Minggu, 03 Februari 2019

Press Release Riung Raung Vol 1. Bandung.





Riung Raung Memperingati Hari Primata
Menyebarkan kesadaran masyarakat terhadap konservasi dan semakin bijaksana menggunakan akal
dan budi dalam memperlakukan satwa.

Bandung, 31 Januari 2019

Hari Primata Nasional diperingati pada 30 Januari 2019. Hal ini ditandai dengan kegelisahan akan
kondisi primata Indonesia karena perilaku manusia terhadap satwa yang statusnya dilindungi
maupun tidak dilindungi dianggap semakin biadab, tidak hanya banyak kasus eksploitasi yang
ditemui namun juga ditemukan kasus sekelompok orang mengonsumsi daging orangutan yang
statusnya dilindungi.
Berkurangnya populasi orangutan paling besar diakibatkan oleh ekspansi industri perkebunan,
terutama kelapa sawit, dan juga perburuan oleh manusia. Sedangkan populasi primata lain
diakibatkan oleh banyaknya perburuan manusia demi pundi-pundi uang dengan cara
mengeksploitasi monyet ekor panjang atau jenis primata lainnya untuk bisnis hiburan manusia.

Konflik antar manusia dan primata pun tak urung terjadi dikarenakan mereka kehabisan lahan
tempat tinggal dan tidak memiliki sumber makanan yang biasa mereka dapatkan di alamnya.
Dua tahun lalu, ditemukan spesies orangutan baru di daerah Tapanuli, Indonesia. Namun
populasinya yang kini tidak sampai 800 ekor, membuat spesies ini termasuk dalam kategori hampir
punah. Hal ini semakin menghawatirkan karena diketahui ada rencana untuk pembuatan DAM
untuk pembangkit tenaga air dan didanai oleh Bank of China. Habitat populasi orangutan menjadi
salah satu indikator kualitas ekosistem di Indonesia, terutama kondisi hutan dan selalu ada
hubungannya antara deforestasi atau berkuranganya jumlah area hutan.
Atas dasar keprihatinan tersebut, Riung Raung dibentuk dan akan melaunching event pertamanya
di Bandung dengan judul Riung Raung Volume 1. Penting bagi kita semua untuk menyebarluaskan
pesan kepada masyarakat untuk sama-sama menjaga hutan, satwa dan lingkungan yang mana juga
sebagai tempat tinggal kita umat manusia.
Riung Raung adalah sebuah ruang kolektif yang menjadi wadah bersama antara lembaga konservasi
dengan lembaga-lembaga lainnya yang berjuang untuk kelestarian bumi dan yang hidup
didalamnya. Ruang serta riung baru ini bertujuan untuk membuka rasa penasaran serta kepekaan
masyarakat terhadap kelestarian keanekaragaman hayati (KEHATI) untuk menjadi bagian dari
pergerakan kami serta bersama membangun aksi kreatif untuk menyuarakan .

Dalam ruang ini kita akan memulainya di Bandung dengan berbagai pertunjukan seni dibalut
dengan kampanye dan akan dikemas secara menarik yang berfokus kepada kelestarian satwa endemik
Indonesia. Riung Raung mengajak para pelaku konservasi untuk bersama menyadarkan akan
pentingnya kelestarian hayati serta kami berharap seni dapat menjadi media sebagai upaya
penyadaran masyarakat secara meluas.


Acara yang diberi tema "The Earth Conservation" akan diselenggarakan sebagai berikut :
Tanggal :  Sabtu, 2 Februari 2019
Waktu : 15.00 s/d selesai
Tempat : Mr. Guan Coffee
  Jl.Tampomas No.22, Malabar, Lengkong, Kota Bandung, Jawa Barat 40262.

Narasumber :
1. Made Wedana (Aspinall Foundation)
2. Pepep Dw (Penulis, Aktivis Sadar Kawasan)
3. Dadang Sudardja (Dewan Nasional Walhi)
4. Nadya Andriani (ProFauna Indonesia).
Moderator :
1. Jalu Kencana
2. Unu Miharja

Pertunjukan Seni dan Pameran Rupa :
- Dede Pras
- Selepas Hujan
- Rendy Jean Satria
- Rizal
- Fyan Fendi
- Saut Prayuda
- Galih Mahara
- R. Lutfi Wiguna
- Arnis Muhammad
- Sworks X SR Iboe Inggit Ganarsih.

Narahubung :
Violita Berandhini
+62 856 8913 863
Raisa
+62 857 9330 5745
Instagram : @RiungRaung

Rabu, 14 November 2018

PERAYAAN 11 TAHUN MIXI IMAJIMIMETHEATRE INDONESIA.

PERAYAAN 11 TAHUN MIXI IMAJIMIMETHEATRE INDONESIA.
(11 November 2007 – 11 November 2018)
Toko Akasa Book Store, Pasar Cihapit. Bandung, Indonesia.
Penulis : Wanggi Hoed (Perintis dan Seniman Pantomim di Mixi Imajimimetheatre Indonesia)  
MENJELAJAHI IMAJINASI, MENYELAMI SUNYI
11 tahun perjalanan berproses dan berkarya Mixi Imajimimetheatre Indonesia mewarnai serta memperkaya dan berupaya konsisten dalam memberi sentuhan yang berbeda pada khazanah seni pertunjukan pantomim di tanah air. 11 tahun bukan hanya sekedar angka dalam nominal belasan, angka estafet yang melewati 1 dekade panjang, menafasi ruang-ruang yang tak berbatas, adakalanya kita sejenak jeda, lalu hadir tak terduga di ruang publik atau aktivisme, membaca ekosistem pantomim tanah air adalah membaca tanda kenyataan dari realitas zaman hari ini lewat jalan sunyi.

Setiap perjalanan ada sebuah aktivitas yang penuh dinamika, tantangan dan tumbuh-kembang-surutnya bahkan hilang ditelan zaman dalam perjalanannya. kami mencoba berdaya merawat seni ini, melanjutkan pemikiran dari perkembangan seni pantomim dunia, menyentuh lintas ruang dan disiplin untuk turutserta berkolaborasi, saling bertukar gagasan. Imajinasi yang kami suguhkan adalah bahasa gerak hidup pada pernyataan dari kenyataan kehidupan yang kami nyatakan dalam sebuah seni pertunjukan, bernama Pantomim.


“Menjelajahi Imajinasi, Menyelami Sunyi” bukan sekedar tema dalam perayaan 11 tahun ini, namun manifestasi perjalanan yang kami syukuri hingga kini masih bisa bertemu bersilaturahmi dan berkarya. Menjelajahi Imajinasi merupakan suatu penjelajahan menuju imajinasi baru, ada kekuatan imajinasi untuk melihat, membaca kehidupan dari sudut pandang berbeda guna menatap masa depan yang baik. Menyelami Sunyi merupakan penyelaman kembali dari kedalaman kesunyian yang kami pelajari, mencoba mengevaluasi dari yang sudah dirasa dan dipaham bahkan dilakukan hingga kini.
Menjelajahi Imajinasi, Menyelami Sunyi adalah manifestasi dari ruang jelajah yang kami lampaui ketika menjadi sunyi, untuk kembali kepada diri bahwa imaji dan sunyi adalah ruang nyata yang kita tak sadari. Pantomim bagi kami hanya medium seni penyampai pesan gestikulasi indrawi untuk berbagi imaji dan kesunyian itu pada orang-orang disekitar.

Hari ini, Senin 12 November 2018 kami berada di Akasa Book Store, Pasar Cihapit untuk berbagi silaturahmi dengan cara kami ; pameran arsip & artefak, diskusi perjalanan dan perkembangan pantomim dunia, pantomim respon di pasar cihapit juga tumpengan & do’a bersama adalah secuil rasa cinta kami pada tanah air, dan masyarakat pasar terutama warga negara Indonesia. Melalui ruang ini kami belajar dari titik dimana pertemuan segala elemen masyarakat dipertemukan dan berinteraksi sesuai dengan porsi dan kebutuhannya. Pasar adalah tempat titik temu penjual dan pembeli melakukan transaksi jual-beli, dan kami disini berinteraksi sosial untuk berbagi seni yang kami miliki. Pantomim rasa timur diruang jual-beli.

Bandung, 12 November 2018.
 Akasa Book Store, Pasar Cihapit

Jumat, 13 April 2018

Indonesia Street Mime International Festival 2017 - Turn Back Mime

TURN BACK MIME DAN TUBUH YANG BERSUARA
Oleh : Wanggi Hoed, Seniman Pantomime



ISMIF (Indonesia Street Mime International Festival), merupakan kegiatan seni pertunjukan pantomime yang pertama kali di selenggarakan di Indonesia, bertempat di Bundaran Besar Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada tanggal 29 Januari 2017, yang pementasannya ditampilkan serentak di ruang publik / jalanan (street performance) sebagai panggung pertunjukan. ISMIF sendiri masuk dalam agenda kegiatan dari rangkaian Turn Back Mime 2017, yang didalamnya akan ada ; Workshop, Diskusi dan Uji Nyali bersama seniman pantomime Indonesia sekaligus narasumber, yaitu : Wanggi Hoed, yang telah 10 tahun lebih berkarya di dunia seni pantomime.
Kegiatan ini terselenggara atas inisiatif dari beberapa anak muda tanah air, seperti : Institute Tingang Borneo Theatre (ITBT), Rumah Talenta dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah dan Mixi Imajimimetheatre Indonesia dari Bandung, Asean Mime Society, Indonesia Mime Artist Association. ISMIF adalah hajat seni budaya melalui medium tubuh, imajinasi dan perangkat pendukung (bila diperlukan) oleh para seniman / pelaku seni yang terlibat didalamnya.
Untuk tahun ini ISMIF 2017 mengangkat tema universal dengan judul : “The Body Of Sounds” (Suara Tubuh). “The Body of Sounds” sebagai pusar interaksi segala daya energi indrawi guna mempererat tali silaturahmi, persaudaraan dan persatuan antar lintas kultural, Melalui ISMIF 2017 seyogyanya kita bersama bisa mengingat dan merawat kelestarian seni budaya yang ada dan tumbuh di tanah air (khususnya pantomime), sebab kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Disitulah ISMIF hadir untuk bersama-sama bergerak dalam satu tubuh, satu jiwa, satu rasa sebagai bentuk tindakan nyata. ISMIF 2017 adalah panggung bagi para seniman pantomime dan pelaku seni pertunjukan lainnya, untuk berkarya dengan medium tubuh, ISMIF adalah bagian dari tubuh budaya. Melalui ISMIF kita berharap akan lahir inisiator dan regenerator muda dalam kebudayaan di Indonesia.
Kita berharap semoga ISMIF menjadi awal sejarah yang baik dan di ingat oleh masyarakat, sebagai sejarah revolusi seni pertunjukkan di Indonesia.

http://blog.spektakel.id/2017/01/31/turn-back-mime-dan-tubuh-yang-bersuara-di-indonesia-street-mime-international-festival-2017/

Rabu, 04 April 2018

Indonesia Street Mime International Festival 2017

Seni.co.id  - 30 Januari 2017
Editor : Aendra M

Indonesia Street Mime International Festival 2017: Sejarah itu Ada dan Berlipat-lipat Ganda




Catatan Penting untuk pelaku seni budaya Indonesia. Indonesia Street Mime International Festival 2017.
Sejarah itu Ada dan Berlipat-lipat Ganda
Sejarah pantomime di Indonesia Street Mime International Festival 2017 “The Body of Sounds” di ruang publik (street pantomime) sudah tercipta bersama dulur-dulur Institute Tingang Borneo, Rumah Talenta, Riak Renteng Tingang, Mime Borneo, Komunitas Teater, Oi Palangkaraya, Subud International, Sekolah Relawan Palangkaraya, Mime Banjarmasin, CleanAction Palangkaraya dan warga seluruh masyarakat yang terlibat di Indonesia Street Mime International Festival pertama kali di Indonesia dan menjadi sejarah per-pantomime-an nusantara..

sumber berita :

http://seni.co.id/2017/01/30/indonesia-street-mime-international-festival-2017-sejarah-itu-ada-dan-berlipat-lipat-ganda/




RUANG PANTOMIME YANG TERBATAS TAPI KREATIVITAS MENEMBUS BATAS

liputan6, 23 Maret 2016
Editor : Arie Nugraha

Gerak Aktor Pantomim Bandung Bertahan dalam Keterbatasan.



Aktor pantomim asal Bandung mengeluhkan keterbatasan ruang publik sehingga menghambatnya untuk mengekspresikan diri. (Liputan6.com/Arie Nugraha)


Liputan6.com, Bandung - Tahukah Anda jika 22 Maret tidak hanya diperingati sebagai hari Air Dunia? Pada tanggal yang sama ternyata diperingati pula sebagai hari Pantomim Dunia.

Tanggal peringatan itu mengacu pada hari kelahiran maestro pantomim dunia asal Prancis, Marcel Marceau, yang jatuh pada 22 Maret 1923. Para seniman pantomim di 13 negara memperingatinya sebagai hari Pantomim Dunia, termasuk Indonesia.

Seniman asal Bandung, Wanggi Hoediyanto, menjadi wakil Indonesia dalam peringatan tersebut. Sudah lima tahun ini ia mewakili Indonesia dalam peringatan tersebut. Ia mengaku tergerak mendalami seni olah tubuh itu karena semangat Marcel Marceau yang aktif menyuarakan hak asasi manusia lewat seni.   

"Dia salah satu pelaku seni yang menyuarakan hak asasi manusia mengenai perang dunia kedua. Dia juga sebagai pahlawan untuk para korban Holocaust," kata Wanggi di Bandung, Selasa, 22 Maret 2016.


Dalam peringatan tahun ini, Wanggi mengangkat isu air yang juga diperingati pada tanggal yang sama. Ia juga mengangkat kritikannya atas kurangnya ruang publik sebagai tempat menuangkan ide dan gagasan warga.

Wanggi beraksi pantomim bersama seorang rekannya, Gatot, mulai dari Gedung Indonesia Menggugat (GIM) menuju Tiang Bendera Gedung Merdeka sebagai peringatan World Mime Day Indonesia 2016. 

"Selama ini, masih ada tindakan-tindakan pembungkaman oleh pihak-pihak tertentu saat pelaku seni menuangkan ekspresinya," ucap Wanggi.

Kritikan itu mewakili keresahan yang dialami Wanggi. Menurut dia, perkembangan seni pantomim di Indonesia masih menghadapi banyak kendala dan hambatan untuk memasuki ruang publik. Ia menuding pandangan tabu masyarakat sebagai salah satu penghambat seni non-verbal itu.

Situasi itu berdampak pada pendapatannya. Menurut Wanggi, ia tidak mendapat keuntungan banyak selama berprofesi sebagai aktor pantomim. Meski begitu, ia meyakini masih bisa hidup sebagai pelaku seni yang juga dipopulerkan oleh Charlie Chaplin itu. 

"Pantomim bisa menghidupi saya, dari sekecil apa pun materinya. Banyak sekali kendala dan hambatan itu, menjadi napas yang tersendat, tapi memang begitu siklus hidup," tutur Wanggi.

sumber berita :

http://www.liputan6.com/regional/read/2465782/gerak-aktor-pantomim-bandung-bertahan-dalam-keterbatasan

Menyuarakan Kehidupan Melalui Pantomim

Jawa Pos, 14 Juli 2017
EDITOR : 

Features

Wanggi Hoed Terus Menyuarakan Isu Kemanusiaan lewat Pantomim.


KOMITMEN: Wanggi Hoed (tengah) dan dua rekannya saat menampilkan Nyusur History Mudik Movement di Bandung. (Fajri Achmad/Bandung Ekspres/JPG)

eski pernah punya pengalaman buruk saat mengadakan pertunjukan, Wanggi Hoed bertekad akan tetap bersuara lewat pantomim. Semangatnya berlipat setelah mendapat pesan dari putri seniman idolanya.
ANDRA NUR OKTAVIANI, Bandung
DUA hari menjelang Idul Fitri. Saat banyak warga Bandung sibuk mempersiapkan kepulangan ke kampung halaman, Wanggi Hoed memilih menyusuri jalanan di ibu kota Jawa Barat tersebut.
Dari simpang lima Asia Afrika hingga ke Alun-Alun Bandung. Dengan wajah seputih kapur dan kumis yang dibiarkan mbaplang. Tanpa suara.
”Saya ingin menyuarakan keresahan saya melihat hiruk pikuk para pemudik. Saya ingin mengingatkan masyarakat pada esensi mudik yang sebenarnya,” kata seniman pantomim asal Cirebon itu ketika ditemui di sela aksinya tersebut.
Begitulah cara seniman 29 tahun itu menyuarakan kegelisahan atau ekspresinya terhadap isu-isu sosial dan kemanusiaan. Lewat seni yang digelutinya sejak bangku SMP: pantomim.
Pada Maret 2013, misalnya, Wanggi dan beberapa komunitas mahasiswa dan pelajar menggelar kegiatan kemanusiaan yang bertajuk ”1.000 Biskuit dan Susu untuk Gizi di Indonesia”.
Selain itu, Wanggi aktif dalam penegakan keadilan terhadap beberapa kasus penculikan di era Orde Baru. Dia bersama teman-temannya menggelar aksi Kamisan di depan Gedung Sate Bandung.
Aksi Wanggi tidak selalu berjalan mulus. Aksinya dalam perayaan Hari Tubuh Internasional di kawasan Jalan Asia Afrika, Bandung, tahun lalu dihentikan polisi. Tidak berhenti sampai di situ, Wanggi pun diamankan, lalu diinterogasi petugas kepolisian.
Wanggi yang merasa tidak ada yang salah dengan aksinya lantas bertanya kepada polisi apa yang membuat aksinya dibubarkan. ”Mereka bilang Wanggi sudah bikin macet jalanan. Padahal, jalan itu tanpa Wanggi pun memang sudah macet,” terang pria kelahiran Cirebon, 24 Mei 1988, tersebut.
Pria yang terlahir dengan nama Wanggi Hoediyatno itu mempelajari pantomim secara otodidak. Dia jatuh cinta dengan seni tersebut karena bahasa tubuh adalah bahasa yang universal. Semua manusia akan memahami tanda-tanda gerak tubuh yang sifatnya konvensional. Sehingga, meski isu yang dibawakan lokal sekalipun, masyarakat dunia akan mengerti.
Pilihan itu pula yang membawanya hijrah ke Bandung untuk menuntut ilmu di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) yang sejak 2006 berganti nama menjadi Institut Seni dan Budaya Indonesia. Di tahun keduanya kuliah, Wanggi bersama empat kawannya membuat sebuah komunitas pantomim yang diberi nama Mixi Imajimime Theatre. Nama Mixi itu juga yang kemudian dijadikan nama karakter pantomim yang dia bawakan.
Wanggi berkesempatan pula terlibat dalam pertunjukan sirkus kontemporer yang dilakukan kelompok sirkus asal Prancis Chabatz D’Entrar pada 2013. Menurut Wanggi, kesempatan tersebut datang saat dirinya sedang melakukan residensi di Institut Français d’Indonésie (IFI).
Kelompok sirkus itu memang sedang melakukan tur di Indonesia, Timor Leste, dan Vietnam. Wanggi menjadi satu-satunya orang Indonesia di antara orang Prancis yang tergabung dalam kelompok tersebut.
Banyak sekali hal yang dipelajari Wanggi dari teman-temannya di kelompok sirkus itu. Salah satunya adalah disiplin. Setiap anggota kelompok harus mematuhi peraturan yang berlaku di kelompok tersebut.
Wanggi juga belajar banyak mengenai teknik pertunjukan. Bagaimana seharusnya dia bisa berekspresi dengan tepat. ”Tidak boleh berlebihan dan tidak boleh kurang juga,” katanya.
Meskipun punya pengalaman buruk saat melakukan pertunjukan, Wanggi mengaku tidak akan menyerah. Dia akan terus menyuarakan suara-suara yang tidak terdengar melalui aksi-aksi pantomimnya.
Semangat Wanggi untuk terus berpantomim makin terlecut saat dirinya menerima sebuah pesan dari Gendis A. Utoyo. Dia adalah anak maestro pantomim Sena A. Utoyo yang menjadi role model Wanggi. Melalui pesan Facebook itu, Gendis mengutarakan kerinduannya pada sang ayah. Itu terjadi setelah dia melihat foto-foto penampilan pantomim Wanggi.
Salah satu pertunjukan Wanggi juga pernah ditayangkan di TV kabel Belgia. Beberapa mahasiswa dari luar negeri pun menjadikan Wanggi dan aksinya sebagai bahan penelitian untuk tesis mereka. ”Ada dari Jerman dan Amerika Serikat. Yang dari Amerika Serikat itu bertujuh datang untuk meneliti saya,” cerita Wanggi.
Bingung mungkin kata yang pas untuk menggambarkan kondisi Wanggi saat diminta menjadi objek penelitian. Dengan kehidupan yang apa adanya, panggung dari jalan satu ke jalan lainnya, dan isu-isu berat yang kerap membuat para petinggi daerah gerah, Wanggi masih tidak dapat membayangkan apa yang bisa dia bantu dalam penelitian itu. Namun, bukan Wanggi namanya jika melewatkan kesempatan begitu saja.
Sebisa-bisanya Wanggi membantu para mahasiswa tersebut mendapatkan bahan penelitian bagus untuk dapat dituangkan dalam tugas akhir mereka. ”Mereka sempat tanya pas mereka berkunjung sedang ada kegiatan atau tidak. Saya bilang, kalau tidak ada kegiatan, ya bikin saja. Saya bilang, yang penting kita ketemu dulu. Baru diomongin,” terang Wanggi. (*/c9/ttg)

sumber berita :
https://www.jawapos.com/read/2017/07/14/144249/wanggi-hoed-terus-menyuarakan-isu-kemanusiaan-lewat-pantomim


BANDUNG, INDONESIA WORLD MIME DAY 2018

Kumparan, Bandung Kiwari - 24 Maret 2018

Pantomim 'Senja Menitip Sunyi': Bahasa Sunyi Pencari Cinta.



Aktor pantomim, Nugraha Dwi, tampil pada acara peringatan Hari Pantomim Dunia bertema "Senja Menitip Sunyi", di Mr. Guan Coffee and Books, Bandung, Kamis (22/3/2018) malam. (Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari.com)


BANDUNG, bandungkiwari - Tubuh itu bergerak tanpa suara. Lantang bercerita tanpa kata. Berteriak dengan sepi yang menghujam. Namun hening mencekam.
Kesan itulah yang hadir ketika tangisan kesakitan bahkan hilang terjerembab malam. Hanya menyisakan linangan air mata yang melarungkan harapan, demi melantunkan bahasa cinta yang tidak mengenal titik di akhir kata.
Kamis (22/3) malam itu, Mr. Guan Coffee and Books terasa riuh tetapi sepi. Saat tubuh simbolik aktor pantomim perempuan Sopiyah Opoy, memperlihatkan dramatiknya kehidupan yang dijalani sebagai perempuan dalam perjuangan hidup mati ketika proses kelahiran yang berujung dengan kesunyiannya. Selang beberapa saa,t tubuh-tubuh dari aktor kelompok Mixi Imajimimetheatre Indonesia, bersama beberapa seniman lainnya bercerita tentang hidup.
Malam itu dengan kepekatan bahasa cinta yang selalu didengungkan para aktor pantomim, Bandung ikut memperingati World Mime Day atau Hari Pantomim Sedunia. Penyelenggaraan tahun ke-7 ini terus diikuti Mixi Imajimimetheatre Indonesia sejak 2011, melalui inisiator World Mime Organisation yang bermarkas di Belgrade, Serbia.
Hari Pantomim sedunia yang bisa jadi luput dari ingatan banyak orang, bukan hanya sebagai hari raya para seniman pantomim semata. Lebih dari itu, sebenarnya merupakan peringatan hari lahirnya Maestro Mime Marcel Marceau ke-96, yang lahir pada 22 Maret 1923 di Strasbourg, Perancis.
Dunia seni mengapresiasi dan menempatkan Marceau sebagai tokoh yang berhasil menghidupkan kembali pantomime yang kurang popular saat itu ke seluruh dunia dengan karakter khas Bip The Clown. Pupur putih yang menutup muka, mengenakan celana putih, kaus hitam putih, dan seringkali mengenakan topi besar dengan setangkai bunga merupakan ikon yang hadir dari Marceau sejak 1947.



Sopiyah Opoy



Bagi kelompok Mixi Imajimimetheatre, sosok Marceau merupakan tokoh sekaligus ruh dalam perjalanannya menerjuni dunia seni yang mengolah bahasa tubuh ini. Tiak dapat dipungkiri Wanggi yang menjadi pentolan di kelompoknya, mengidolakan Marceau yang banyak menyampaikan pesan kehidupan dan mengajak setiap orang untuk terlibat dalam perdamaian.
Menghargai sosok inspiratif itulah Mixi Imajimimetheatre menyelenggarakan acara sederhana yang penuh keintiman ruang ini dengan mengusung tema “Senja Menitip Sunyi”.
“Senja Menitip Sunyi, merupakan tema yang kita angkat tahun ini dalam peringatan hari Pantomim. Sementara tema besar dunia yaitu ‘Mime the Language of Peace’,” ucap Wanggi Hoed seniman pantomime yang memotori komunitas Mixi Imajimimetheatre Indonesia.
“Senja Menitip Sunyi” menurutnya adalah sebuah bahasa yang luas untuk diinterpretasikan. Baginya tidak setiap hari bisa menemukan senja, dan dalam perjalanannya senja selalu menitipkan sunyi kepada manusia.
Sementara di Bandung berlangsung repertoar “Senja Menitip Sunyi”, di Belgrade, Serbia selama 21-23 Maret sedang diselenggarakan Konferensi Pantomim Dunia (World Mime Conference) yang pertama kali pertama dilaksanakan di dunia.
“Disayangkan seharusnya saya ikut acara tersebut. Tetapi karena persoalan birokrasi dan lain hal, akhirnya tidak jadi berangkat ke Serbia. Akhirnya di sini kita membuat perayaan Hari Pantomim sendiri,” jelas Wanggi yang batal berangkat, meski telah diundang untuk mengikuti konferensi pantomim dunia tersebut.


Wanggi Hoed


Sementara itu menurut Gatot Gunawan penari yang ikut merayakan acara ini, pesan penting dari pantomim adalah bahasa cinta, dan menghormati hidup. Itu sebabnya dalam acara tersebut dirinya menari mengenakan Topeng Panji ditemani anak kecil.
“Tarian saya lebih pada perlambang kehidupan,” tegas Gatot ketika ditanya perihal tariannya.
Unsur Topeng Panji yang melambangkan kesucian meruang bersama anak kecil merupakan penanda generasi penerus yang menari dengan kedamaian dan hidup tenang dengan tradisi yang dijalaninya.
Selain Gatot yang tampil dengan tariannya, malam itu pun penonton diajak berimajinasi dengan musik, salah satunya seperti Tamasya yang dibawakan John Kastela yang bercerita indahnya senja. Tidak kalah dari mereka seorang Theoresia Rumthe membacakan pula cerita pendeknya, yang bercerita tentang perjuangan perempuan yang harus menyerahkan tubuh demi keberlangsungan hidup keluarganya.
Terlepas dari pementasan para seniman dalam perayaan Hari Patomim Dunia. Wanggi yang kerap bersinggungan dengan kenyataan pahit kondisi Indonesia, dan acapkali tampil di ruang publik untuk memberikan kesadaran tentang realitas yang ada, berharap pantomim bukan hiburan semata. Namun, menjadi tugu ingatan akan peristiwa apapun itu bentuknya. Sesuai dengan gerakan World Mime Day yang dalam peringatannya terus menerus menyuarakan pesan bahasa perdamaian, melalui bahasa tubuh yang multibahasa dari setiap negara. (Agus Bebeng).

sumber berita :
https://kumparan.com/bandungkiwari/bahasa-sunyi-pencari-cinta