Sabtu, 17 Juni 2017

Wanggi Hoediyanto, Pantomim Jalanan Sebagai Jembatan Kemanusiaan

Wanggi Hoediyanto, Pantomim Jalanan Sebagai Jembatan Kemanusiaan

by : MUTI SIAHAAN
Posted on Kamis, 30 Maret 2017

Mendengar kata pantomim, di benak kita terlintas pria berbedak putih tebal yang piawai memainkan ekspresi wajah dan tubuh. Penonton sudah terhibur melihatnya meski ia tak berucap sepatah kata pun. Namun bagi Wanggi Hoediyanto, pantomim lebih dari itu: “Pantomim adalah imajinasi yang diplementasikan dalam bentuk gerak atas kejadian yang terjadi saat ini.”
“Manusia sekarang selain butuh yang enak, juga butuh yang eneg. Nah, di pantomim ini kita kasih yang eneg. Mereka mungkin tidak akan mengerti, tapi kita tidak memaksakan mereka untuk mengerti. Karena di pantomim kita bermain imajinasi,” tambah Wanggi. 
Meski kuliah di Jurusan Teater STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia), Wanggi belajar pantomim secara otodidak karena di Indonesia belum ada jurusan ini secara khusus. Pria kelahiran 24 Mei 1988 ini lebih suka menggunakan jalanan sebagai panggung pantomimnya. Bagi Wanggi, pantomim tidak harus eksklusif, justru harus bisa merangkul publik dan dekat dengan masyarakat. Inilah ciri khas Wanggi hingga kini. Pertunjukan pantomim jalanan pertamanya digelar tahun 2004, berjudul Braga Aku Kembali. Ia juga sempat diamankan pada pada aksi pantomin jalanan pada perayaan Hari Tubuh Internasional 2016. Namun ia tidak kapok, menurutnya proses ditangkap menjadi nutrisi atau suplement tersendiri.

Komedi satir kehidupan
Wanggi semakin rutin melakukan aksi pantomim jalanan. Ia melakukan riset, membaca literatur sejarah, dan turun ke lapangan untuk menyuarakan keresahan atas kondisi sosial, ekonomi, dan politik di sekitarnya. Ia sering bekerja sama dengan lembaga nirlaba dan lembaga independen lain yang fokus pada isu-isu sejenis. “Saya ingin pemerintah dan masyarakat sadar akan keadaan sosial kita. Kemanusiaan kita, lingkungan kita yang semakin rusak akibat pembangunan dan urbanisasi.” 
Sejak tiga tahun lalu ia juga rutin melakukan Aksi Kamisan di depan Gedung Sate bersama beberapa seniman dan aktivis HAM, yaitu aksi protes terhadap pelanggaran HAM di Indonesia yang hingga saat ini belum terselesaikan dengan baik. Aksi ini terinspirasi dari Aksi Kamisan yang sudah dilakukan di Jakarta. 
Wanggi juga beberapa kali melakukan pantomim di panggung. Meski penampilannya tetap berpijak pada masalah-masalah sekitar, penampilannya tidak sefrontal di jalanan. Ia memilih menggunakan pendekatan komedi satir untuk menerjemahkan peristiwa sehari-sehari.

Memasyarakatkan Pantomim
Tantangan terbesar menyampaikan pesan sosial lewat pantomim adalah reaksi penonton. “Pantomim adalah seni tanpa kata. Semua yang ingin saya ungkapkan ditafsirkan dengan gerak tubuh. Setiap orang punya interprestasi sendiri atas apa yang mereka lihat. Semoga apa yang ingin saya interprestasikan diterima sama oleh orang lain,” ucap Wanggi. 
Upaya Wanggi untuk mengenalkan pantomim kepada masyarakat antara lain dengan merintis berbagai ruang belajar independen. Ia menggagas Mixi Imajimimetheatre Indonesia (Pantomime Indonesia), Nyusur History Indonesia (ruang seni perjalanan kolaborasi seni, sejarah, dan budaya), Komunis Kampus (Komunitas Sepeda Kampus), Indonesian Mime Artist Association, ASEAN Mime Society, dan aktif di Teater Cassanova Indonesia (Kelompok Teater Independent). 
Ia perintis dan inisiator Gerakan Kebudayaan Awak Inisiatif Arts Movement bersama para seniman muda Bandung yang hadir di ruang publik dan diberi nama Perayaan Tubuh atau Perayaan Hari Tubuh Internasional yang dirayakan setiap tahun di bulan Maret. Wanggi pun pernah berkolaborasi dengan Circus dari Prancis, Chabatz de’entrar, pada 2013 silam dengan melakukan tur ke delapan kota di Indonesia dan Timor Leste serta Vietnam.

Wanggi optimistis akan semakin banyak orang menggunakan pantomim sebagai medium perjuangan. Kalau dulu dia banyak fokus pada masalah sosial dan politik, kini Wanggi mulai fokus pada masalah kemanusiaan yang konteksnya lebih luas dan lebih mengena pada semua orang. “Ketika bicara soal kemanusiaan, kita bicara soal hal yang paling fundamental. Hak-hak asasi manusia. Sejak tahun lalu saya menggunakan pantomim sebagai bahasa perdamaian.” 
“Saya yakin pantomim bisa jadi cara untuk menyebarkan ide-ide perdamaian. Ini terlihat dari semangat teman-teman pantomim di berbagai daerah yang berinisiatif melakukan Aksi Kamisan. Ini merupakan pertanda bahkan pantomim sudah digunakan sebagai bahasa perdamaian,” pungkasnya.

Article news  : http://banggaberubah.kompasgramedia.com/Artikel/Wanggi-Hoediyanto-Pantomim-Jalanan-Sebagai-Jembatan-Kemanusiaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar