti bukan sesuatu yang luar biasa. “Pas saya lihat mobil Alphard dateng, saya seneng sebenernya. Alphard, lho! Tapi, ya, di dalem saya ditanya-tanya.” Ia melanjutkan bahwa ia ditanya kenapa ia menyebabkan keributan dan sebagainya.
Cerita Mas Wanggi pun berlanjut ke cerita yang lain. Salah satu hal yang saya ingat dari perkataan Mas Wanggi adalah, “Kita menjadi bola-bola kecil aja, tapi dampaknya bisa ke mana-mana.” Begitu kira-kira katanya. Saya setuju banget, sih. Sering kali yang besar-besar itu justru tidak memberikan dampak apa-apa. Justru pesan yang ingin disampaikan sering kali tersamar dengan pesan-pesan “bawaan” lainnya. Mas Wanggi menambahkan juga tidak perlu menjadi seorang maestro yang tinggi, atau apalah yang tinggi-tinggi. Semakin tinggi kita berada, semakin kencang pula angin menerpa. Perlu balik ke ajaran padi itu, semakin berisi semakin merunduk.
Saya semakin sadar bahwa ketika ingin didengar dan terdengar, bukan berarti kita harus menaikkan volume suara kita, teriak sekeras-kerasnya. Sebab, dengan berbagai hal bisa dilakukan untuk bisa menyampaikan pesan yang ingin kita sampaikan. Caranya pun bisa bermacam-macam. Nggak melulu harus menggunakan caranya sama dari waktu ke waktu. Kalau kata Mas Wanggi, “Hellooo, ini udah tahun berapa. Masih aja duduk di bawah pohon menunggu hujan dan panas.”
Obrolan bersama Mas Wanggi tidak hanya terjadi ketika acara diskusi saja. Setelahnya, saya dan Mas Wanggi ngobrol sedikit tentang bahasa Isyarat dan pantomim. Saya mengatakan bahwa pantomim itu bukan bahasa, tapi gestur dan sebaliknya, bahasa Isyarat itu, ya, bahasa. Seperti bahasa Bali, Jawa dan lainnya.
Mas Wanggi pun setuju dengan pernyataan saya. Ia bilang, “Kalau di pantomim, misalnya mau gerakan bapak, kan bisa kayak gini, nih.” Ia pun mencontohkan gestur bertubuh besar dengan gerakan-gerakan yang menggambarkan bapak. “Tapi, kalau di bahasa Isyarat kan ga bisa. Kalau bapak gini, ya harus gini. Nggak bisa ganti-ganti.” Mas Wanggi juga menambahkan bahwa pantomim itu bebas sebab terbangun dari imajinasi. Imajinasi, kan, nggak terbatas.
Ya, obrolan perlu berhenti sebab malam juga perlu berhenti. Semoga akan ada lagi pertemuan-pertemuan selanjutnya!
Melalui kesunyian, suara justru terdengar. (T)

Berita diatas dapat di akses di :
http://www.tatkala.co/2018/11/03/melalui-kesunyian-suara-bisa-terdengar-bersama-wanggi-hoed-di-parade-teater-canasta-2018/

Seni Pantomim Antar Wanggi Hoed hingga ke Luar Negeri

Seni Pantomim Antar Wanggi Hoed hingga ke Luar Negeri.


Jurnalis : Oris Riswan Budiana (BeritaBaik).





Bandung - TemanBaik pasti tahu dong dengan seni pantomim? Itu loh seni gerak tubuh, tanpa suara, dan artis atau pelakunya biasanya berwajah putih. Kenalan dengan salah satu artis pantomim yuk!

Salah seorang artis pantomim itu adalah Wanggi Hoediyatno (30) atau yang lebih dikenal dengan nama Wanggi Hoed. Pria kelahiran Palimanan, 24 Mei 1988 itu sudah menjadi artis pantomim sejak 2006. Sejak kecil, ia mengaku sudah tertarik dengan dunia pantomim. Tapi, ia baru mulai aktif mempelajari pantomim sejak 2004.

Ia mulai mencari beragam informasi dan literatur seputar pantomim. Keinginan belajarnya pun semakin besar. Salah satu yang membuat tingginya semangat belajar pantomim adalah karena bergaul dengan orang-orang komunitas pantomim di Bandung.

Kebetulan, pada 2006 ia berkuliah di STSI (sekarang ISBI) Bandung dan mengambil jurusan teater seni pertunjukan. Ia pun semakin giat belajar dan mulai fokus menjadi artis pantomim.

Ia lalu bermain dari satu komunitas ke komunitas lain, serta acara ke acara lain. Hingga akhirnya, ia mendapat salah satu panggung besar, yaitu tampil di pertunjukan teater kolosal di Centre Culturel Francais (CCF) Bandung pada 2007.

Dari situ, semangat belajarnya semakin besar. Bahkan, lebih dari 10 tahun ia terus belajar berbagai hal terkait pantomim untuk menambah pengetahuan dan kemampuannya. Di saat yang sama, ia terus meniti karier sebagai artis pantomim.

Ketekunan Wanggi pun berbuah hasil. Ia sering diundang tampil dalam berbagai kegiatan. Berbagai daerah di Indonesia sudah disinggahi untuk menampilkan keahliannya. Bahkan, ia pernah bermain di luar negeri, yaitu Timor Leste dan Vietnam. Keren kan?

Ada kepuasan tersendiri yang ia rasakan melalui pantomim. Sebab, ia bisa menampilkan kegelisahan publik, protes, serta beragam bentuk perasaan lainnya melalui seni olah tubuh dan ekspresi wajahnya.

Melalui pantomim, ia juga bisa mengajak orang yang menyaksikan aksinya untuk berbuat sesuatu. Di saat yang sama, orang-orang juga diajak berpikir untuk mencerna makna yang ditampilkan dari pertunjukannya.

"Saya bisa memberikan pengertian pada mereka bagaimana pantomim sebagai kesenian yang multitafsir. Itu karena penonton punya persepsi, analisis, sudut pandang, imajinasi, dan cerita masing-masing (untuk menafsirkan pantomim yang ditampilkan)," kata Wanggi kepada BeritaBaik.id, Selasa (18/6/2019).

Di Indonesia, seni pantomim sendiri belum terlalu banyak pelakunya. Bahkan, seni pantomim masih jarang menjadi suguhan dalam suatu kegiatan. Itu berbeda dengan seni lain yang mendapat ruang luas untuk tampil.

Meski begitu, Wanggi mengaku tetap bisa hidup sebagai artis pantomim. Segala kebutuhannya bisa terpenuhi. Bahkan, seni pantomim mampu membawanya berkeliling ke berbagai tempat, termasuk ke luar negeri. Hal itu belum tentu dirasakan orang dari profesi lain. Apa resepnya?

"Saya hidup dengan profesi pantomim ini pasti dengan cinta ya. Melalui porsi cinta ini saya bisa hidup karena saya hidupin seni ini," ungkap Wanggi.

Tapi, ada hal lebih mahal yang dirasakannya jauh lebih besar dari sisi materi atau uang. Melalui pantomim, ia mendapat banyak teman di mana-mana. Hal itu jelas tidak pernah bisa diukur dengan uang.

"Ada silaturahmi yang saya dapat, ini yang berharga karena pantomim ini tujuan awalnya enggak ke sana (mencari materi). Kalaupun ada dalam bentuk materi, itu bonus dan bagian dari rezeki," tutur Wanggi.

Seni pantomim sendiri menurutnya cukup menjanjikan jika dijadikan sebagai profesi. Sebab, pelakunya tidak sebanyak pelaku seni lain. Tapi, perlu jam terbang dan nama agar bisa mencapai posisi seperti dirinya sekarang.

"Menjanjikan, pantomim ini nilai seni pertunjukan yang mahal karena sangat langka dan sulit untuk mencari pelakunya, apalagi pelaku punya biografi yang unik," jelas Wanggi.

Sementara dari perjalanan panjangnya sebagai artis pantomim, Wanggi jelas punya banyak momen menarik. Tapi, salah satu yang paling berkesan adalah bisa tampil di Jakarta di hadapan almarhum Taufik Kiemas yang saat itu menjabat sebagai Ketua MPR RI pada 2011.

Saat itu, ia mengaku tidak sadar jika yang ada di hadapannya adalah seorang pejabat tinggi. Ia baru tahu setelah turun panggung bahwa di hadapannya adalah Ketua MPR RI.

Wanggi sendiri punya satu keinginan besar. Ia ingin tampil di hadapan seseorang yang punya pengaruh besar di Indonesia sekaligus menyampaikan pesan melalui pantomim.

"Saya ingin tampil di depan presiden dan menyuarakan apa yang jadi suara teman-teman yang saya perjuangkan. Tema besarnya sederhana sih yang ingin ditampilkan, sesuai dengan sila ketiga dan keempat Pancasila," pungkas Wanggi.

TemanBaik ingin tahu bagaimana aksi Wanggi bermain seni pantomim? Kamu bisa cek di akun Instagram @wanggihoed atau di channel Youtube Wanggi Hoed Docs.

Foto: Instagram @wanggihoed

Editor : Nita Hidayati

Berita diatas dapat di akses di : https://www.beritabaik.id/read?editorialSlug=sosok-inspiratif&slug=1560842844188-seni-pantomim-antar-wanggi-hoed-hingga-ke-luar-negeri

Selasa, 17 Desember 2019

MIXI MIME FESTIVAL 2017 - MERAWAT PANTOMIM UNTUK SEMUA. 12 TAHUN MIXI IMAJIMIMETHEATRE INDONESIA



MERAWAT PANTOMIM UNTUK SEMUA
Penulis : Agus Bebeng






051219-Mixi1_Beb.jpg
Aksi para seniman pantomim pada Mixi Mime Festival 2019 di Bandung, Senin (2/12) malam. (Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari)
BANDUNG, Tawa, kesedihan dan perenungan bertumpang tindih pada keremangan malam yang dingin membekukan area kantung kesenian Celah Celah Langit Bandung. Manusia-manusia tanpa kata hadir meruang Senin (2/12) malam dalam perhelatan 'Mixi Mime Festival 2019'.

Sebuah mini festival yang digagas para pelaku dan pecinta seni Pantomim itu mengangkat tajuk 'Daya Sukma: Pantomim Untuk Semua'. Festival Pantomim yang sederhana tersebut merupakan hajatan dari kelompok Mixi Imajimimetheatre Indonesia yang merayakan 12 tahun mereka mewarnai kancah Pantomim Indonesia sejak 11 November 2007.

051219-Mixi2_Beb.jpg
Tidak ada keriuhan yang mewarnai ulang tahun mereka selama 2 hari itu. Sejatinya mereka mampu menghadirkan para pelaku dan pecinta seni Pantomim dari luar area mereka selama ini. Namun meski sederhana dan hanya dihadiri lingkungan mereka sendiri, energi 12 tahun melarung dalam seni tanpa kata ini patut diapresiasi.

Kehangatan persaudaraan yang dihadiri para seniman muda ini menjadi tungku yang terus menyalakan semangat perjuangan dan perlawanan Pantomim dalam wacana seni di Bandung, pun Indonesia.

051219-Mixi3_Beb.jpg
Dalam kesederhanaan itu mereka mampu membuat pameran, pementasan, pemutaran film, workshop dan diskusi yang melibatkan beberapa orang terkenal dalam kancah Pantomim.

Tercatat nama seperti; Nur Iswantara pemerhati dan penulis buku Pantomim, Gendis A. Utoyo, Dede Dablo, Mumu Zainal Muttaqin, Sopiyah Opoy & Friend's, Wanggi Hoed, Asytar, Rhamanda Yudha Pratomo, Bib Sokonggo terlibat dalam percakapan dan praktik menghidupkan Pantomim.



"Mixi Mime Festival 2019 sebuah festival pertemuan dan silaturahmi karya para pantomimer khususnya di Bandung dan umumnya di Indonesia," ucap Wanggi Hoed pelaksana acara tersebut. Tema Daya Sukma – ‘Pantomim Untuk Semua’ menurut Wanggi merupakan gagasan dari perjalanan Mixi Imajimimetheatre menjelajahi 12 tahun perjalanan kekaryaan mereka.

"Daya Sukma sendiri bagian dari manifestasi sunyi, yang artinya pergerakan atau aktivitas dari kehidupan yang berdaya (energi), yang didalamnya hadir sukma (jiwa) sebagai nyawa yang terus hidup bagi semua manusia," tegasnya pada acara bedah Buku Pantomim bersama Nur Iswantara, penulis buku 'Wajah Pantomim Indonesia dan Metode Pembelajaran Pantomim Indonesia'.




Nurswantara, dalam kesempatan bedah buku, mengurai dua buku yang diterbitkannya dalam berbagai aspek kajian. Dirinya mengenalkan pelaku, konsep dan metodologi pembelajaran Pantomim kepada para peserta diskusi.
Selain membahas tentang buku Pantomim, disinggung pula pengaruh dan perkembangan Pantomim di Indonesia.

"Dalam perkembangannya kita bisa melihat, apakah para aktor itu pure mengadopsi akan memiliki warna atau dirinya sudah mengolah," ucap Nur.

Berbeda halnya dengan Jemek Supardi. Menurut Nur, Jemek itu untuk mengutarakan dirinya sendiri susah, pada titik itu lingkungan terutama teman-temannya yang harus memahami. Namun pada titik itulah kekaryaan Jemek sangat murni.




Pada sisi lain dirinya pun menyinggung tentang tidak adanya aktor pantomim perempuan yang konsisten menekuni dunia simbolik ini. Nur Iswantara berharap Gendis A. Utoyo mampu melakukan itu, sehingga akan hadir Pantomim perempuan di Indonesia.

Sementara itu menurut Gendis, kelompok Sena Didi Mime yang didirikan pada kurun waktu 1987 oleh Sena A. Utoyo dan Didi Petet memang memiliki pengaruh dari luar, terutama dari tokoh Pantomim dunia yakni; Milan Sladek.

"Bapak (Sena A. Utoyo) pernah belajar di Jerman, tetapi perkayuan, bukan seni. Namun karena minatnya pada Seni, sekolahnya tidak dilanjutkan. Malah akhirnya memiliki kedekatan dengan profesor Milan Sladek. Disitulah Milan memberikan influence kepada bapak dan om Didi (Petet)," ujarnya.

Terlepas dari bahasan diskusi, acara 'Mixi Mime Festival 2019' memang menarik untuk diperbincangkan, terutama ketika membahas Pantomim Indonesia yang punya warna dan karakter sendiri.



Pegiat seni dan aktor teater Iman Soleh, menjelaskan bagaimana pentingnya Pantomim Indonesia memiliki 'wajah' yang berbeda dengan Pantomim lain.
Terutama jika menyikapi khasanah kekayaan n
yang punya beragam budaya yang mampu digali lebih dalam dengan pendekatan Pantomim. "Ketika seniman Pantomim pergi ke luar negeri dan tampil akan memberikan wacana yang berbeda," ucap Iman.

Acara 'Mixi Mime Festival 2019', memang telah usai. Namun percakapan tanpa kesimpulan dalam proses ziarah tubuh para aktor Pantomim memberikan pekerjaan rumah yang besar. Mengutip kalimat Nur Iswantara, bagaimana upaya kedepan agar Pantomim mampu menjadi virus yang mampu membangun karakter bangsa. Wacana pendidikan menjadi hal menarik membangun peradaban Pantomim bukan hanya hadir sekedar estetik.

Ribuan kalimat, pernyataan dan pertanyaan yang berkeliaran reda ketika Senin (2/12) malam para aktor mulai menembakkan pesan kemanusiaan dengan gerak. Tubuh-tubuh naratif itu mengungkap sisi terdalam fragmen kehidupan. Kata memang mati malam itu, tetapi imajinasi tumbuh liar seperti ilalang di kota-kota yang gersang.

Repertoar para pantomimer malam itu menjelaskan kalimat yang pernah diucapkan Sena A. Utoyo: 'Bergerak melalui rasa dan pikiran tanpa hambatan batin' (Agus Bebeng).


Sumber tulisan : https://kumparan.com/bandungkiwari/merawat-pantomim-untuk-semua-1sNox94VheC


Pantomim di Bioskop






Hanya di Tur Mime Tipis Tipis 2019 (CGV Cinema PVJ Bandung)

Pantomim di bioskop
Pantomim dimana saja
Pantomim dimana-mana
Pantomim untuk semua •

• SUNYI YANG DI AMINI •
"Kita semua bergerak dalam kesunyian, sebab kita (manusia) punya dunia sunyi masing-masing. Sebab karena karya kita dalam ruang sunyi itu, dunia akan tahu dan mengamininya, dari itu semua kita cukup pahami saja bahwa berkarya dalam senyap menyelamatkan kita dari sifat yang buruk. Mengabdi dalam sepi (sunyi) menjauhkan kita dari pamrih. Dan berbakti dalam hening mempertegas ikhlas, lalu kita akan terus menenun sunyi dan menyebarkannya ke segala penjuru ruang dimensi. Aku belajar bicara pada hening, pada sunyi yang melintasi hidup, sebab sepi sudah akrab denganku. (Wanggi Hoed)


📸 Photo by @arijalhadiyan
#ceritawanggi #mimejelajah #wanggihoed #yahoeds #pantomimindonesia
#pantomimeindonesia #mime #mimo #bioskop #cinema #audience #mimeincinema #anotherspace #pantomimedibioskop #cgvpvj #peacegen #TurMimeTipisTipis

Jumat, 29 November 2019

Mixi Mime Festival 2019. Bandung, Indonesia.


⏪ Mixi Mime Festival 2019 ⏩

Mixi Imajimimetheatre Indonesia & Celah Celah Langit Bandung mempersembahkan :

Mixi Mime Festival 2019 sebuah festival pertemuan dan silaturahmi karya para pantomimer khususnya di Bandung dan umumnya di Indonesia, festival pertama yang digelar di Bandung serta dalam memperingati 12 tahun Mixi Imajimimetheatre. Tahun ini mengangkat tema : Daya Sukma ; "Pantomim Untuk Semua". Yang akan diselenggarakan pada :

Hari : Minggu & Senin.
Tanggal: 1 & 2 Desember 2019
Pukul : 15.30 WIB s/d 21.00
Tempat : Celah Celah Langit. Jalan Setiabudi no.169/8a Ledeng Bandung. Jawa Barat, Indonesia. (Belakang Alfamart Ledeng).

* Bedah Buku Pantomim bersama :
- Dr. Drs. Nur Iswantara, M.Hum. (Penulis Buku : Wajah Pantomim Indonesia & Metode Pembelajaran Pantomim Indonesia).
- Agus Bebeng (Jurnalis Senior)
- Wanggi Hoed (Seniman Pantomim)
- Gendis A Utoyo (Seniman)
Moderator :
- Wail Irsyad S.Sn (Akademisi)

* Workshop Pantomim :
- Dede Dablo
- Mumu Zainal Muttaqin

* Pertunjukan Pantomim :
1. Gendis A Utoyo (Jakarta)
2. Sopiyah Opoy & Friend's (Solo-Yogyakarta).
3. Wanggi Hoed (Bandung)
4. Mumu Zainal Muttaqin (Bandung)
5. Asytar (Bandung)
6. Rhamanda Yudha Pratomo (Bogor)
7. Bib Sokonggo (Subang)

* Pameran Seni & Arsip Pantomim:
1. Dokumentasi Mixi Imajimimetheatre.
2. Dokumentasi & Arsip Sena A Utoyo.
3. Setia Adhi Kurniawan
4. Andika Y Prakasa

* Pasar Rakyat Kolektif :
1. Dadan Jongko Sebelah
2. Riung Raung
3. Ruang Bumi
4. Sampoer Merah
5. Toko Katemin

* Pemutaran Film Pantomim * :
1. Film tentang Marcel Marceau
2. Film tentang Sena Didi Mime
3. Film tentang Charlie Chaplin

Sampai Bertemu di Mixi Mime Festival!

Artwork by @amenkcoy

#MixiMimeFestival2019 #MimeFestival #MixiImajimimetheatre #CelahCelahLangit #BedahBuku #BukuPantomim #WorkshopPantomim #FilmPantomim #PameranSeni #PasarRakyat #FestivalMime #MimeFest #Festival #PantomimeIndonesia #PantomimIndonesia #Pantomim #Mime #LokalForGlobal #Bandung #Indonesia

Sabtu, 01 Juni 2019

PRESS RILIS

MIXI IMAJIMIMETHEATRE INDONESIA DAN NYUSUR HISTORY INDONESIA
= SENI PERTUNJUKAN MUDIK BERJALAN - NYUSUR HISTORY MUDIK MOVEMENT 8 =
“SENI MUDIK, MUDIK BERSENILAH” - SABTU, 1 JUNI 2019. PUKUL : 16.00 WIB s/d BUKA PUASA.
RUTE NYUSUR : SIMPANG LIMA ASIA-AFRIKA -  HALTE ALUN-ALUN BANDUNG.





Tahun 2019 ini Nyusur History Mudik Movement kembali melaksanakan ibadah tubuhnya yang setiap tahun digelar, tahun 2019 kali ini adalah tahun ke 8 telah ditunaikan. Dengan mengambil tema : “Seni Mudik, Mudik Bersenilah”, berkisah segerombolan tubuh-tubuh perantau berjalan mencari arah jalan menuju pulang ke kampung halaman, seakan terjebak dalam migrasi tubuh bising kota, kadang gerombolan itu diam, menyapa, senyum menyeringai, bertanya-tanya pada publik yang lalu lalang. namun tubuh-tubuh itu terus mencari dimana kelak mereka menemui tubuhnya sendiri, seolah mencari ari-ari yang tertanam ditanah lahirnya, akhirmya tubuh mereka menjelma menjadi tubuh pembawa pesan, tubuhnya menjadi tubuh seni diruang yang berderu polutan, bernafas raungan dan kerutan dahi dari kebingungan pilihan diantara ketidakpastian, walhasil tubuhnya bersama bergumul bersama tubuh pekerja kota yang hendak pulang atau berpergian ke ruang kesepiannya masing-masing. Tubuh pemudik yang berbagi melalui seni hadir disana.

“Seni Mudik, Mudik Bersenilah” merupakan interpretasi peristiwa seni panggung jalanan dari gejala beserta fenomena mudik saat ini. Para pemudik (warga) telah diberi fasilitas yang aplikatif didunia digital yang semakin massive hari ini. Namun itu semua menjadi pilihan yang kadang membingungkan bagi sebagian warga, dari harga tiket transportasi yang melambung hingga tekanan ekonomi serta budaya informasi yang berhamburan bahkan kecelakan yang tak diinginkan, dari itu semua yang terjadi kita menjadi lupa arti essensi dari mudik itu sendiri. Bahwa pulang adalah peristiwa seni kehidupan dimana kita kembali ke asal dimana kita lahir. Selamat menjadi saksi seni mudik tahun ini.

Mudik merupakan kegiatan perantau untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan, misalnya menjelang lebaran. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, mudik boleh dikatakan sebuah tradisi yang mutlak harus dilaksanakan. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang lama tersebar di perantauan, selain tentunya juga dengan kedua orangtua. Budaya mudik adalah suatu nilai sosial positif bagi masyarakat Indonesia, karena dengan mudik berarti masyarakat masih menjunjung nilai silaturahmi antar keluarga. Dalam mudik khususnya menjelang lebaran saat ini, bukan hanya menjadi milik ummat muslim yang akan merayakan idul fitri 1440 H bersama keluarga namun telah menjadi milik “masyarakat Indonesia”, karena pada dasarnya bersilaturahmi adalah hakikat dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, makhluk yang berinteraksi dengan semestaNya, antar manusia dan alam.
Buat semua yang mau Mudik. Hati-hatilah dengan semua barang bawaan Anda. Jaga kesehatan dan keselamatan selama perjalanan dan Selamat sampai tujuan, karena saudara dan handai taulan serta keluarga besar menantikan Anda di rumah dan bahagia menyertai kita semua. Salam Mudikers dari kami.
Selamat Lebaran Hari Raya Idul Fitri 1440 H -  Selamat Merayakan Mudik Semuanya. Terima kasih

Bandung, 1 Juni 2019 

Jumat, 22 Maret 2019

Media Rilis Bandung Indonesia World Mime Day 2019

                     Official Poster Bandung Indonesia World Mime Day 2019. Artwork by Setia Adhi Kurniawan.


MEDIA RILIS

BANDUNG, INDONESIA WORLD MIME DAY 2019.
JUMAT, 22 MARET 2019.
PUKUL : 13.00 s/d 16.00 WIB.
RUANG MULTIGUNA PERPUSTAKAAN ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) BANDUNG.

LANGUAGE OF ALL - TUMBUH SUNYI MEMBUMI

World Mime Day (Hari Pantomime Sedunia) adalah gerakan inisiatif di seluruh dunia dari World Mime Organisation untuk merayakan Seni Mime dan komunikasi non-verbal pada tanggal 22 Maret adalah Hari kelahiran seniman legendaris dan Maestro Mime dari Perancis ialah Marcel Marceau. Kegiatan yang dirayakan sejak tahun 2011 di berbagai negara di 4 benua.

Di Bandung telah digelar sejak tahun 2011 setiap tahunnya, atas inisiatif seniman pantomime Wanggi Hoed bersama Mixi Imajimimetheatre Indonesia. Berbagai ruang telah menjadi rekam memori tersendiri bagi apresiator dan masyarakat seni pertunjukan yang telah menyaksikan World Mime Day setiap tahunnya, dengan tema yang berbeda-beda. Kali ini dengan mengangkat tema : “Tumbuh Sunyi Membumi” adalah seruan kebaikan dari perjalanan pertumbuhan seni pantomim di segala penjuru dunia dengan kesunyian yang membumi, salahsatu pesan dan penghormatan kita di Hari Kelahiran Maestro Mime Marcel Marceau juga pada kehidupan yang bergerak sunyi seperti air, tumbuh seperti padi yang tak berisik serta karya dan suara tubuhnya membumi ke setiap zaman memberi pesan ingatan melalui bahasa tubuh dan imajinasi yang terus digerakkan oleh kesadaran dan jiwa setiap manusia. Hadirnya kegiatan serentak di berbagai titik negara dan kota di dunia ini  merupakan Revolusi Mime dari seni bisu, bahwa pantomime dapat menjadi pengerak kelanjutan pemikiran selain jembatan kehidupan untuk memanusikan manusia melalui bahasa tubuh. Pantomim, seni tertua peradaban manusia sebelum manusia berkata-kata.

Perayaan World Mime Day / Hari Pantomime Dunia kali ini di Indonesia akan berpusat di Bandung, bertempat di Ruang Multiguna Perpustakaan ISBI Bandung. Akan ada beberapa kegiatan seperti ; Deklarasi Masyarakat Pantomime Bandung, Pertunjukan Pantomime, Pemutaran Film Dokumenter (Marcel Marceau dan Charlie Chaplin), Live Drawing Showcase oleh Setia Adhi Kurniawan, Pembacaan Puisi, Live Musik dan Diskusi : Tumbuhkembang Pantomime di Bandung dan Indonesia. Dalam merayakan Hari Pantomime Sedunia, World Mime Organisation merayakan di negara Bulgaria dengan berbagai kegiatan, mulai dari workshop, seminar dan pertunjukan pantomim.

Pantomime Bahasa Untuk Semua, Pantomime Bahasa Perdamaian..

Penulis, Wanggi Hoed (Inisiator Indonesia World Mime Day 2019)