Rabu, 04 April 2018

BANDUNG, INDONESIA WORLD MIME DAY 2018

Kumparan, Bandung Kiwari - 24 Maret 2018

Pantomim 'Senja Menitip Sunyi': Bahasa Sunyi Pencari Cinta.



Aktor pantomim, Nugraha Dwi, tampil pada acara peringatan Hari Pantomim Dunia bertema "Senja Menitip Sunyi", di Mr. Guan Coffee and Books, Bandung, Kamis (22/3/2018) malam. (Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari.com)


BANDUNG, bandungkiwari - Tubuh itu bergerak tanpa suara. Lantang bercerita tanpa kata. Berteriak dengan sepi yang menghujam. Namun hening mencekam.
Kesan itulah yang hadir ketika tangisan kesakitan bahkan hilang terjerembab malam. Hanya menyisakan linangan air mata yang melarungkan harapan, demi melantunkan bahasa cinta yang tidak mengenal titik di akhir kata.
Kamis (22/3) malam itu, Mr. Guan Coffee and Books terasa riuh tetapi sepi. Saat tubuh simbolik aktor pantomim perempuan Sopiyah Opoy, memperlihatkan dramatiknya kehidupan yang dijalani sebagai perempuan dalam perjuangan hidup mati ketika proses kelahiran yang berujung dengan kesunyiannya. Selang beberapa saa,t tubuh-tubuh dari aktor kelompok Mixi Imajimimetheatre Indonesia, bersama beberapa seniman lainnya bercerita tentang hidup.
Malam itu dengan kepekatan bahasa cinta yang selalu didengungkan para aktor pantomim, Bandung ikut memperingati World Mime Day atau Hari Pantomim Sedunia. Penyelenggaraan tahun ke-7 ini terus diikuti Mixi Imajimimetheatre Indonesia sejak 2011, melalui inisiator World Mime Organisation yang bermarkas di Belgrade, Serbia.
Hari Pantomim sedunia yang bisa jadi luput dari ingatan banyak orang, bukan hanya sebagai hari raya para seniman pantomim semata. Lebih dari itu, sebenarnya merupakan peringatan hari lahirnya Maestro Mime Marcel Marceau ke-96, yang lahir pada 22 Maret 1923 di Strasbourg, Perancis.
Dunia seni mengapresiasi dan menempatkan Marceau sebagai tokoh yang berhasil menghidupkan kembali pantomime yang kurang popular saat itu ke seluruh dunia dengan karakter khas Bip The Clown. Pupur putih yang menutup muka, mengenakan celana putih, kaus hitam putih, dan seringkali mengenakan topi besar dengan setangkai bunga merupakan ikon yang hadir dari Marceau sejak 1947.



Sopiyah Opoy



Bagi kelompok Mixi Imajimimetheatre, sosok Marceau merupakan tokoh sekaligus ruh dalam perjalanannya menerjuni dunia seni yang mengolah bahasa tubuh ini. Tiak dapat dipungkiri Wanggi yang menjadi pentolan di kelompoknya, mengidolakan Marceau yang banyak menyampaikan pesan kehidupan dan mengajak setiap orang untuk terlibat dalam perdamaian.
Menghargai sosok inspiratif itulah Mixi Imajimimetheatre menyelenggarakan acara sederhana yang penuh keintiman ruang ini dengan mengusung tema “Senja Menitip Sunyi”.
“Senja Menitip Sunyi, merupakan tema yang kita angkat tahun ini dalam peringatan hari Pantomim. Sementara tema besar dunia yaitu ‘Mime the Language of Peace’,” ucap Wanggi Hoed seniman pantomime yang memotori komunitas Mixi Imajimimetheatre Indonesia.
“Senja Menitip Sunyi” menurutnya adalah sebuah bahasa yang luas untuk diinterpretasikan. Baginya tidak setiap hari bisa menemukan senja, dan dalam perjalanannya senja selalu menitipkan sunyi kepada manusia.
Sementara di Bandung berlangsung repertoar “Senja Menitip Sunyi”, di Belgrade, Serbia selama 21-23 Maret sedang diselenggarakan Konferensi Pantomim Dunia (World Mime Conference) yang pertama kali pertama dilaksanakan di dunia.
“Disayangkan seharusnya saya ikut acara tersebut. Tetapi karena persoalan birokrasi dan lain hal, akhirnya tidak jadi berangkat ke Serbia. Akhirnya di sini kita membuat perayaan Hari Pantomim sendiri,” jelas Wanggi yang batal berangkat, meski telah diundang untuk mengikuti konferensi pantomim dunia tersebut.


Wanggi Hoed


Sementara itu menurut Gatot Gunawan penari yang ikut merayakan acara ini, pesan penting dari pantomim adalah bahasa cinta, dan menghormati hidup. Itu sebabnya dalam acara tersebut dirinya menari mengenakan Topeng Panji ditemani anak kecil.
“Tarian saya lebih pada perlambang kehidupan,” tegas Gatot ketika ditanya perihal tariannya.
Unsur Topeng Panji yang melambangkan kesucian meruang bersama anak kecil merupakan penanda generasi penerus yang menari dengan kedamaian dan hidup tenang dengan tradisi yang dijalaninya.
Selain Gatot yang tampil dengan tariannya, malam itu pun penonton diajak berimajinasi dengan musik, salah satunya seperti Tamasya yang dibawakan John Kastela yang bercerita indahnya senja. Tidak kalah dari mereka seorang Theoresia Rumthe membacakan pula cerita pendeknya, yang bercerita tentang perjuangan perempuan yang harus menyerahkan tubuh demi keberlangsungan hidup keluarganya.
Terlepas dari pementasan para seniman dalam perayaan Hari Patomim Dunia. Wanggi yang kerap bersinggungan dengan kenyataan pahit kondisi Indonesia, dan acapkali tampil di ruang publik untuk memberikan kesadaran tentang realitas yang ada, berharap pantomim bukan hiburan semata. Namun, menjadi tugu ingatan akan peristiwa apapun itu bentuknya. Sesuai dengan gerakan World Mime Day yang dalam peringatannya terus menerus menyuarakan pesan bahasa perdamaian, melalui bahasa tubuh yang multibahasa dari setiap negara. (Agus Bebeng).

sumber berita :
https://kumparan.com/bandungkiwari/bahasa-sunyi-pencari-cinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar