WANGGI Hoediyatno,seniman pantomim yang lahir di
Palimanan, Cirebon, 26 tahun silam. Selain kecintaannya terhadap
seni pantomime, ia juga menyukai travelling. Dua hal inilah yang kemudian mengantarkan Wanggi
berkeliling dunia.
Dengan
pantomim itu pulalah, ia berkesampatan menunjukkan
pada dunia, bahwa pantomim di Indonesia itu ada, berbeda,
dan berlipat ganda.Wanggi sering
berkolaborasi dengan seniman-seniman lokal, nasional hingga mancanegara.
Ia
pernah berkolaborasi dengan Circus dari Prancis Chabatz de’entrar pada 2013
silam. Ia juga sempat melakukan tour ke 8 kota di Indonesia, dan juga menyambangi Timor
Leste dan Vietnam.
Selain melakukan
kolaborasi dengan seniman mancanegara, Wanggi juga berkesempatan menampilkan karya seninya di
hadapan Mantan Ketua MPR RI Taufik Kiemas, Sudjiwo Tedjo,
dan “Lady Rocker Indonesia” Ayu Laksmi.
Wanggi memang
sangat kental dengan karakter idealismenya. Ia mempunyai sikap terhadap apapun,
termasuk terhadap dirinya, dan keadaan sosial. Ia mulai khawatir dengan keadaan
masyarakat Indonesia yang semakin cenderung apatis, diam terhadap ketidakbiasaan
dalam masyarakat.
“Saya
khawatir dengan keadaan masyarakat yang apatis, yang diam terhadap pelanggaran
dalam masyarakat.Dengan pantomim, saya
berusaha bersuara, lewat gerak yang diberi makna, biar
masyarakat tau, dan tidak apatis lagi,”.ujar pria
berkumis ini.
Wanggi peduli
terhadap keadaan sosial. Ia selalu meriset berbagai hal pelanggaran sosial, dan
ia coba menyerap kegelisahan, ketakutan, ketidakberesan yang ada pada kasus
tersebut. Lalu, ia tafsirkan pada gerakan-gerakan tubuh,
sehingga muncullah gerakan pantomim yang selalu ia tampilkan
setiap Kamis. Acara ini
diberi nama “Kamisan”.
Tak
Akan Pernah Berhenti
Aksi Kamisan
itu merupakan aksi diam dengan berbagai tuntutan
penyelesaian terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia,
kasus Munir, wartawan Udin, Marsinah dan banyak lagi.
Kegiatan ini
dilakukan setiap Kamis di depan Gedung dinas Gubernur Jawa
Barat atau sering disebut Gedung Sate. “Saya tidak
akan pernah berhenti melakukan aksi hingga pengadilan HAM dibentuk. Saya
berharap pemerintahan baru merealisasikannya,” tandas
Wanggi.
Pemikiran Wanggi
terhadap seni dan isu sosial sangat kuat, tidak pernah ada batasan pada dirinya
untuk mengekspresikan energi positif terhadap kecintaannya itu. Walaupun teror
dimana-mana, ia merasa suara keadilan sosial
harus terus disuarakan. Keinginan sederhana inilah yang membuat
ia kuat dan terus berkarya.***
[] Agvi Firdaus, Anthea Novita, Dea Andriyawan, Elma Salma Zakiah
| Prodi
Jurnalistik UIN Bandung
WANGGI Hoediyatno, seniman sekaligus aktivis sosial.Dia berkarya, sekaligus menyuarakan kritik sosial baik terhadap pemerintah maupun masyarakat, melalui seni pantomim yang digelutinya. Lebih dari sembilan tahun, Wanggi menyuarakan berbagai isu sosial dengan karyanya. Ini sebuah bentuk kegelisahannya terhadap kondisi masyarakat, dan pemerintahan di Indonesia. Wanggi lahir di palimanan Cirebon, Jawa Barat, 26 tahun silam, Ia berasal dari keluarga sederhana, yaitu pasangan Rudi Budiarjo dan Leli Sulaeli. Rudi Buadiarjo, pensiunan BUMN, dan Lalei merupakan Ibu Rumah Tangga. Wanggi mulai menemukan kelebihannya sewaktu ia masih kecil.Ia menyukai seni menggambar, seni musik hingga teater.Sampai akhirnya, ia menemukan dirinya pada seni pantomim yang hingga saat ini ia geluti dan cintai. Wanggi,lulusan strata satu STSI Bandung dengan mengambil minat penyutradaraan pada tahun 2012. Kemudian ia bergabung pada kelompok teater Independent Cassanova, yang merupakan gerbang tempat kemampuan berteater dia terasah.
Otodidak Kemudian ia belajar pantomim secara otodidak dan akhirnya mengantarkan dia pada minat dan kecintaan terhadap seni yang sesungguhnya. Idealisme dan sikapnya terhadap seni mendapatkan perhatian lebih dari musisi lain, dan itu merupakan hal yang dimiliki Wanggi sebagai seorang seniman.
Kiprah Wanggi di dunia pantomim
pun dipandang sangat berat, sebelum akhirnya menemukan titik di mana
jalan menuju tujuannya terbuka lebar. Wanggi sudah sering berkolaborasi
dengan seniman-seniman lokal, nasional hingga mancanegara.
Wanggi pernah berkolaborasi dengan Circus dari Prancis Chabatz de’entrar pada 2013 silam. Ini merupakan pencapaian yang membanggakan bagi dirinya, selain tour ke 8 kota di Indonesia, Wanggi juga diajak menyambangi Timor Leste dan Vietnam. Selain berkesempatan melakukan
kolaborasi dengan seniman mancanegara, Wanggi juga dapat berkesempatan
menampilkan karya seninya di hadapan Mantan Ketua MPR RI Taufik Kiemas, Sudjiwo Tedjo, dan “Lady Rocker Indonesia” Ayu Laksmi.
Kritik Sosial Selain beranggapan, seni itu karya, Wanggi juga berpendapat seni juga merupakan media penyampai pesan. Lewat seni pantomim yang ia tampilkan, dia selalu menyematkan pesan-pesan, kritik-kritik sosial yang “pedas” terhadap pemerintah. Hal tersebut merupakan bentuk kegelisahannya terhadap hal-hal yang terjadi di negeri ini. Ia beranggapan, kesenian merupakan media yang tepat untuk menyuarakan kemanusiaan, halus namun berdampak luas. Aksinya itu bukan hanya didengar masyarakat indonesia, tapi sampai ke negara-negara benua Eropa. Ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat sana yang mengirim pesan terhadapnya melalui surat elektronik, yang memberikan apresiasi dan dukungan moril bahwa kesenian merupakan media kritik sosial juga.
Ancaman dan teror menjadi makanan sehari-hari. Pembunuhan, penculikan, dan ancaman lain biasa ia terima. Tapi dengan idealisme dan keyakinannya, Wanggi yakin “gerakannya” tidak akan pernah mati menyampaikan pesan dan kritik.
Tak terhitung media yang selalu
meliput aksinya, ia selalu mengoleksi berita-berita tentangnya, bukan
tanpa tujuan, ia hanya ingin meyakinkan bahwa perjuangannya tidak akan
pernah mati.***
Agvi Firdaus, Anthea Novita, Dea Andriyawan, Elma Salma Zakiah | Prodi Jurnalistik UIN Bandung Website : http://bandungoke.com/view.php?id=20150103105213
WANGGI Hoediyatno, seniman yang akrab dipanggil Hoed. Ia
adalah seniman pantomim muda asal Cirebon. Ia lahir di Palimanan,
Cirebon, 24 Mei 1988. Hoed ini anak keempat dari lima bersaudara, dari
pasangan Rahudi Budiarjo dan Leli Sulaeli.
Ia
mulai menyenangi seni olah tubuh sejak duduk di bangku Sekolah Menengah
Pertama, hingga ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di
Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.
Pertunjukan-pertunjukan pantomim telah ia gelar di dalam maupun luar
negeri, dari pinggir jalan hingga gedung-gedung pertunjukan.
Usianya
relatif muda. Namun, Wanggi memiliki visi ke depan dengan menekuni
pantomim. Terlebih, apa yang dilakukannya itu dilakoni dengan penuh rasa
cinta. Itulah hal pertama yang diungkapkan olehnya.
Kecintaan
Wanggi terhadap pantomim itu kerap dilakukan dengan aksi nyata. Sejak
18 Juli lalu, dia bersama komunitas Mixi Imajimime Theatre Indonesia dan
Indonesian Mime Artist Association melakukan aksi Kamisan yang lebih
dikenal dengan Aksi Melawan Lupa.
Saat itulah
kepiawaian Wanggi sebagai seniman pantomim muncul dan berkembang,
meskipun tak semulus yang orang bayangkan. Ia mengakui, banyak kalangan
yang belum menerima pantomim sebagai seni yang patut diapresiasi.
Aksi
tersebut rutin dilakukan oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk
Keadilan (JSKK) bersama dengan keluarga korban pelanggaran hak asasi
manusia (HAM). Di Jakarta, aksi di pertengahan pekan itu rutin dilakukan
di depan Istana Negara.
Selain keluarga korban
HAM, mereka yang terlibat dalam aksi Kamisan itu yakni para aktivis,
masyarakat, tokoh, beserta mahasiswa yang menuntut Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono waktu itu agar segera menuntaskan semua kasus
pelanggaran HAM.
"Kalau
di Bandung yang dilakukan di depan Gedung Sate, ini baru beberapa kali.
Tapi, di Jakarta sana aksi Kamisan ini sudah dilakukan sebanyak 310
kali. Dari ratusan aksi itu kita selalu diabaikan oleh pemerintah,"
paparnya.
Setiap Kamis, lanjut
Wanggi, kita mengirim surat kepada Presiden SBY waktu itu, agar
menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Tapi tetap belum ada jawaban.
Janji Terus Bersuara
Pria
ber kumis tebal itu mengaku aksi yang dilakukan itu mendapat
trasformasi energi dari ibu kota negara. Aksi yang dilakukan itu tak
lain untuk mengingatkan kembali kepada pemerintah. Hingga saat ini semua
kasus pelanggaran HAM di Indonesia belum ada yang dituntaskan.
Menurut
Wanggi, bahasa tubuh adalah bahasa yang universal. Semua manusia akan
memahami tanda-tanda gerak tubuh yang sifatnya konvensional. Ia mengakui
akan terus bersuara dalam diam, bergerak menyampaikan isu-isu sosial
kemanusiaan dari gedung pertunjukan hingga jalanan.
"Saya
menghidupkan pantomim, sehingga pantomim pula yang menghidupkan saya.
Saya akan terus berpantomim sampai benar-benar tak sanggup lagi untuk
bergerak dan bila imajinasi saya sudah pupus," tutup Wanggi. ***
[] Agvi Firdaus, Anthea Novita, Dea Andriyawan, Elma Salma Zakiah | Prodi Jurnalistik UIN Bandung
Merintis karier sebagai pantomimer membuat Wanggi Hoediyatno memahami
seni sebagai idealisme tertinggi dari manusia. Dimulai dari nol, karier
seni pantomim yang telah merambah hingga kancah internasionalnya tak
ayal menemui jalan tak mulus. Bukan sekali dua kali saja. Tapi rintangan
demi rintangan membuat Wanggi semakin teguh sebagai seniman lokal
pantomim dan menggerakan Mixi Mmajimimetheater, sebuah ruang yang bukan
hanya tempat latihan pantomimer, melainkan tempat diskusi dan tempat
imajinasi para manusia yang tertarik akan seni.
Dimulai sejak 2007, komunitas Imajimimetheather yang ber-basecamp di
kost-an Wanggi sendiri, terbentuk. Komunitas yang kini bernama Mixi
Imajimimetheater ini awalnya berjumlah 15 orang, namun kini hanya
menyisakan 3 orang. Konsistensi Wanggi yang ingin menghidupi dunia
pantomim lokal membuatnya bertahan hingga 8 tahun lamanya. Dia
membebaskan saja siapa yang pergi dan siapa yang datang untuk mengikuti
jejaknya. Karena seni merupakan panggilan jiwa, katanya.
Wanggi memulai dunia pantomim dengan mengamen di jalanan, menjadi
‘manusia silver’, hingga menjadi seperti sekarang ini. Perjalanan
kariernya tak jarang diputar-balikan keadaan yang tidak malah
menjadikannya mundur. Pernah pada tahun 2011, hasil pertunjukannya
dirampas habis oleh para kriminal. Braga, tempat kariernya lahir, pada
saat itu harus menjadi saksi bisu pula kekecewaan Wanggi terhadap
keadaan sosial. Namun karena kejadian itu, Wanggi malah menggelar
pertunjukan berjudul “Braga Aku Kembali” sebuah pagelaran di mana Wanggi
membuktikan jatuh bangunnya dia tidak membuatnya menyerah untuk tetap
menghidupkan dan mengenalkan pantomim pada masyarakat.
Tidak mudah untuk melakukan suatu pertunjukan pantomim, diperlukan
latihan, meditasi, dan Yoga untuk melatih gerak tubuh. Pantomim bukan
hanya untuk menghibur, melainkan suatu penyampaian pesan, suatu wadah
untuk mengangkat kembali isu-isu sosial dan kemanusiaan yang telah
dilupakan masyarakat.
“Manusia sekarang itu butuh selain yang enak, juga butuh yang enek.
Nah di pantomim ini kita kasih yang enek. Karena mereka tidak akan
mengerti, tapi kita tidak memaksakan mereka untuk mengerti. Karena di
pantomim kita bermain imajinasi,” ujar Wanggi.
Pria kelahiran 24 Mei 1988 ini pun menjelaskan bahwa sejarah pantomim
itu berat. Pantomim menurutnya adalah seni kebebasan yang bisa bermain
diruang apa saja, dan bisa ‘memerangi’ para pembunuh zaman.
“Disitulah pertaruhannya. Dan pertaruhan saya adalah bagaimana
membuat penonton tersenyum mengerti, bukan tertawa,” tutur Wanggi.
Harapan Wanggi ini hanyalah masyarakat bandung lebih mengerti dan
menghargai pantomim. Pria lulusan seni teater STSI ini pun berharap
pantomim tetap dapat menjadi alat perjuangan. “saya juga berharap bahwa
suatu saat komunitas pantomim memiliki rumah proses sendiri yang
independen tanpa campur tangan pihak-pihak manapun,” ujarnya kembali. (Nida Amalia Sholehah, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)
Wanggi Hoed, seniman pantonim Bandung mendongeng di depan anak-anak
di Alun-Alun Kota Bandung, Sabtu, (28/11/2015). Sesuai dengan seni yang
diperankannya, Wanggi mendongeng tanpa bersuara. Ia mendongeng dengan
gerak tubuh dibantu dengan sebuah boneka tangan.
Dongeng Wanggi menceritakan kegembiraan anak-anak yang diberikan
kebebasan oleh orang tuanya untuk berkreativitas. Namun meski tanpa
suara dan bermodalkan gerak tubuh dan mimik muka, Wanggi berhasil
membuat anak-anak tertawa.
Wanggi merupakan satu dari beberapa pendongeng yang turut meramaikan
Deklarasi Hari Dongeng Nasional. Deklarasi ini ingin menjadikan hari
kelahiran Pak Raden yakni tanggal 28 November sebagai Hari Dongeng
Nasional.[]
Dewasa ini, seni pantomime menjadi salah satu alternatif kesenian
yang diminati oleh para pemuda/i di Indonesia, terutama di kota-kota
besar. Buntung.co. melakukan wawancara dengan salah
satu seniman pantomime asal kota Bandung, Wanggi Hoed, yang terakhir
tampil di acara Mata Najwa, Metro TV. Wanggi Hoed memiliki gagasan
mengenai pantomime jalanan (street pantomime). Berikut kutipan wawancara lengkap Wanggi Hoed dengan Ikbal Maulana dari Buntung.co. Buntung.co: Sejak kapan Wanggi Hoed berpikir melakukan pantomime di jalanan? Wanggi Hoed (WH): Sudah sejak lama, ketika saya
masih duduk di bangku SMP, SMA, kemudian dilanjutkan semasa kuliah di
STSI Bandung sampai sekarang. Energi jalanan itu sangat kuat buat saya
sendiri ketika terjun melakukan beberapa aksi-aksi kreatif tanpa
kekerasan (pantomime), seiring jalan menjadi bentuk yang tidak disadari
bahwa jalanan adalah sebuah tempat kejam sekaligus mengasyikan dan di
sana terjadi berbagai interaksi. Melalui pantomime jalanan terjadi
banyak pertemuan ide-ide. Buntung.co: Mengapa harus memilih jalanan
sebagai ruang kreatif Wanggi Hoed melakukan pantomime, apakah memang
tidak ada orang yang ber-pantomime di jalan, ataukah ada alasan lain? WH: Pada akhirnya itu adalah satu bentuk sikap saya.
Di jalananlah saya menarik benang merah bahwa pantomime tidak harus
merasa eksklusif. Selain itu, pantomime jalanan akan menjadi ciri khas
tersendiri, yakni lebih dekat dengan masyarakat. Dan dijalanan,
pantomime bisa memasuki ruang-ruang kebebasan. Saya ingin mengutip salah
satu quote tokoh pantomime yakni Druliland yang eksis pada
tahun 1921, ia berkata “pantomime memasuki ruang-ruang kebebasan dan di
sana ia akan terus memerangi para pemimpin jaman”. Akhirnya, para
seniman pantomime akan dipersilahkan memilih mau berkarya di ruang
konvensional atau di jalanan? Apabila ia memilih jalanan maka akan
selalu bergesekan dengan masyarakat, para penguasa jalanan, bahkan para
aparat negara. Jadi, sejak dulu pantomime selalu melakukan kritik atas
kebijakan-kebijakan penguasa yang menyimpang. Di Indonesia pun terjadi
semacam penyimpangan tersebut. Seturut perkataan dia maka saya melakukan
perang tanpa suara (baca: pantomime) di jalanan. Buntung.co: Jadi di jalanan adalah akses yang paling memungkinkan untuk melakukan penyadaran pada masyarakat? WH: Ya, akses yang paling memungkinkan untuk
menyampaikan satu pesan, isu, dan menyadarkan masyarakat sekitar apa
yang tengah terjadi di Negaranya sendiri. Jika pantomime dipentaskan di
panggung konvensional maka akan terkesan eksklusif dan belum tentu isu
atau pesan akan tersampaikan. Buntung.co: Apa saja sih tema yang selalu diangkat oleh Wanggi Hoed ketika melakukan pantomime jalanan? WH : Selama 7 tahun kebelakang, saya selalu
mengangkat tema-tema sosial, kemanusiaan, lingkungan, sejarah dunia, dan
fenomena urbanisasi. Saya merangkum isu-isu tersebut untuk dijadikan
sebuah karya dan bekerjasama dengan NGO serta lembaga-lembaga independen
yang fokus terhadap isu-isu tersebut. Tujuannya ialah mengingatkan
sekaligus menyadarkan pemerintah dan masyarakat akan keadaan sosial
kita, kemanusiaan kita, lingkungan kita yang semakin dirusak oleh proyek
pembangunan, urbanisasi, penggusuran, dan warisan-warisan kebudayaan
dunia yang sekarang sudah semakin ‘hilang’ oleh tindakan genosida
kebudayaan (penghancuran situs kepurbakalaan). Dewasa ini, saya sedang
masuk pada jalan kesemestaan untuk dijadikan sebuah isu. Buntung.co: Apa itu isu kesemestaan? WH: Isu ini masuk pada wilayah bentuk spiritual.
Sebuah rangkuman perjalanan saya untuk mengingatkan kembali bahwa ketika
ketidakadilan itu hadir kita akan selalu melawan dengan cara kita
masing-masing. Akhirnya, bentuk pantomime jalanan saya mengambil
bentuk-bentuk ritual. Suatu bentuk perlawanan tanpa kekerasan. Jadi
ketika kita belum dilahirkan pun kita sudah melakukan perjuangan, bahkan
orang tua kita sudah melakukan hal tersebut. Artinya, harus diteruskan
perjuangan tersebut agar tidak sia-sia. Tentu saja, harus ada
konsistensi. Buntung.co: Apakah ada pengalaman lain yang mengarahkan Wanggi Hoed pada isu kesemestaan ini? WH: Ya, dari pengalaman (orang tua dan kelahiran)
itulah saya mencoba merawat ingatan ini sebagai bentuk sejarah yang
tidak boleh putus. Selain itu, pengalaman saya melakukan pentas di
panggung, jalanan, dan berbagai tempat, membuat diri saya merasakan
sesuatu yang maha dahsyat. Pada waktu lalu, saya pun melakukan pantomime
di puncak Gunung Semeru. Hal ini mengajarkan saya bahwa kenyataannya
kita ini begitu kecil. Oleh karena itu, kita harus selalu mem-bumi agar
dibaca oleh kawan-kawan yang melihat apa yang sedang kita lakukan. Buntung.co: Artinya Wanggi Hoed mencoba mengangkat tema yang sangat universal? WH: Ya, saya mencoba untuk tidak masuk pada
ranah-ranah yang negatif. Saya terkadang tidak mau berkecimpung di ranah
birokratis. Saya hanya ingin menyuarakan secara lantang dengan tubuh
saya. Saya mencoba mengakar, mengukur, menakar situasi dengan melakukan
observasi terhadap kondisi publik, lalu karya apa yang harus dibuat.
Setelah itu, saya terjun ke ruang publik, karena di sana tantangan
terbesarnya. Ini sangat sulit sebab persoalannya apakah publik menerima
atau tidak? Apakah bentuk-bentuk semacam ini, katakanlah, saya memakai
dupa yang mengarah pada ritus, publik akan menerima atau tidak? Karena
sudut pandang mereka menilai pantomime itu hanyalah sebuah hiburan. Nah,
saya mencoba menarik energi dari tokoh pantomime seperti Charlie
Chaplin dan Marcel Marceau, karena mereka membuat satu bentuk
tragik-komik (tragedi-komedi). Pada akhirnya orang tersadarkan oleh
film-film bisu mereka, mungkin karena sejarah pantomime itu sendiri
lahir dari pengalaman seorang manusia, bahkan karya Marcel Marceau tidak
lepas dari biografi hidupnya, ketika Marcel Marceau yang saat itu
berusia 5 tahun harus menyaksikan ayahnya meninggal dalam peristiwa holocaust.
Di Indonesia pun, ada hal semacam itu, akhirnya saya pun menarik satu
kesimpulan bahwa pantomime menggunakan tubuh sebagai medium bahasa,
sebab bahasa tubuh adalah bahasa universal. Buntung.co: Wanggi Hoed sendiri mendapat inspirasi dari mana, sehingga bisa menciptakan karya-karya pantomime jalanan? WH: Tentu ada, saya mendapat pengaruh dari Charlie
Chaplin, Marcel Marceau, Buster Keaton, Kazuo Ono, Vina Boost, dan
beberapa seniman-seniman teater baik dalam maupun luar negeri. Tetapi,
saya fokus di kedua tokoh yakni Charlie Chaplin dan Marcel Marceau,
karena mereka berdua memiliki energi yang sama dengan saya untuk
menyuarakan persoalan sosial dan kemanusiaan yang tengah terjadi
dimana-mana. Saya mampu melakukan pantomime dalam keadaan sakit
sekalipun, ini terbantu oleh energi, biografi, gagasan, dan perjuangan
mereka. Buntung.co: Adakah keinginan untuk sama seperti tokoh idola Wanggi Hoed, atau bahkan melampauinya? WH: Saya tidak mungkin melampaui mereka, karena
sejarah mereka sudah kuat. Tapi untuk membuat generasi seperti mereka
itu sangatlah mungkin. Saya sendiri tidak mau disebut sebagai maestro.
Tapi bagaimana caranya masyarakat dunia bisa melihat pantomime di
Indonesia hadir beserta kearifan lokalnya dan mengangkat apa yang
menjadi fenomena beserta perjalanan sejarahnya. Kenapa saya berbicara
mengenai kearifan lokal, karena saya orang Indonesia bukan orang Eropa. Buntung.co: Pada intinya saya tidak ingin menjadi Charlie Chaplin atau Marcel Marceau, tetapi ingin menjadi Wanggi Hoed saja, bukan begitu? WH: Saya ingin menjadi seorang Wanggi Hoed yang bisa
menikmati keindahan alam Indonesia, kebudayaannya, dan keberagaman suku
di Indonesia. Hal itu yang ingin saya angkat ke permukaan. Di sanalah
sumber energi budaya yang kita punya. Pada saat pantomime masuk pada
bentuk kearifan lokal Indonesia, maka kita bisa menancapkan ciri khas
kita bahwa pantomime Indonesia seperti ini, lho. Itulah suplemen yang bergizi buat saya dan teman-teman seperjuangan. Buntung.co: Berarti tokoh idola yang Wanggi Hoed
sebutkan hanya diambil energi beserta ide-idenya saja, sehingga tidak
begitu penting bagi Wanggi Hoed untuk melampaui mereka? WH: Saya ambil energi dan ide, tidak perlu melampaui
mereka. Bahkan ingin menyamakan derajatnya pun tidak perlu. Jika baca
sejarah mereka kita tahu hal itu tidak perlu. Saya tidak takut untuk
‘mati muda’, karena kematian niscaya terjadi, itu bentuk perjalanan yang
mengantarkan kita ke suatu tempat. Buntung.co: Dimana sih Wanggi Hoed biasa melakukan pantomime jalanan, trotoarkah, halaman rumahkah, pelataran parkirkah, atau? WH: Hari ini tepat 1 dekade saya melakukan pantomime
dan sudah merasakan beberapa ruang yang menurut masyarakat tidak masuk
akal. Dari mulai jalanan, trotoar, sungai, jembatan, situs sejarah,
makam-makam, sawah, hutan, terminal, stasiun, halte, danau, terakhir di
puncak Gunung Semeru. Sebagai seniman pantomime kita harus menciptakan
ruang. Ruang tercipta karena keberanian. Karena resiko di ruang publik
sangatlah besar, terutama perizinan, jika harus ada semacam itu. Buntung.co: Adakah tempat yang belum Wanggi Hoed singgahi dan mempunyai rencana pentas pantomime di sana? WH: Tempat yang belum pernah saya singgahi adalah kedalaman laut. Ha ha ha. Saya kepingin pentas di sana. Ha ha ha. Buntung.co: Kapan kira-kira rencana pentas di sana? WH: Saya sedang menyusun agenda, apakah tahun ini
atau tahun depan. Saya harus benar-benar melatih tubuh saya untuk masuk
ke kedalaman laut. Buntung.co: Bagaimana tanggapan publik melihat aksi kreatif Wanggi Hoed? WH: Tanggapan publik bermacam-macam, ada yang ingin
belajar, meminta tips pantomime, sampai yang mengolok-olok baik melempar
es krim maupun meludah. Ya, saya menikmati saja tanggapan yang beragam
ini. Walaupun, saya harus masuk pengadilan, mendekap di ruang tahanan,
diinterogasi polisi, dan sebagainya, karena mereka tahu jika mereka
sedang dikritik secara lembut oleh saya. Agar masyarakat tahu bahwa
pantomime jalanan ini sisi komedinya minim. Buntung.co: Apa sih terobosan Wanggi Hoed untuk memajukan pantomime jalanan? WH: Saya ingat bahwa angin di atas lebih kencang,
jadi apapun terobosan yang dilakukan oleh kawan-kawan seniman pantomime
silahkan kembangkan sampai menjadi besar bahkan eksklusif. Saya tidak
melarang. Tapi saya harus tetap bersama masyarakat, terutama di jalanan
dan mengingatkan terus bahwa pantomime Indonesia berbeda dengan
pantomime Prancis, Jerman, Inggris, dan Rusia. Buntung.co: Wanggi Hoed sudah memiliki jam
terbang yang banyak juga pernah berkolaborasi bersama seniman Prancis
dengan mencipta karya Sirkus Kontemporer dan mementaskan di Vietnam,
lalu beberapa kali pentas di luar kota, terakhir di Metro TV. Dari
perjalanan yang panjang itu apa yang ingin Wanggi Hoed bagikan? WH: Dalam perjalanan setiap manusia tentu memiliki
tantangan, halangan, kebahagiaan, penyelasan, bahkan kesunyian. Di sini
saya mencoba membagi pengalaman pantomime saya, bahwa bagaimana
mendedikasikan hidup dalam satu tempat. Lalu, bagaimana berpikir untuk
lingkungan, situasi sosial, dan Indonesia, dengan mental yang tidak imun
kritik. Jika anti kritik silahkan mati saja. Buntung.co: Selama ini Wanggi Hoed menggunakan pantomime sebagai medium perjuangan, adakah niat untuk beralih topik? WH: Tidak ada! Tetap media perjuangan dan perlawanan. Karena dari situlah saya ingin merubah image tentang pantomime. Buntung.co: Jika sebagian besar publik merespon
positif pantomime jalanan Wanggi Hoed, adakah niat untuk membentuk kelas
pantomime atau tempat belajar pantomime? WH: Saya mencoba berdaya guna di masyarakat, jika
ada rezeki lebih mungkin saya akan membuat ruang yang dapat menampung
kawan-kawan untuk belajar pantomime jalanan, membuat lokakarya, bahkan
bukan hanya itu saya akan menampung seni-seni lainnya. Saya kira itu
yang dibutuhkan orang-orang dewasa ini, bukan lagi sekedar memberikan ceremony tetapi
edukasi. Ini adalah bentuk dedikasi saya dan kawan-kawan Mixi Imajimime
Indonesia kepada masyarakat. Kalau masyarakat sadar saya telah membuka
kelas di jalanan, saya telah memberikan edukasi pada setiap nomor karya
pantomime jalanan saya. Jadi kelas itu ada juga di jalanan. Selain itu,
saya sendiri memberikan nuansa baru pada pantomime dengan ikat
tradisional di kepala, itu khas saya. Orang banyak mengklaim tapi itulah
kebiasaan masyarakat kita. Selanjutnya, harapan saya ialah minimal
masyarakat sadar akan kehadiran pantomime jalanan, kenapa harus berada
di ruang publik dan kenapa bentuk pantomime-nya seperti ini. Jangan
banyak bicara, buatlah satu tindakan! Karena itulah yang akan
menghidupkan kita.
"Kita Hidup akan Tertuju Pada Satu Perayaan Yaitu Kematian"
Najwa Shihab dan Wanggi Hoed
Seniman Pantomim Wanggi Hoed menganggap masyarakat Indonesia tidak bisa
merawat ingatan, sudah tidak bisa lagi membuat dunia bahagia. Dan ia
menganggap bahwa hidup akan tertuju pada satu perayaan yaitu kematian,
Rabu (26/8/2015). Mereka penutur ketertindasan hak yang dirampas dan hidup yang
kehilangan. Ketika kata tak lagi bermakna, mereka memprotes lewat lirik
dan suara. Ketika negara memilih diam, pantomim bergemuruh dalam
bungkam. Saat kekuasaan menjadi keterlaluan, apa jurus jitu menyuarakan
keadilan?
Editor: AMS
Simak video selengkapnya Mata Najwa Metro TV :
- http://video.metrotvnews.com/play/2015/08/26/424942/kita-hidup-akan-tertuju-pada-satu-perayaan-yaitu-kematian
- https://www.youtube.com/watch?v=nkUu4JyHsyw