Selasa, 05 Januari 2016

Wanggi, Lewat Pantomim Bisa Keliling Dunia

 

WANGGI Hoediyatno, seniman pantomim yang lahir di Palimanan, Cirebon, 26 tahun silam. Selain kecintaannya terhadap seni pantomime, ia juga menyukai travelling. Dua hal inilah yang kemudian mengantarkan Wanggi berkeliling dunia.
Dengan pantomim itu pulalah, ia berkesampatan menunjukkan pada dunia, bahwa pantomim di Indonesia itu ada, berbeda, dan berlipat ganda. Wanggi sering berkolaborasi dengan seniman-seniman lokal, nasional hingga mancanegara.
Ia pernah berkolaborasi dengan Circus dari Prancis Chabatz de’entrar pada 2013 silam. Ia juga sempat melakukan  tour ke 8 kota di Indonesia,  dan juga menyambangi Timor Leste dan Vietnam.
Selain melakukan kolaborasi dengan seniman mancanegara, Wanggi juga  berkesempatan menampilkan karya seninya di hadapan Mantan Ketua MPR RI Taufik Kiemas, Sudjiwo Tedjo, dan “Lady Rocker Indonesia” Ayu Laksmi.
Wanggi memang sangat kental dengan karakter idealismenya. Ia mempunyai sikap terhadap apa pun, termasuk terhadap dirinya, dan keadaan sosial. Ia mulai khawatir dengan keadaan masyarakat Indonesia yang semakin cenderung apatis, diam terhadap ketidakbiasaan dalam masyarakat.
Saya khawatir dengan keadaan masyarakat yang apatis, yang diam terhadap pelanggaran dalam masyarakat. Dengan pantomim, saya berusaha bersuara, lewat gerak yang diberi makna, biar masyarakat tau, dan tidak apatis lagi,”.ujar pria berkumis ini.
Wanggi peduli terhadap keadaan sosial. Ia selalu meriset berbagai hal pelanggaran sosial, dan ia coba menyerap kegelisahan, ketakutan, ketidakberesan yang ada pada kasus tersebut. Lalu, ia tafsirkan pada gerakan-gerakan tubuh, sehingga muncullah gerakan pantomim yang selalu ia tampilkan setiap Kamis. Acara ini diberi nama “Kamisan”.

Tak Akan Pernah Berhenti
Aksi Kamisan itu merupakan aksi diam dengan berbagai tuntutan penyelesaian terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia, kasus Munir, wartawan Udin, Marsinah dan banyak lagi.
Kegiatan ini dilakukan setiap Kamis di depan Gedung dinas Gubernur Jawa Barat atau sering disebut Gedung Sate. “Saya tidak akan pernah berhenti melakukan aksi hingga pengadilan HAM dibentuk. Saya berharap pemerintahan baru merealisasikannya, tandas Wanggi.
Pemikiran Wanggi terhadap seni dan isu sosial sangat kuat, tidak pernah ada batasan pada dirinya untuk mengekspresikan energi positif terhadap kecintaannya itu. Walaupun teror di mana-mana, ia merasa suara keadilan sosial harus terus disuarakan. Keinginan sederhana inilah yang membuat ia kuat dan terus berkarya. ***
[] Agvi Firdaus, Anthea Novita, Dea Andriyawan, Elma Salma Zakiah | Prodi Jurnalistik UIN Bandung

Website : http://bandungoke.com/view.php?id=20150103104616 

Wanggi Hoediyatno: Pantomim, Bukan Sekadar Seni

Laporan Khas

WANGGI Hoediyatno, seniman sekaligus aktivis sosial. Dia berkarya, sekaligus menyuarakan kritik sosial baik terhadap pemerintah maupun masyarakat, melalui seni pantomim yang digelutinya.
Lebih dari sembilan tahun, Wanggi menyuarakan berbagai isu sosial dengan karyanya. Ini sebuah bentuk kegelisahannya terhadap kondisi masyarakat, dan pemerintahan di Indonesia.
Wanggi lahir di palimanan Cirebon, Jawa Barat, 26 tahun silam, Ia berasal dari keluarga sederhana, yaitu pasangan Rudi Budiarjo dan Leli Sulaeli.
Rudi Buadiarjo, pensiunan BUMN, dan Lalei merupakan Ibu Rumah Tangga. Wanggi mulai menemukan kelebihannya sewaktu ia masih kecil. Ia menyukai seni menggambar, seni musik hingga teater. Sampai akhirnya, ia menemukan dirinya pada seni pantomim yang hingga saat ini ia geluti dan cintai.
Wanggi, lulusan strata satu STSI Bandung dengan mengambil minat penyutradaraan pada tahun 2012. Kemudian ia bergabung pada kelompok teater Independent Cassanova, yang merupakan gerbang tempat kemampuan berteater dia terasah.

Otodidak
Kemudian ia belajar pantomim secara otodidak dan akhirnya mengantarkan dia pada minat dan kecintaan terhadap seni yang sesungguhnya. Idealisme dan sikapnya terhadap seni mendapatkan perhatian lebih dari musisi lain, dan itu merupakan hal yang dimiliki Wanggi sebagai seorang seniman.

Kiprah Wanggi di dunia pantomim pun dipandang sangat berat, sebelum akhirnya menemukan titik di mana jalan menuju tujuannya terbuka lebar. Wanggi sudah sering berkolaborasi dengan seniman-seniman lokal, nasional hingga mancanegara.

Wanggi pernah berkolaborasi dengan Circus dari Prancis Chabatz de’entrar pada 2013 silam. Ini merupakan pencapaian yang membanggakan bagi dirinya, selain tour ke 8 kota di Indonesia, Wanggi juga diajak menyambangi Timor Leste dan Vietnam.
Selain berkesempatan melakukan kolaborasi dengan seniman mancanegara, Wanggi juga dapat berkesempatan menampilkan karya seninya di hadapan Mantan Ketua MPR RI Taufik Kiemas, Sudjiwo Tedjo, dan “Lady Rocker Indonesia” Ayu Laksmi.

Kritik Sosial
Selain beranggapan, seni itu karya, Wanggi juga berpendapat seni juga merupakan media penyampai pesan. Lewat seni pantomim yang ia tampilkan, dia selalu menyematkan pesan-pesan, kritik-kritik sosial yang “pedas” terhadap pemerintah.
Hal tersebut merupakan bentuk kegelisahannya terhadap hal-hal yang terjadi di negeri ini. Ia beranggapan, kesenian merupakan media yang tepat untuk menyuarakan kemanusiaan, halus namun berdampak luas.
Aksinya itu bukan hanya didengar masyarakat indonesia, tapi sampai ke negara-negara benua Eropa. Ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat sana yang mengirim pesan terhadapnya melalui surat elektronik, yang memberikan apresiasi dan dukungan moril bahwa kesenian merupakan media kritik sosial juga.

Ancaman dan teror menjadi makanan sehari-hari. Pembunuhan, penculikan, dan ancaman lain biasa ia terima. Tapi dengan idealisme dan keyakinannya, Wanggi yakin “gerakannya” tidak akan pernah mati menyampaikan pesan dan kritik.

Tak terhitung media yang selalu meliput aksinya, ia selalu mengoleksi berita-berita tentangnya, bukan tanpa tujuan, ia hanya ingin meyakinkan bahwa perjuangannya tidak akan pernah mati.***

 Agvi Firdaus, Anthea Novita, Dea Andriyawan, Elma Salma Zakiah | Prodi Jurnalistik UIN Bandung

Website : http://bandungoke.com/view.php?id=20150103105213

 

Wanggi, Beratus Kali Suarakan Isu Kemanusiaan

 17.01.2015 

 

WANGGI Hoediyatno, seniman yang akrab dipanggil Hoed. Ia adalah seniman pantomim muda asal Cirebon. Ia lahir di Palimanan, Cirebon, 24 Mei 1988. Hoed ini anak keempat dari lima bersaudara, dari pasangan Rahudi Budiarjo dan Leli Sulaeli.  

Ia mulai menyenangi seni olah tubuh sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, hingga ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Pertunjukan-pertunjukan pantomim telah ia gelar di dalam maupun luar negeri, dari pinggir jalan hingga gedung-gedung pertunjukan.

Usianya relatif muda. Namun, Wanggi memiliki visi ke depan dengan menekuni pantomim. Terlebih, apa yang dilakukannya itu dilakoni dengan penuh rasa cinta. Itulah hal pertama yang diungkapkan olehnya.
Kecintaan Wanggi terhadap pantomim itu kerap dilakukan dengan aksi nyata. Sejak 18 Juli lalu, dia bersama komunitas Mixi Imajimime Theatre Indonesia dan Indonesian Mime Artist Association melakukan aksi Kamisan yang lebih dikenal dengan Aksi Melawan Lupa.

Saat itulah kepiawaian Wanggi sebagai seniman pantomim muncul dan berkembang, meskipun tak semulus yang orang bayangkan. Ia mengakui, banyak kalangan yang belum menerima pantomim sebagai seni yang patut diapresiasi.

Aksi tersebut rutin dilakukan oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) bersama dengan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Di Jakarta, aksi di pertengahan pekan itu rutin dilakukan di depan Istana Negara.

Selain keluarga korban HAM, mereka yang terlibat dalam aksi Kamisan itu yakni para aktivis, masyarakat, tokoh, beserta mahasiswa yang menuntut Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono waktu itu agar segera menuntaskan semua kasus pelanggaran HAM.

"Kalau di Bandung yang dilakukan di depan Gedung Sate, ini baru beberapa kali. Tapi, di Jakarta sana aksi Kamisan ini sudah dilakukan sebanyak 310 kali. Dari ratusan aksi itu kita selalu diabaikan oleh pemerintah," paparnya.

Setiap Kamis, lanjut Wanggi,  kita mengirim surat kepada Presiden SBY waktu itu, agar menuntaskan kasus pelanggaran HAM.  Tapi tetap belum ada jawaban.

Janji Terus Bersuara

Pria ber kumis tebal itu mengaku aksi yang dilakukan itu mendapat trasformasi energi dari ibu kota negara. Aksi yang dilakukan itu tak lain untuk mengingatkan kembali kepada pemerintah. Hingga saat ini semua kasus pelanggaran HAM di Indonesia belum ada yang dituntaskan.

Menurut Wanggi, bahasa tubuh adalah bahasa yang universal. Semua manusia akan memahami tanda-tanda gerak tubuh yang sifatnya konvensional. Ia mengakui akan terus bersuara dalam diam, bergerak menyampaikan isu-isu sosial kemanusiaan dari gedung pertunjukan hingga jalanan.
"Saya menghidupkan pantomim, sehingga pantomim pula yang menghidupkan saya. Saya akan terus berpantomim sampai benar-benar tak sanggup lagi untuk bergerak dan bila imajinasi saya sudah pupus," tutup Wanggi. ***

[] Agvi Firdaus, Anthea Novita, Dea Andriyawan, Elma Salma Zakiah | Prodi Jurnalistik UIN Bandung

 Website : http://bandungoke.com/view.php?id=20150112100733

Wanggi Hoediyanto, Pantomim Lokal yang Mendunia

Bandung, UPI





Merintis karier sebagai pantomimer membuat Wanggi Hoediyatno memahami seni sebagai idealisme tertinggi dari manusia. Dimulai dari nol, karier seni pantomim yang telah merambah hingga kancah internasionalnya tak ayal menemui jalan tak mulus. Bukan sekali dua kali saja. Tapi rintangan demi rintangan membuat Wanggi semakin teguh sebagai seniman lokal pantomim dan menggerakan Mixi Mmajimimetheater, sebuah ruang yang bukan hanya tempat latihan pantomimer, melainkan tempat diskusi dan tempat imajinasi para manusia yang tertarik akan seni.


Dimulai sejak 2007, komunitas Imajimimetheather yang ber-basecamp di kost-an Wanggi sendiri, terbentuk. Komunitas yang kini bernama Mixi Imajimimetheater ini awalnya berjumlah 15 orang, namun kini hanya menyisakan 3 orang. Konsistensi Wanggi yang ingin menghidupi dunia pantomim lokal membuatnya bertahan hingga 8 tahun lamanya. Dia membebaskan saja siapa yang pergi dan siapa yang datang untuk mengikuti jejaknya. Karena seni merupakan panggilan jiwa, katanya.

Wanggi memulai dunia pantomim dengan mengamen di jalanan, menjadi ‘manusia silver’, hingga menjadi seperti sekarang ini. Perjalanan kariernya tak jarang diputar-balikan keadaan yang tidak malah menjadikannya mundur. Pernah pada tahun 2011, hasil pertunjukannya dirampas habis oleh para kriminal. Braga, tempat kariernya lahir, pada saat itu harus menjadi saksi bisu pula kekecewaan Wanggi terhadap keadaan sosial. Namun karena kejadian itu, Wanggi malah menggelar pertunjukan berjudul “Braga Aku Kembali” sebuah pagelaran di mana Wanggi membuktikan jatuh bangunnya dia tidak membuatnya menyerah untuk tetap menghidupkan dan mengenalkan pantomim pada masyarakat.
 
Tidak mudah untuk melakukan suatu pertunjukan pantomim, diperlukan latihan, meditasi, dan Yoga untuk melatih gerak tubuh. Pantomim bukan hanya untuk menghibur, melainkan suatu penyampaian pesan, suatu wadah untuk mengangkat kembali isu-isu sosial dan kemanusiaan yang telah dilupakan masyarakat.
“Manusia sekarang itu butuh selain yang enak, juga butuh yang enek. Nah di pantomim ini kita kasih yang enek. Karena mereka tidak akan mengerti, tapi kita tidak memaksakan mereka untuk mengerti. Karena di pantomim kita bermain imajinasi,” ujar Wanggi.

Pria kelahiran 24 Mei 1988 ini pun menjelaskan bahwa sejarah pantomim itu berat. Pantomim menurutnya adalah seni kebebasan yang bisa bermain diruang apa saja, dan bisa ‘memerangi’ para pembunuh zaman.
“Disitulah pertaruhannya. Dan pertaruhan saya adalah bagaimana membuat penonton tersenyum mengerti, bukan tertawa,” tutur Wanggi.

Harapan Wanggi ini hanyalah masyarakat bandung lebih mengerti dan menghargai pantomim. Pria lulusan seni teater STSI ini pun berharap pantomim tetap dapat menjadi alat perjuangan. “saya juga berharap bahwa suatu saat komunitas pantomim memiliki rumah proses sendiri yang independen tanpa campur tangan pihak-pihak manapun,” ujarnya kembali. (Nida Amalia Sholehah, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)

Website : http://berita.upi.edu/?p=1409

Dongeng Bisu Wanggi Hoed



Wanggi Hoed, seniman pantonim Bandung mendongeng di depan anak-anak di Alun-Alun Kota Bandung, Sabtu, (28/11/2015). Sesuai dengan seni yang diperankannya, Wanggi mendongeng tanpa bersuara. Ia mendongeng dengan gerak tubuh dibantu dengan sebuah boneka tangan.
Dongeng Wanggi menceritakan kegembiraan anak-anak yang diberikan kebebasan oleh orang tuanya untuk berkreativitas. Namun meski tanpa suara dan bermodalkan gerak tubuh dan mimik muka, Wanggi berhasil membuat anak-anak tertawa.
Wanggi merupakan satu dari beberapa pendongeng yang turut meramaikan Deklarasi Hari Dongeng Nasional. Deklarasi ini ingin menjadikan hari kelahiran Pak Raden yakni tanggal 28 November sebagai Hari Dongeng Nasional.[]

Website : http://kabarkampus.com/2015/11/dongeng-bisu-wanggi-hoed/

Wanggi Hoed : “Pantomime Jalanan Adalah Sikap Saya…”

Selasa, 01 September 2015

Mata Najwa Metro TV. Episode : "Penyeru Perlawanan". 26 Agustus 2015

"Kita Hidup akan Tertuju Pada Satu Perayaan Yaitu Kematian"

 Najwa Shihab dan Wanggi Hoed

Seniman Pantomim Wanggi Hoed menganggap masyarakat Indonesia tidak bisa merawat ingatan, sudah tidak bisa lagi membuat dunia bahagia. Dan ia menganggap bahwa hidup akan tertuju pada satu perayaan yaitu kematian, Rabu (26/8/2015). Mereka penutur ketertindasan hak yang dirampas dan hidup yang kehilangan. Ketika kata tak lagi bermakna, mereka memprotes lewat lirik dan suara. Ketika negara memilih diam, pantomim bergemuruh dalam bungkam. Saat kekuasaan menjadi keterlaluan, apa jurus jitu menyuarakan keadilan?
Editor: AMS

Simak video selengkapnya Mata Najwa Metro TV :
- http://video.metrotvnews.com/play/2015/08/26/424942/kita-hidup-akan-tertuju-pada-satu-perayaan-yaitu-kematian
- https://www.youtube.com/watch?v=nkUu4JyHsyw