Minggu, 18 Juni 2017

Wanggi Hoed: Pantomim adalah Bahasa Perdamaian

Wanggi Hoed: Pantomime adalah Bahasa Perdamaian
pada Jan 10, 2017 | 18:02 WIB



Wanggi Hoed, seniman pantomim dan aktifis sosial. Foto : Agus Bebeng (antarafoto.com)



BANDUNG, AYOBANDUNG.COM  -- Tanpa dialog, lelaki berias rupa putih itu diam dengan pakaian dan payung hitam yang menjaganya dari panas matahari. Aksi tersebut dilakukannya tiap Kamis di Gedung Sate Bandung sebagai bentuk kritik atas penegakan HAM negeri ini. Menurutnya, diam adalah pernyataan paling lantang dari semua teriakan yang tidak pernah di dengar.
Ia bernama Wanggi Hoed, seniman pantomim dan aktifis sosial kelahiran Cirebon 28 tahun silam yang selalu meneriakan isu-isu kemanusiaan, lingkungan, spiritual, cinta, dan perdamaian dalam setiap karyanya. 
"Jika saya marah maka pantomim adalah medianya. Saya melukis dalam bahasa tubuh, kosong lalu mengimajinasikan dalam bentuk nyata tanpa dialog karena pantomim adalah pekerjaan sikap," ujar Wanggi Hoed pada AyoBandung, Senin Malam (9/1/2017).
Lelaki lulusan ISBI Bandung tahun 2012 ini mempelajari pantomim secara otodidak melalui literatur-literatur yang dibacanya karena tidak adanya bidang keilmuan khusus yang bicara perihal pantomim di Indonesia.
Wanggi memilih jalanan sebagai panggungnya, dengan alasan agar seni pantomim dapat masuk ke segala ruang bahkan ke lini paling bawah.
"Jika kesenian hanya ada dalam ruang-ruang galeri yang eksklusif, maka apalah arti kesenian bagi masyarakat," ujar lelaki penyuka warna hitam, putih dan merah tersebut. 
Selama 10 tahun berkarya, tidak jarang teror datang berkat pesan dalam karya Wanggi yang kritis dan 'nakal' meneriaki penguasa negeri. Seperti saat pergelaran jalanan di suatu malam, Wanggi dihentikan pihak kepolisian setahun silam karena dianggap tanpa izin.
"Kembali kebebasan berekspresi dibungkam di kota kreatif yang ramah HAM. Intimidasi sudah jadi makanan sehari-hari saya karena dianggap seni tidak jelas. Lalu teror datang yang berarti perlu istirahat karena saya memikirkan keluarga di kampung," ujar Wanggi.
Pantomim adalah akar dari seni ilmu peran yang telah hadir sejak jaman Mesir Kuno, untuk itu diperlukan riset penokohan mendalam yang membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan. Maka tak heran jika Wanggi masuk terlalu dalam pada perannya hingga pernah saat memerankan sebagai seseorang yang terkena busung lapar membuatnya betul-betul menangis tanpa konsep.
"Saya getir lalu menangis. Bayangkan itu terjadi pada adik atau orang yang saya cintai. Ini adalah pengalaman empiris," ujar Wanggi.
Adapun aksi yang membuatnya begitu dikenal adalah dua karya ketika Wanggi memakan tanah dan melakukan performance art di atas puncak Gunung Mahameru. "Dalam suhu -4'C saya merasakan kehangatan karena restu energi alam. Soal aksi lingkungan para penguasa terus bicara soal tanah dan tanah, sederhana, apakah pernah merasakan tanah dalam mulut anda?" kata Wanggi.
Wanggi merupakan seniman pantomim perwakilan Indonesia untuk World Mime Organisation yang beralamat di Belgrade, Serbia yang aktif menginisiasi penyelenggaraan peringatan tahunan Hari Pantomim Sedunia. 
Tidak jarang Wanggi melakukan kolaborasi dengan seniman dari mancanegara, seperti Sirkus Teater Kontemporer dari Perancis dan Syafiq Effendi Faliq, seorang aktor pantomim dari Negeri Jiran, Malaysia. (Arfian Jamul Jawaami)
Editor: Andres Fatubun

Article News : http://ayobandung.com/read/20170110/60/14957/wanggi-hoed-pantomim-adalah-bahasa-perdamaian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar