Pantomim adalah Pekerjaan Sikap! Wanggi Hoed - Seniman Pantomim
Selasa, 05 Januari 2016
Nyusur History Indonesia, Ingatkan penghuni (Publik) yang lupa ruang (Publik)
Oleh : Wanggi Hoed
Kehidupan dalam ruang publik seperti sebuah pertemuan bebas yang penuh pengalaman dari publiknya sendiri, Ia sejenak melepas lelah, mengatur nafas lalu melanjutkan perbincangan kembali hingga persaudaraan kerap terjalin didalamnya.” - wanggi hoed -
Mendengar kata Nyusur History Indonesia, kita akan diingatkan kembali pada bagian per-kalimat bila kita ambil per-kata dan disana memiliki filosofi tersendiri, seperti Nyusur; seperti sebuah penyusuran pada tempat/ruang tertentu, History; dalam bahasa Indonesia yang berarti sejarah, suatu ilmu kesejarahan dalam hal ini edukasi ataupun pengetahuan, dan Indonesia; sebuah negara yang akan keanekaragaman adat dan sumber daya alam serta warisan budaya yang masih terjaga dibeberapa pulau dan nusantara di tanah air kita yang berkebhinekaan tunggal ika ini, dari situlah mereka menamakan dirinya dengan Nyusur History Indonesia yang mencoba mengingatkan dan mengajak masyarakat Indonesia (Nusantara) untuk mengenang dan melestarikan beberapa warisan budaya yang masih tersisa dengan membuat konsep yang membuka ruang seni silaturahmi di ruang publik, melalui pendekatan seni pertunjukan jalanan (pantomime, musik, performance art, tari, sastra, media rekam, rupa/lukis) dalam satu ruang bersama dan bukan sekedar menciptakan perisitwa melainkan menghidupkan ruang yang telah hilang dari publiknya, mereka menjadi ruang yang tersebut meraung dan bernyawa juga memberikan pesan melalui bentuk seni pertunjukan jalanan, yang dipresentasikan oleh masing-masing senimannya.
Mungkin ini bisa disebut sebagai Project Art Intercultural yang melintasi berbagai ilmu disiplin seni/non seni serta lintas budaya juga pengalaman senimannya dan selain berbagi dan mempresentasikan sebuah karya dalam satu ruang, dimana Nyusur History Indonesia memilih ruang pada dimensi ruang publik sebagai panggung/arena pentas untuk menampilkan karya mereka kepada masyarakat luas, mereka juga tak jarang sebagai fasilitator diruang yang belum pernah terjamah. Berawal dari sekedar meluangkan waktu yang bila tak digunakan akan menjadi sia-sia dan tak berguna. Lalu mencoba membuka-buka beberapa media cetak dan online serta majalah-majalah juga artikel yang telah kadaluarsa juga berita terkini dan semuanya tak didapatkan mengenai persoalan sebuah ruang yang menjadi kebutuhan publik, entah itu taman ataupun tempat berkumpulnya masyarakat dalam satu ruang untuk bertemu dan bersilaturahmi
dan bercengkrama dengan bahagia dan bebas di ruang terbuka.
Nyusur History Indonesia yang merupakan program/project karya dari Mixi Imajimimetheatre Indonesia yang memberi serta berbagi ruang untuk masyarakat dari kalangan seni dan non seni, Nyusur History Indonesia adalah komunitas independent yang mengajak lapisan masyarakat Indonesia untuk bersilaturahmi lebih dekat, mengenal, mengenang, melestarikan dan menjaga serta menyuarakan juga mengkampanyekan sejarah warisan budaya (seni, sejarah serta budaya) dari khazanah Indonesia dan dunia, dengan cara dan ciri individunya dalam proses berkarya pada ruang publik. Adapun bentuk nyata dari Nyusur History Indonesia adalah membuat ruang seni silaturahmi sejarah budaya, yang dimana sajian wisata seni pertunjukan dan sejarah budaya (ada pertunjukan pantomime, musik, teater, tari, rupa, media rekam) dari tradisi hingga kontemporer-an, mereka juga menggali kembali nilai-nilai history yang
dahulu pernah ada dengan menyusuri beberapa tempat-tempat yang memiliki nilai yang bersejarah dengan adanya kemasan seni pertunjukan dengan konsep bebas tapi sopan dan tak ada yang bayar tetapi kebahagian hadir ditengah-tengah aktivitas mereka.
Nyusur History Indonesia melakukan perjalanan penyusuran tersebut dengan cara Backpacker yang mereka sebut Backpacker Nyasar Nyusur History Indonesia, dimana menciptakan ruang publik bertemunya lapisan masyarakat seni dan non seni, dalam hal ini mereka juga bukan sekedar mengunjungi tempat bersejarah melainkan juga mereka menggelar seni pertunjukan di halaman (ruang publik) tempat bersejarah tersebut, bukan hanya menampilkan seni pertunjukan dan mengunjungi tempat yang memiliki sejarah saja, tapi juga mereka bersilaturahmi dan berbagi serta saling tukar informasi, menjalin komunikasi dan tali silaturahmi dan menjadikan yang biasa saja menjadi ruang hidup dari para manusia dan penghuninya. Nyusur History Indonesia juga melakukan kampanye universal yang mereka serukan : “Save Our Heritage, Semoga Bukan Hanya Di Bibir Saja” disinilah misi mereka guna sebuah penyelamatan,
mempertahankan dan melestarikan beberapa warisan budaya (world heritage) serta warisan seni, sejarah budaya yang masih ada hingga kini.
Sudah 10 Kota di beberapa titik ruang publik di Indonesia yang telah mereka singgahi dan melakukan perjalanan ala backpacker ke titik situs dan tempat bersejarah juga ruang seni dan ruang urban sebagai titik kehidupan masyarakat kini dan kesemuanya dipentaskan dengan seni pantomime yang di inisiatori oleh Aktor Pantomime Wanggi Hoediyatno, kota yang disinggahi tersebut antara lain: Bandung (Gedung Merdeka, Jalan Braga, Gedung De Vries, Gedung Sate, Alun-Alun Bandung, Depan Mall Bandung Indah Plaza, Taman DAGO, Terminal Cicaheum), Jakarta (Kota Tua Fatahillah, Taman Ismail Marzuki, Galeri Cipta, Museum Nasional, Monumen Nasional), Tangerang (Festival Sungai Cisadane, Alun-Alun Tangerang), Solo (Keraton Surakarta, ISI Solo, Jalan Slamet Riyadi, Pasar Tradisional), Yogyakarta (Titik Nol Kilometer, Malioboro, Keraton, Museum Kepresidenan, Pantai Parang Kusumo “Gumuk Pasir”, ArtJog 2012, Ramayana Theatre), Cirebon (Halaman Balaikota Cirebon, Alun-Alun Kejaksan, Jalan KS Tubun “Piknik Project Studio”), Indramayu (Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah), Bali (Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Batu Monumen Bom Bali, La Pau, Gedung Kesenian Bali, Svara Semesta “Ayu Laksmi”), Tasikmalaya (Pasar Tradisional, Gedung Kesenian Dadaha), Sukabumi (Pantai Ujung Genteng, Pasar Tradisional).
Muncul ide untuk melakukan perjalanan itu sendiri pada tahun 2009, yang awalnya berasal dari pola latihan pantomime seorang Wanggi di beberapa titik ruang publik di Bandung, dari situlah Wanggi mengajak Irwan Nu’man (pemain trumpet) mencoba untuk melakukan perjalanan ala backpacker yang hingga terrealisasikan dengan petualangan membawa misi pengingatan dan penyelamatan serta pelesatarian bangunan tua (cagar budaya) melalui media seni pantomime (pertunjukan) yang tidak pernah dilakukan oleh seniman Indonesia dengan konsep backpacker (low cost) dan mereka mengangkat juga isu-isu publik yang mereka kunjungi saat diperjalanan. Mereka memiliki prinsip berkarya bahwa ketika melakukan performance bila ada dan tidak ada pentonton akan terus berjalan, karena mereka tidak memikirkan berapa banyaknya penonton/publik yang hadir di ruang tersebut, karena alam dan ruang
tersebutlah yang akan menciptakan ruang juga peristiwa yang dimainkan oleh senimannya pada saat itu. Selama melakukan perjalanan tersebut mereka juga tak jarang mendapat perlakukan yang tidak adil, diskriminatif dan semena-mena di beberapa titik ruang publik oleh aparat dan pihak keamanan serta oknum tertentu, dan pernah pula menjadi korban tindak kekerasan dan kriminalitas di ruang publik, tetapi mereka (Nyusur History Indonesia) terus melakukan perjalanan, terus menciptakan karya, terus berbagi pengalaman yang mereka temui dalam tiap perjalanannya, terus melanjutkan untuk menyusuri ruang-ruang publik yang harus di beri nafas agar ada sebuah aktivitas kreatif dari publik luas secara intens, selain dari itu pada perjalanan Nyusur History Indonesia memiliki pengalaman yang berkesan juga sangat bangga adalah ketika Wanggi melakukan pertunjukan pantomime di depan Gedung Merdeka dan sempat diliput oleh TV Kabel dari Belgia dan ternyata di siarkan di 25 negara di eropa, dan disinilah dunia kesenian mendapat tempatnya sebagai seni perubahan melalui media elektronik yang Wanggi sendiri tak menyangkanya bahwa seni pertunjukan di jalanan (street performing art) dengan pantomime yang di tampilkan oleh Wanggi di ruang publik menjadi tempat pengingatan agar publiknya tidak lupa pada ruangnya sendiri dan publiknya bebas untuk berekpres, beraktivitas memanfaatkan ruang publik dimanapun dengan cara serta ciri dan kreativitasnya, Mengutip perkataan Mahatma Gandhi : “Kebebasan tidak pernah dapat ditukarkan dengan harga berapapun, Itu merupakan nafas kehidupan. Apa yang tidak akan dibayar seseorang untuk tetap hidup?”
Bandung, 9 April 2014
Wanggi Hoediyatno, Seniman Pantomime.
Lahir di Palimanan – Cirebon, Kini Tinggal di Bandung.
Penggagas Mixi Imajimimetheatre Indonesia, Nyusur History Indonesia, Komunis Kampus, Indonesian Mime Artist Association, Aksi Kamisan Bandung dan tergabung di Teater Cassanova, Paguyuban Sepedah Baheula & World Mime Organisation.
Ia juga pernah berkolaborasi dengan Syafiq Effendi Faliq, Aktor Pantomime dari The Qum Actor (Malaysia) dan pada 2013 ia juga telah sukses berkolaborasi bersama Kelompok Sirkus Teater Chabatz De’Entrar dari Perancis dan melakukan pentas sirkus tour Indonesia, Timor Leste dan Vietnam. Wanggi juga telah berpantomime selama 12 Jam Non-Stop di Indonesian Dance Film Festival dan 6 Jam Non-Stop di Situs Penjara Bung Karno. Melakukan Workshop Pantomime dan Therapy Tubuh di beberapa kota, dan juga bergandengan bersama Kontras menyuarakan isu anti-kekerasan dan HAM juga bersama Greenpeace menyuarakan isu lingkungan. Kini Ia sedang mempersiapkan pentas pantomime pada karya selanjutnya: “Nostalgia Imaji” yang akan di pentaskan keliling pada tahun 2014. Selain itu Ia juga sedang mendalami yoga dan mendisiplinkan tubuh sebagai media therapy untuk masyarakat.
Wanggi, Lewat Pantomim Bisa Keliling Dunia
WANGGI Hoediyatno,
seniman pantomim yang lahir di
Palimanan, Cirebon, 26 tahun silam. Selain kecintaannya terhadap
seni pantomime, ia juga menyukai travelling. Dua hal inilah yang kemudian mengantarkan Wanggi
berkeliling dunia.
Dengan
pantomim itu pulalah, ia berkesampatan menunjukkan
pada dunia, bahwa pantomim di Indonesia itu ada, berbeda,
dan berlipat ganda. Wanggi sering
berkolaborasi dengan seniman-seniman lokal, nasional hingga mancanegara.
Ia
pernah berkolaborasi dengan Circus dari Prancis Chabatz de’entrar pada 2013
silam. Ia juga sempat melakukan tour ke 8 kota di Indonesia, dan juga menyambangi Timor
Leste dan Vietnam.
Selain melakukan
kolaborasi dengan seniman mancanegara, Wanggi juga berkesempatan menampilkan karya seninya di
hadapan Mantan Ketua MPR RI Taufik Kiemas, Sudjiwo Tedjo,
dan “Lady Rocker Indonesia” Ayu Laksmi.
Wanggi memang
sangat kental dengan karakter idealismenya. Ia mempunyai sikap terhadap apa pun,
termasuk terhadap dirinya, dan keadaan sosial. Ia mulai khawatir dengan keadaan
masyarakat Indonesia yang semakin cenderung apatis, diam terhadap ketidakbiasaan
dalam masyarakat.
“Saya
khawatir dengan keadaan masyarakat yang apatis, yang diam terhadap pelanggaran
dalam masyarakat. Dengan pantomim, saya
berusaha bersuara, lewat gerak yang diberi makna, biar
masyarakat tau, dan tidak apatis lagi,”.ujar pria
berkumis ini.
Wanggi peduli
terhadap keadaan sosial. Ia selalu meriset berbagai hal pelanggaran sosial, dan
ia coba menyerap kegelisahan, ketakutan, ketidakberesan yang ada pada kasus
tersebut. Lalu, ia tafsirkan pada gerakan-gerakan tubuh,
sehingga muncullah gerakan pantomim yang selalu ia tampilkan
setiap Kamis. Acara ini
diberi nama “Kamisan”.
Tak
Akan Pernah Berhenti
Aksi Kamisan
itu merupakan aksi diam dengan berbagai tuntutan
penyelesaian terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia,
kasus Munir, wartawan Udin, Marsinah dan banyak lagi.
Kegiatan ini
dilakukan setiap Kamis di depan Gedung dinas Gubernur Jawa
Barat atau sering disebut Gedung Sate. “Saya tidak
akan pernah berhenti melakukan aksi hingga pengadilan HAM dibentuk. Saya
berharap pemerintahan baru merealisasikannya,” tandas
Wanggi.
Pemikiran Wanggi
terhadap seni dan isu sosial sangat kuat, tidak pernah ada batasan pada dirinya
untuk mengekspresikan energi positif terhadap kecintaannya itu. Walaupun teror
di mana-mana, ia merasa suara keadilan sosial
harus terus disuarakan. Keinginan sederhana inilah yang membuat
ia kuat dan terus berkarya. ***
[] Agvi Firdaus, Anthea Novita, Dea Andriyawan, Elma Salma Zakiah
| Prodi
Jurnalistik UIN BandungWebsite : http://bandungoke.com/view.php?id=20150103104616
Wanggi Hoediyatno: Pantomim, Bukan Sekadar Seni
Laporan Khas
WANGGI Hoediyatno, seniman sekaligus aktivis sosial. Dia berkarya, sekaligus menyuarakan kritik sosial baik terhadap pemerintah maupun masyarakat, melalui seni pantomim yang digelutinya.
Lebih dari sembilan tahun, Wanggi menyuarakan berbagai isu sosial dengan karyanya. Ini sebuah bentuk kegelisahannya terhadap kondisi masyarakat, dan pemerintahan di Indonesia.
Wanggi lahir di palimanan Cirebon, Jawa Barat, 26 tahun silam, Ia berasal dari keluarga sederhana, yaitu pasangan Rudi Budiarjo dan Leli Sulaeli.
Rudi Buadiarjo, pensiunan BUMN, dan Lalei merupakan Ibu Rumah Tangga. Wanggi mulai menemukan kelebihannya sewaktu ia masih kecil. Ia menyukai seni menggambar, seni musik hingga teater. Sampai akhirnya, ia menemukan dirinya pada seni pantomim yang hingga saat ini ia geluti dan cintai.
Wanggi, lulusan strata satu STSI Bandung dengan mengambil minat penyutradaraan pada tahun 2012. Kemudian ia bergabung pada kelompok teater Independent Cassanova, yang merupakan gerbang tempat kemampuan berteater dia terasah.
Otodidak
Kemudian ia belajar pantomim secara otodidak dan akhirnya mengantarkan dia pada minat dan kecintaan terhadap seni yang sesungguhnya. Idealisme dan sikapnya terhadap seni mendapatkan perhatian lebih dari musisi lain, dan itu merupakan hal yang dimiliki Wanggi sebagai seorang seniman.
Wanggi pernah berkolaborasi dengan Circus dari Prancis Chabatz de’entrar pada 2013 silam. Ini merupakan pencapaian yang membanggakan bagi dirinya, selain tour ke 8 kota di Indonesia, Wanggi juga diajak menyambangi Timor Leste dan Vietnam.Kiprah Wanggi di dunia pantomim pun dipandang sangat berat, sebelum akhirnya menemukan titik di mana jalan menuju tujuannya terbuka lebar. Wanggi sudah sering berkolaborasi dengan seniman-seniman lokal, nasional hingga mancanegara.
Selain berkesempatan melakukan kolaborasi dengan seniman mancanegara, Wanggi juga dapat berkesempatan menampilkan karya seninya di hadapan Mantan Ketua MPR RI Taufik Kiemas, Sudjiwo Tedjo, dan “Lady Rocker Indonesia” Ayu Laksmi.
Kritik Sosial
Selain beranggapan, seni itu karya, Wanggi juga berpendapat seni juga merupakan media penyampai pesan. Lewat seni pantomim yang ia tampilkan, dia selalu menyematkan pesan-pesan, kritik-kritik sosial yang “pedas” terhadap pemerintah.
Hal tersebut merupakan bentuk kegelisahannya terhadap hal-hal yang terjadi di negeri ini. Ia beranggapan, kesenian merupakan media yang tepat untuk menyuarakan kemanusiaan, halus namun berdampak luas.
Aksinya itu bukan hanya didengar masyarakat indonesia, tapi sampai ke negara-negara benua Eropa. Ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat sana yang mengirim pesan terhadapnya melalui surat elektronik, yang memberikan apresiasi dan dukungan moril bahwa kesenian merupakan media kritik sosial juga.
Tak terhitung media yang selalu meliput aksinya, ia selalu mengoleksi berita-berita tentangnya, bukan tanpa tujuan, ia hanya ingin meyakinkan bahwa perjuangannya tidak akan pernah mati.***Ancaman dan teror menjadi makanan sehari-hari. Pembunuhan, penculikan, dan ancaman lain biasa ia terima. Tapi dengan idealisme dan keyakinannya, Wanggi yakin “gerakannya” tidak akan pernah mati menyampaikan pesan dan kritik.
Agvi Firdaus, Anthea Novita, Dea Andriyawan, Elma Salma Zakiah | Prodi Jurnalistik UIN Bandung
Website : http://bandungoke.com/view.php?id=20150103105213
Wanggi, Beratus Kali Suarakan Isu Kemanusiaan
17.01.2015
WANGGI Hoediyatno, seniman yang akrab dipanggil Hoed. Ia
adalah seniman pantomim muda asal Cirebon. Ia lahir di Palimanan,
Cirebon, 24 Mei 1988. Hoed ini anak keempat dari lima bersaudara, dari
pasangan Rahudi Budiarjo dan Leli Sulaeli.
Ia
mulai menyenangi seni olah tubuh sejak duduk di bangku Sekolah Menengah
Pertama, hingga ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di
Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.
Pertunjukan-pertunjukan pantomim telah ia gelar di dalam maupun luar
negeri, dari pinggir jalan hingga gedung-gedung pertunjukan.
Usianya
relatif muda. Namun, Wanggi memiliki visi ke depan dengan menekuni
pantomim. Terlebih, apa yang dilakukannya itu dilakoni dengan penuh rasa
cinta. Itulah hal pertama yang diungkapkan olehnya.
Kecintaan
Wanggi terhadap pantomim itu kerap dilakukan dengan aksi nyata. Sejak
18 Juli lalu, dia bersama komunitas Mixi Imajimime Theatre Indonesia dan
Indonesian Mime Artist Association melakukan aksi Kamisan yang lebih
dikenal dengan Aksi Melawan Lupa.
Saat itulah
kepiawaian Wanggi sebagai seniman pantomim muncul dan berkembang,
meskipun tak semulus yang orang bayangkan. Ia mengakui, banyak kalangan
yang belum menerima pantomim sebagai seni yang patut diapresiasi.
Aksi
tersebut rutin dilakukan oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk
Keadilan (JSKK) bersama dengan keluarga korban pelanggaran hak asasi
manusia (HAM). Di Jakarta, aksi di pertengahan pekan itu rutin dilakukan
di depan Istana Negara.
Selain keluarga korban
HAM, mereka yang terlibat dalam aksi Kamisan itu yakni para aktivis,
masyarakat, tokoh, beserta mahasiswa yang menuntut Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono waktu itu agar segera menuntaskan semua kasus
pelanggaran HAM.
"Kalau di Bandung yang dilakukan di depan Gedung Sate, ini baru beberapa kali. Tapi, di Jakarta sana aksi Kamisan ini sudah dilakukan sebanyak 310 kali. Dari ratusan aksi itu kita selalu diabaikan oleh pemerintah," paparnya.
Setiap Kamis, lanjut
Wanggi, kita mengirim surat kepada Presiden SBY waktu itu, agar
menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Tapi tetap belum ada jawaban.
Janji Terus Bersuara
Pria
ber kumis tebal itu mengaku aksi yang dilakukan itu mendapat
trasformasi energi dari ibu kota negara. Aksi yang dilakukan itu tak
lain untuk mengingatkan kembali kepada pemerintah. Hingga saat ini semua
kasus pelanggaran HAM di Indonesia belum ada yang dituntaskan.
Menurut
Wanggi, bahasa tubuh adalah bahasa yang universal. Semua manusia akan
memahami tanda-tanda gerak tubuh yang sifatnya konvensional. Ia mengakui
akan terus bersuara dalam diam, bergerak menyampaikan isu-isu sosial
kemanusiaan dari gedung pertunjukan hingga jalanan.
"Saya
menghidupkan pantomim, sehingga pantomim pula yang menghidupkan saya.
Saya akan terus berpantomim sampai benar-benar tak sanggup lagi untuk
bergerak dan bila imajinasi saya sudah pupus," tutup Wanggi. ***
[] Agvi Firdaus, Anthea Novita, Dea Andriyawan, Elma Salma Zakiah | Prodi Jurnalistik UIN Bandung
Website : http://bandungoke.com/view.php?id=20150112100733
Wanggi Hoediyanto, Pantomim Lokal yang Mendunia
Bandung, UPI
Merintis karier sebagai pantomimer membuat Wanggi Hoediyatno memahami seni sebagai idealisme tertinggi dari manusia. Dimulai dari nol, karier seni pantomim yang telah merambah hingga kancah internasionalnya tak ayal menemui jalan tak mulus. Bukan sekali dua kali saja. Tapi rintangan demi rintangan membuat Wanggi semakin teguh sebagai seniman lokal pantomim dan menggerakan Mixi Mmajimimetheater, sebuah ruang yang bukan hanya tempat latihan pantomimer, melainkan tempat diskusi dan tempat imajinasi para manusia yang tertarik akan seni.
Dimulai sejak 2007, komunitas Imajimimetheather yang ber-basecamp di kost-an Wanggi sendiri, terbentuk. Komunitas yang kini bernama Mixi Imajimimetheater ini awalnya berjumlah 15 orang, namun kini hanya menyisakan 3 orang. Konsistensi Wanggi yang ingin menghidupi dunia pantomim lokal membuatnya bertahan hingga 8 tahun lamanya. Dia membebaskan saja siapa yang pergi dan siapa yang datang untuk mengikuti jejaknya. Karena seni merupakan panggilan jiwa, katanya.
Wanggi memulai dunia pantomim dengan mengamen di jalanan, menjadi ‘manusia silver’, hingga menjadi seperti sekarang ini. Perjalanan kariernya tak jarang diputar-balikan keadaan yang tidak malah menjadikannya mundur. Pernah pada tahun 2011, hasil pertunjukannya dirampas habis oleh para kriminal. Braga, tempat kariernya lahir, pada saat itu harus menjadi saksi bisu pula kekecewaan Wanggi terhadap keadaan sosial. Namun karena kejadian itu, Wanggi malah menggelar pertunjukan berjudul “Braga Aku Kembali” sebuah pagelaran di mana Wanggi membuktikan jatuh bangunnya dia tidak membuatnya menyerah untuk tetap menghidupkan dan mengenalkan pantomim pada masyarakat.
Tidak mudah untuk melakukan suatu pertunjukan pantomim, diperlukan latihan, meditasi, dan Yoga untuk melatih gerak tubuh. Pantomim bukan hanya untuk menghibur, melainkan suatu penyampaian pesan, suatu wadah untuk mengangkat kembali isu-isu sosial dan kemanusiaan yang telah dilupakan masyarakat.
“Manusia sekarang itu butuh selain yang enak, juga butuh yang enek. Nah di pantomim ini kita kasih yang enek. Karena mereka tidak akan mengerti, tapi kita tidak memaksakan mereka untuk mengerti. Karena di pantomim kita bermain imajinasi,” ujar Wanggi.
Pria kelahiran 24 Mei 1988 ini pun menjelaskan bahwa sejarah pantomim itu berat. Pantomim menurutnya adalah seni kebebasan yang bisa bermain diruang apa saja, dan bisa ‘memerangi’ para pembunuh zaman.
“Disitulah pertaruhannya. Dan pertaruhan saya adalah bagaimana membuat penonton tersenyum mengerti, bukan tertawa,” tutur Wanggi.
Harapan Wanggi ini hanyalah masyarakat bandung lebih mengerti dan menghargai pantomim. Pria lulusan seni teater STSI ini pun berharap pantomim tetap dapat menjadi alat perjuangan. “saya juga berharap bahwa suatu saat komunitas pantomim memiliki rumah proses sendiri yang independen tanpa campur tangan pihak-pihak manapun,” ujarnya kembali. (Nida Amalia Sholehah, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)
Website : http://berita.upi.edu/?p=1409
Dongeng Bisu Wanggi Hoed
By ahmad fauzan on November 28, 2015
Dongeng Wanggi menceritakan kegembiraan anak-anak yang diberikan kebebasan oleh orang tuanya untuk berkreativitas. Namun meski tanpa suara dan bermodalkan gerak tubuh dan mimik muka, Wanggi berhasil membuat anak-anak tertawa.
Wanggi merupakan satu dari beberapa pendongeng yang turut meramaikan Deklarasi Hari Dongeng Nasional. Deklarasi ini ingin menjadikan hari kelahiran Pak Raden yakni tanggal 28 November sebagai Hari Dongeng Nasional.[]
Website : http://kabarkampus.com/2015/11/dongeng-bisu-wanggi-hoed/
Wanggi Hoed : “Pantomime Jalanan Adalah Sikap Saya…”
Dewasa ini, seni pantomime menjadi salah satu alternatif kesenian
yang diminati oleh para pemuda/i di Indonesia, terutama di kota-kota
besar. Buntung.co. melakukan wawancara dengan salah
satu seniman pantomime asal kota Bandung, Wanggi Hoed, yang terakhir
tampil di acara Mata Najwa, Metro TV. Wanggi Hoed memiliki gagasan
mengenai pantomime jalanan (street pantomime). Berikut kutipan wawancara lengkap Wanggi Hoed dengan Ikbal Maulana dari Buntung.co.
Buntung.co: Sejak kapan Wanggi Hoed berpikir melakukan pantomime di jalanan?
Wanggi Hoed (WH): Sudah sejak lama, ketika saya masih duduk di bangku SMP, SMA, kemudian dilanjutkan semasa kuliah di STSI Bandung sampai sekarang. Energi jalanan itu sangat kuat buat saya sendiri ketika terjun melakukan beberapa aksi-aksi kreatif tanpa kekerasan (pantomime), seiring jalan menjadi bentuk yang tidak disadari bahwa jalanan adalah sebuah tempat kejam sekaligus mengasyikan dan di sana terjadi berbagai interaksi. Melalui pantomime jalanan terjadi banyak pertemuan ide-ide.
Buntung.co: Mengapa harus memilih jalanan sebagai ruang kreatif Wanggi Hoed melakukan pantomime, apakah memang tidak ada orang yang ber-pantomime di jalan, ataukah ada alasan lain?
WH: Pada akhirnya itu adalah satu bentuk sikap saya. Di jalananlah saya menarik benang merah bahwa pantomime tidak harus merasa eksklusif. Selain itu, pantomime jalanan akan menjadi ciri khas tersendiri, yakni lebih dekat dengan masyarakat. Dan dijalanan, pantomime bisa memasuki ruang-ruang kebebasan. Saya ingin mengutip salah satu quote tokoh pantomime yakni Druliland yang eksis pada tahun 1921, ia berkata “pantomime memasuki ruang-ruang kebebasan dan di sana ia akan terus memerangi para pemimpin jaman”. Akhirnya, para seniman pantomime akan dipersilahkan memilih mau berkarya di ruang konvensional atau di jalanan? Apabila ia memilih jalanan maka akan selalu bergesekan dengan masyarakat, para penguasa jalanan, bahkan para aparat negara. Jadi, sejak dulu pantomime selalu melakukan kritik atas kebijakan-kebijakan penguasa yang menyimpang. Di Indonesia pun terjadi semacam penyimpangan tersebut. Seturut perkataan dia maka saya melakukan perang tanpa suara (baca: pantomime) di jalanan.
Buntung.co: Jadi di jalanan adalah akses yang paling memungkinkan untuk melakukan penyadaran pada masyarakat?
WH: Ya, akses yang paling memungkinkan untuk menyampaikan satu pesan, isu, dan menyadarkan masyarakat sekitar apa yang tengah terjadi di Negaranya sendiri. Jika pantomime dipentaskan di panggung konvensional maka akan terkesan eksklusif dan belum tentu isu atau pesan akan tersampaikan.
Buntung.co: Apa saja sih tema yang selalu diangkat oleh Wanggi Hoed ketika melakukan pantomime jalanan?
WH : Selama 7 tahun kebelakang, saya selalu mengangkat tema-tema sosial, kemanusiaan, lingkungan, sejarah dunia, dan fenomena urbanisasi. Saya merangkum isu-isu tersebut untuk dijadikan sebuah karya dan bekerjasama dengan NGO serta lembaga-lembaga independen yang fokus terhadap isu-isu tersebut. Tujuannya ialah mengingatkan sekaligus menyadarkan pemerintah dan masyarakat akan keadaan sosial kita, kemanusiaan kita, lingkungan kita yang semakin dirusak oleh proyek pembangunan, urbanisasi, penggusuran, dan warisan-warisan kebudayaan dunia yang sekarang sudah semakin ‘hilang’ oleh tindakan genosida kebudayaan (penghancuran situs kepurbakalaan). Dewasa ini, saya sedang masuk pada jalan kesemestaan untuk dijadikan sebuah isu.
Buntung.co: Apa itu isu kesemestaan?
WH: Isu ini masuk pada wilayah bentuk spiritual. Sebuah rangkuman perjalanan saya untuk mengingatkan kembali bahwa ketika ketidakadilan itu hadir kita akan selalu melawan dengan cara kita masing-masing. Akhirnya, bentuk pantomime jalanan saya mengambil bentuk-bentuk ritual. Suatu bentuk perlawanan tanpa kekerasan. Jadi ketika kita belum dilahirkan pun kita sudah melakukan perjuangan, bahkan orang tua kita sudah melakukan hal tersebut. Artinya, harus diteruskan perjuangan tersebut agar tidak sia-sia. Tentu saja, harus ada konsistensi.
Buntung.co: Apakah ada pengalaman lain yang mengarahkan Wanggi Hoed pada isu kesemestaan ini?
WH: Ya, dari pengalaman (orang tua dan kelahiran) itulah saya mencoba merawat ingatan ini sebagai bentuk sejarah yang tidak boleh putus. Selain itu, pengalaman saya melakukan pentas di panggung, jalanan, dan berbagai tempat, membuat diri saya merasakan sesuatu yang maha dahsyat. Pada waktu lalu, saya pun melakukan pantomime di puncak Gunung Semeru. Hal ini mengajarkan saya bahwa kenyataannya kita ini begitu kecil. Oleh karena itu, kita harus selalu mem-bumi agar dibaca oleh kawan-kawan yang melihat apa yang sedang kita lakukan.
Buntung.co: Artinya Wanggi Hoed mencoba mengangkat tema yang sangat universal?
WH: Ya, saya mencoba untuk tidak masuk pada ranah-ranah yang negatif. Saya terkadang tidak mau berkecimpung di ranah birokratis. Saya hanya ingin menyuarakan secara lantang dengan tubuh saya. Saya mencoba mengakar, mengukur, menakar situasi dengan melakukan observasi terhadap kondisi publik, lalu karya apa yang harus dibuat. Setelah itu, saya terjun ke ruang publik, karena di sana tantangan terbesarnya. Ini sangat sulit sebab persoalannya apakah publik menerima atau tidak? Apakah bentuk-bentuk semacam ini, katakanlah, saya memakai dupa yang mengarah pada ritus, publik akan menerima atau tidak? Karena sudut pandang mereka menilai pantomime itu hanyalah sebuah hiburan. Nah, saya mencoba menarik energi dari tokoh pantomime seperti Charlie Chaplin dan Marcel Marceau, karena mereka membuat satu bentuk tragik-komik (tragedi-komedi). Pada akhirnya orang tersadarkan oleh film-film bisu mereka, mungkin karena sejarah pantomime itu sendiri lahir dari pengalaman seorang manusia, bahkan karya Marcel Marceau tidak lepas dari biografi hidupnya, ketika Marcel Marceau yang saat itu berusia 5 tahun harus menyaksikan ayahnya meninggal dalam peristiwa holocaust. Di Indonesia pun, ada hal semacam itu, akhirnya saya pun menarik satu kesimpulan bahwa pantomime menggunakan tubuh sebagai medium bahasa, sebab bahasa tubuh adalah bahasa universal.
Buntung.co: Wanggi Hoed sendiri mendapat inspirasi dari mana, sehingga bisa menciptakan karya-karya pantomime jalanan?
WH: Tentu ada, saya mendapat pengaruh dari Charlie Chaplin, Marcel Marceau, Buster Keaton, Kazuo Ono, Vina Boost, dan beberapa seniman-seniman teater baik dalam maupun luar negeri. Tetapi, saya fokus di kedua tokoh yakni Charlie Chaplin dan Marcel Marceau, karena mereka berdua memiliki energi yang sama dengan saya untuk menyuarakan persoalan sosial dan kemanusiaan yang tengah terjadi dimana-mana. Saya mampu melakukan pantomime dalam keadaan sakit sekalipun, ini terbantu oleh energi, biografi, gagasan, dan perjuangan mereka.
Buntung.co: Adakah keinginan untuk sama seperti tokoh idola Wanggi Hoed, atau bahkan melampauinya?
WH: Saya tidak mungkin melampaui mereka, karena sejarah mereka sudah kuat. Tapi untuk membuat generasi seperti mereka itu sangatlah mungkin. Saya sendiri tidak mau disebut sebagai maestro. Tapi bagaimana caranya masyarakat dunia bisa melihat pantomime di Indonesia hadir beserta kearifan lokalnya dan mengangkat apa yang menjadi fenomena beserta perjalanan sejarahnya. Kenapa saya berbicara mengenai kearifan lokal, karena saya orang Indonesia bukan orang Eropa.
Buntung.co: Pada intinya saya tidak ingin menjadi Charlie Chaplin atau Marcel Marceau, tetapi ingin menjadi Wanggi Hoed saja, bukan begitu?
WH: Saya ingin menjadi seorang Wanggi Hoed yang bisa menikmati keindahan alam Indonesia, kebudayaannya, dan keberagaman suku di Indonesia. Hal itu yang ingin saya angkat ke permukaan. Di sanalah sumber energi budaya yang kita punya. Pada saat pantomime masuk pada bentuk kearifan lokal Indonesia, maka kita bisa menancapkan ciri khas kita bahwa pantomime Indonesia seperti ini, lho. Itulah suplemen yang bergizi buat saya dan teman-teman seperjuangan.
Buntung.co: Berarti tokoh idola yang Wanggi Hoed sebutkan hanya diambil energi beserta ide-idenya saja, sehingga tidak begitu penting bagi Wanggi Hoed untuk melampaui mereka?
WH: Saya ambil energi dan ide, tidak perlu melampaui mereka. Bahkan ingin menyamakan derajatnya pun tidak perlu. Jika baca sejarah mereka kita tahu hal itu tidak perlu. Saya tidak takut untuk ‘mati muda’, karena kematian niscaya terjadi, itu bentuk perjalanan yang mengantarkan kita ke suatu tempat.
Buntung.co: Dimana sih Wanggi Hoed biasa melakukan pantomime jalanan, trotoarkah, halaman rumahkah, pelataran parkirkah, atau?
WH: Hari ini tepat 1 dekade saya melakukan pantomime dan sudah merasakan beberapa ruang yang menurut masyarakat tidak masuk akal. Dari mulai jalanan, trotoar, sungai, jembatan, situs sejarah, makam-makam, sawah, hutan, terminal, stasiun, halte, danau, terakhir di puncak Gunung Semeru. Sebagai seniman pantomime kita harus menciptakan ruang. Ruang tercipta karena keberanian. Karena resiko di ruang publik sangatlah besar, terutama perizinan, jika harus ada semacam itu.
Buntung.co: Adakah tempat yang belum Wanggi Hoed singgahi dan mempunyai rencana pentas pantomime di sana?
WH: Tempat yang belum pernah saya singgahi adalah kedalaman laut. Ha ha ha. Saya kepingin pentas di sana. Ha ha ha.
Buntung.co: Kapan kira-kira rencana pentas di sana?
WH: Saya sedang menyusun agenda, apakah tahun ini atau tahun depan. Saya harus benar-benar melatih tubuh saya untuk masuk ke kedalaman laut.
Buntung.co: Bagaimana tanggapan publik melihat aksi kreatif Wanggi Hoed?
WH: Tanggapan publik bermacam-macam, ada yang ingin belajar, meminta tips pantomime, sampai yang mengolok-olok baik melempar es krim maupun meludah. Ya, saya menikmati saja tanggapan yang beragam ini. Walaupun, saya harus masuk pengadilan, mendekap di ruang tahanan, diinterogasi polisi, dan sebagainya, karena mereka tahu jika mereka sedang dikritik secara lembut oleh saya. Agar masyarakat tahu bahwa pantomime jalanan ini sisi komedinya minim.
Buntung.co: Apa sih terobosan Wanggi Hoed untuk memajukan pantomime jalanan?
WH: Saya ingat bahwa angin di atas lebih kencang, jadi apapun terobosan yang dilakukan oleh kawan-kawan seniman pantomime silahkan kembangkan sampai menjadi besar bahkan eksklusif. Saya tidak melarang. Tapi saya harus tetap bersama masyarakat, terutama di jalanan dan mengingatkan terus bahwa pantomime Indonesia berbeda dengan pantomime Prancis, Jerman, Inggris, dan Rusia.
Buntung.co: Wanggi Hoed sudah memiliki jam terbang yang banyak juga pernah berkolaborasi bersama seniman Prancis dengan mencipta karya Sirkus Kontemporer dan mementaskan di Vietnam, lalu beberapa kali pentas di luar kota, terakhir di Metro TV. Dari perjalanan yang panjang itu apa yang ingin Wanggi Hoed bagikan?
WH: Dalam perjalanan setiap manusia tentu memiliki tantangan, halangan, kebahagiaan, penyelasan, bahkan kesunyian. Di sini saya mencoba membagi pengalaman pantomime saya, bahwa bagaimana mendedikasikan hidup dalam satu tempat. Lalu, bagaimana berpikir untuk lingkungan, situasi sosial, dan Indonesia, dengan mental yang tidak imun kritik. Jika anti kritik silahkan mati saja.
Buntung.co: Selama ini Wanggi Hoed menggunakan pantomime sebagai medium perjuangan, adakah niat untuk beralih topik?
WH: Tidak ada! Tetap media perjuangan dan perlawanan. Karena dari situlah saya ingin merubah image tentang pantomime.
Buntung.co: Jika sebagian besar publik merespon positif pantomime jalanan Wanggi Hoed, adakah niat untuk membentuk kelas pantomime atau tempat belajar pantomime?
WH: Saya mencoba berdaya guna di masyarakat, jika ada rezeki lebih mungkin saya akan membuat ruang yang dapat menampung kawan-kawan untuk belajar pantomime jalanan, membuat lokakarya, bahkan bukan hanya itu saya akan menampung seni-seni lainnya. Saya kira itu yang dibutuhkan orang-orang dewasa ini, bukan lagi sekedar memberikan ceremony tetapi edukasi. Ini adalah bentuk dedikasi saya dan kawan-kawan Mixi Imajimime Indonesia kepada masyarakat. Kalau masyarakat sadar saya telah membuka kelas di jalanan, saya telah memberikan edukasi pada setiap nomor karya pantomime jalanan saya. Jadi kelas itu ada juga di jalanan. Selain itu, saya sendiri memberikan nuansa baru pada pantomime dengan ikat tradisional di kepala, itu khas saya. Orang banyak mengklaim tapi itulah kebiasaan masyarakat kita. Selanjutnya, harapan saya ialah minimal masyarakat sadar akan kehadiran pantomime jalanan, kenapa harus berada di ruang publik dan kenapa bentuk pantomime-nya seperti ini. Jangan banyak bicara, buatlah satu tindakan! Karena itulah yang akan menghidupkan kita.
Buntung.co: Sejak kapan Wanggi Hoed berpikir melakukan pantomime di jalanan?
Wanggi Hoed (WH): Sudah sejak lama, ketika saya masih duduk di bangku SMP, SMA, kemudian dilanjutkan semasa kuliah di STSI Bandung sampai sekarang. Energi jalanan itu sangat kuat buat saya sendiri ketika terjun melakukan beberapa aksi-aksi kreatif tanpa kekerasan (pantomime), seiring jalan menjadi bentuk yang tidak disadari bahwa jalanan adalah sebuah tempat kejam sekaligus mengasyikan dan di sana terjadi berbagai interaksi. Melalui pantomime jalanan terjadi banyak pertemuan ide-ide.
Buntung.co: Mengapa harus memilih jalanan sebagai ruang kreatif Wanggi Hoed melakukan pantomime, apakah memang tidak ada orang yang ber-pantomime di jalan, ataukah ada alasan lain?
WH: Pada akhirnya itu adalah satu bentuk sikap saya. Di jalananlah saya menarik benang merah bahwa pantomime tidak harus merasa eksklusif. Selain itu, pantomime jalanan akan menjadi ciri khas tersendiri, yakni lebih dekat dengan masyarakat. Dan dijalanan, pantomime bisa memasuki ruang-ruang kebebasan. Saya ingin mengutip salah satu quote tokoh pantomime yakni Druliland yang eksis pada tahun 1921, ia berkata “pantomime memasuki ruang-ruang kebebasan dan di sana ia akan terus memerangi para pemimpin jaman”. Akhirnya, para seniman pantomime akan dipersilahkan memilih mau berkarya di ruang konvensional atau di jalanan? Apabila ia memilih jalanan maka akan selalu bergesekan dengan masyarakat, para penguasa jalanan, bahkan para aparat negara. Jadi, sejak dulu pantomime selalu melakukan kritik atas kebijakan-kebijakan penguasa yang menyimpang. Di Indonesia pun terjadi semacam penyimpangan tersebut. Seturut perkataan dia maka saya melakukan perang tanpa suara (baca: pantomime) di jalanan.
Buntung.co: Jadi di jalanan adalah akses yang paling memungkinkan untuk melakukan penyadaran pada masyarakat?
WH: Ya, akses yang paling memungkinkan untuk menyampaikan satu pesan, isu, dan menyadarkan masyarakat sekitar apa yang tengah terjadi di Negaranya sendiri. Jika pantomime dipentaskan di panggung konvensional maka akan terkesan eksklusif dan belum tentu isu atau pesan akan tersampaikan.
Buntung.co: Apa saja sih tema yang selalu diangkat oleh Wanggi Hoed ketika melakukan pantomime jalanan?
WH : Selama 7 tahun kebelakang, saya selalu mengangkat tema-tema sosial, kemanusiaan, lingkungan, sejarah dunia, dan fenomena urbanisasi. Saya merangkum isu-isu tersebut untuk dijadikan sebuah karya dan bekerjasama dengan NGO serta lembaga-lembaga independen yang fokus terhadap isu-isu tersebut. Tujuannya ialah mengingatkan sekaligus menyadarkan pemerintah dan masyarakat akan keadaan sosial kita, kemanusiaan kita, lingkungan kita yang semakin dirusak oleh proyek pembangunan, urbanisasi, penggusuran, dan warisan-warisan kebudayaan dunia yang sekarang sudah semakin ‘hilang’ oleh tindakan genosida kebudayaan (penghancuran situs kepurbakalaan). Dewasa ini, saya sedang masuk pada jalan kesemestaan untuk dijadikan sebuah isu.
Buntung.co: Apa itu isu kesemestaan?
WH: Isu ini masuk pada wilayah bentuk spiritual. Sebuah rangkuman perjalanan saya untuk mengingatkan kembali bahwa ketika ketidakadilan itu hadir kita akan selalu melawan dengan cara kita masing-masing. Akhirnya, bentuk pantomime jalanan saya mengambil bentuk-bentuk ritual. Suatu bentuk perlawanan tanpa kekerasan. Jadi ketika kita belum dilahirkan pun kita sudah melakukan perjuangan, bahkan orang tua kita sudah melakukan hal tersebut. Artinya, harus diteruskan perjuangan tersebut agar tidak sia-sia. Tentu saja, harus ada konsistensi.
Buntung.co: Apakah ada pengalaman lain yang mengarahkan Wanggi Hoed pada isu kesemestaan ini?
WH: Ya, dari pengalaman (orang tua dan kelahiran) itulah saya mencoba merawat ingatan ini sebagai bentuk sejarah yang tidak boleh putus. Selain itu, pengalaman saya melakukan pentas di panggung, jalanan, dan berbagai tempat, membuat diri saya merasakan sesuatu yang maha dahsyat. Pada waktu lalu, saya pun melakukan pantomime di puncak Gunung Semeru. Hal ini mengajarkan saya bahwa kenyataannya kita ini begitu kecil. Oleh karena itu, kita harus selalu mem-bumi agar dibaca oleh kawan-kawan yang melihat apa yang sedang kita lakukan.
Buntung.co: Artinya Wanggi Hoed mencoba mengangkat tema yang sangat universal?
WH: Ya, saya mencoba untuk tidak masuk pada ranah-ranah yang negatif. Saya terkadang tidak mau berkecimpung di ranah birokratis. Saya hanya ingin menyuarakan secara lantang dengan tubuh saya. Saya mencoba mengakar, mengukur, menakar situasi dengan melakukan observasi terhadap kondisi publik, lalu karya apa yang harus dibuat. Setelah itu, saya terjun ke ruang publik, karena di sana tantangan terbesarnya. Ini sangat sulit sebab persoalannya apakah publik menerima atau tidak? Apakah bentuk-bentuk semacam ini, katakanlah, saya memakai dupa yang mengarah pada ritus, publik akan menerima atau tidak? Karena sudut pandang mereka menilai pantomime itu hanyalah sebuah hiburan. Nah, saya mencoba menarik energi dari tokoh pantomime seperti Charlie Chaplin dan Marcel Marceau, karena mereka membuat satu bentuk tragik-komik (tragedi-komedi). Pada akhirnya orang tersadarkan oleh film-film bisu mereka, mungkin karena sejarah pantomime itu sendiri lahir dari pengalaman seorang manusia, bahkan karya Marcel Marceau tidak lepas dari biografi hidupnya, ketika Marcel Marceau yang saat itu berusia 5 tahun harus menyaksikan ayahnya meninggal dalam peristiwa holocaust. Di Indonesia pun, ada hal semacam itu, akhirnya saya pun menarik satu kesimpulan bahwa pantomime menggunakan tubuh sebagai medium bahasa, sebab bahasa tubuh adalah bahasa universal.
Buntung.co: Wanggi Hoed sendiri mendapat inspirasi dari mana, sehingga bisa menciptakan karya-karya pantomime jalanan?
WH: Tentu ada, saya mendapat pengaruh dari Charlie Chaplin, Marcel Marceau, Buster Keaton, Kazuo Ono, Vina Boost, dan beberapa seniman-seniman teater baik dalam maupun luar negeri. Tetapi, saya fokus di kedua tokoh yakni Charlie Chaplin dan Marcel Marceau, karena mereka berdua memiliki energi yang sama dengan saya untuk menyuarakan persoalan sosial dan kemanusiaan yang tengah terjadi dimana-mana. Saya mampu melakukan pantomime dalam keadaan sakit sekalipun, ini terbantu oleh energi, biografi, gagasan, dan perjuangan mereka.
Buntung.co: Adakah keinginan untuk sama seperti tokoh idola Wanggi Hoed, atau bahkan melampauinya?
WH: Saya tidak mungkin melampaui mereka, karena sejarah mereka sudah kuat. Tapi untuk membuat generasi seperti mereka itu sangatlah mungkin. Saya sendiri tidak mau disebut sebagai maestro. Tapi bagaimana caranya masyarakat dunia bisa melihat pantomime di Indonesia hadir beserta kearifan lokalnya dan mengangkat apa yang menjadi fenomena beserta perjalanan sejarahnya. Kenapa saya berbicara mengenai kearifan lokal, karena saya orang Indonesia bukan orang Eropa.
Buntung.co: Pada intinya saya tidak ingin menjadi Charlie Chaplin atau Marcel Marceau, tetapi ingin menjadi Wanggi Hoed saja, bukan begitu?
WH: Saya ingin menjadi seorang Wanggi Hoed yang bisa menikmati keindahan alam Indonesia, kebudayaannya, dan keberagaman suku di Indonesia. Hal itu yang ingin saya angkat ke permukaan. Di sanalah sumber energi budaya yang kita punya. Pada saat pantomime masuk pada bentuk kearifan lokal Indonesia, maka kita bisa menancapkan ciri khas kita bahwa pantomime Indonesia seperti ini, lho. Itulah suplemen yang bergizi buat saya dan teman-teman seperjuangan.
Buntung.co: Berarti tokoh idola yang Wanggi Hoed sebutkan hanya diambil energi beserta ide-idenya saja, sehingga tidak begitu penting bagi Wanggi Hoed untuk melampaui mereka?
WH: Saya ambil energi dan ide, tidak perlu melampaui mereka. Bahkan ingin menyamakan derajatnya pun tidak perlu. Jika baca sejarah mereka kita tahu hal itu tidak perlu. Saya tidak takut untuk ‘mati muda’, karena kematian niscaya terjadi, itu bentuk perjalanan yang mengantarkan kita ke suatu tempat.
Buntung.co: Dimana sih Wanggi Hoed biasa melakukan pantomime jalanan, trotoarkah, halaman rumahkah, pelataran parkirkah, atau?
WH: Hari ini tepat 1 dekade saya melakukan pantomime dan sudah merasakan beberapa ruang yang menurut masyarakat tidak masuk akal. Dari mulai jalanan, trotoar, sungai, jembatan, situs sejarah, makam-makam, sawah, hutan, terminal, stasiun, halte, danau, terakhir di puncak Gunung Semeru. Sebagai seniman pantomime kita harus menciptakan ruang. Ruang tercipta karena keberanian. Karena resiko di ruang publik sangatlah besar, terutama perizinan, jika harus ada semacam itu.
Buntung.co: Adakah tempat yang belum Wanggi Hoed singgahi dan mempunyai rencana pentas pantomime di sana?
WH: Tempat yang belum pernah saya singgahi adalah kedalaman laut. Ha ha ha. Saya kepingin pentas di sana. Ha ha ha.
Buntung.co: Kapan kira-kira rencana pentas di sana?
WH: Saya sedang menyusun agenda, apakah tahun ini atau tahun depan. Saya harus benar-benar melatih tubuh saya untuk masuk ke kedalaman laut.
Buntung.co: Bagaimana tanggapan publik melihat aksi kreatif Wanggi Hoed?
WH: Tanggapan publik bermacam-macam, ada yang ingin belajar, meminta tips pantomime, sampai yang mengolok-olok baik melempar es krim maupun meludah. Ya, saya menikmati saja tanggapan yang beragam ini. Walaupun, saya harus masuk pengadilan, mendekap di ruang tahanan, diinterogasi polisi, dan sebagainya, karena mereka tahu jika mereka sedang dikritik secara lembut oleh saya. Agar masyarakat tahu bahwa pantomime jalanan ini sisi komedinya minim.
Buntung.co: Apa sih terobosan Wanggi Hoed untuk memajukan pantomime jalanan?
WH: Saya ingat bahwa angin di atas lebih kencang, jadi apapun terobosan yang dilakukan oleh kawan-kawan seniman pantomime silahkan kembangkan sampai menjadi besar bahkan eksklusif. Saya tidak melarang. Tapi saya harus tetap bersama masyarakat, terutama di jalanan dan mengingatkan terus bahwa pantomime Indonesia berbeda dengan pantomime Prancis, Jerman, Inggris, dan Rusia.
Buntung.co: Wanggi Hoed sudah memiliki jam terbang yang banyak juga pernah berkolaborasi bersama seniman Prancis dengan mencipta karya Sirkus Kontemporer dan mementaskan di Vietnam, lalu beberapa kali pentas di luar kota, terakhir di Metro TV. Dari perjalanan yang panjang itu apa yang ingin Wanggi Hoed bagikan?
WH: Dalam perjalanan setiap manusia tentu memiliki tantangan, halangan, kebahagiaan, penyelasan, bahkan kesunyian. Di sini saya mencoba membagi pengalaman pantomime saya, bahwa bagaimana mendedikasikan hidup dalam satu tempat. Lalu, bagaimana berpikir untuk lingkungan, situasi sosial, dan Indonesia, dengan mental yang tidak imun kritik. Jika anti kritik silahkan mati saja.
Buntung.co: Selama ini Wanggi Hoed menggunakan pantomime sebagai medium perjuangan, adakah niat untuk beralih topik?
WH: Tidak ada! Tetap media perjuangan dan perlawanan. Karena dari situlah saya ingin merubah image tentang pantomime.
Buntung.co: Jika sebagian besar publik merespon positif pantomime jalanan Wanggi Hoed, adakah niat untuk membentuk kelas pantomime atau tempat belajar pantomime?
WH: Saya mencoba berdaya guna di masyarakat, jika ada rezeki lebih mungkin saya akan membuat ruang yang dapat menampung kawan-kawan untuk belajar pantomime jalanan, membuat lokakarya, bahkan bukan hanya itu saya akan menampung seni-seni lainnya. Saya kira itu yang dibutuhkan orang-orang dewasa ini, bukan lagi sekedar memberikan ceremony tetapi edukasi. Ini adalah bentuk dedikasi saya dan kawan-kawan Mixi Imajimime Indonesia kepada masyarakat. Kalau masyarakat sadar saya telah membuka kelas di jalanan, saya telah memberikan edukasi pada setiap nomor karya pantomime jalanan saya. Jadi kelas itu ada juga di jalanan. Selain itu, saya sendiri memberikan nuansa baru pada pantomime dengan ikat tradisional di kepala, itu khas saya. Orang banyak mengklaim tapi itulah kebiasaan masyarakat kita. Selanjutnya, harapan saya ialah minimal masyarakat sadar akan kehadiran pantomime jalanan, kenapa harus berada di ruang publik dan kenapa bentuk pantomime-nya seperti ini. Jangan banyak bicara, buatlah satu tindakan! Karena itulah yang akan menghidupkan kita.
Website : http://www.buntung.co/index.php/2015/09/23/wanggi-hoed-pantomime-jalanan-adalah-sikap-saya/
Langganan:
Postingan (Atom)